Share

SMP • 04

RAFFA menghentikan mobilnya di depan restoran, dia tidak turun demi membukakan pintu untuk seseorang yang sedang menatapnya dengan kesedihan. "Aku ... turun, ya?"

Raffa menggertakkan giginya. "Kalau nggak turun, lo mau terus-terusan di sini emangnya?"

"Kupikir, kamu kangen sama aku," jawaban itu membuat Raffa meradang.

Dia kangen, iya, dia kangen pada Riza. Sayangnya, dia tidak akan mau mengakuinya. Riza sudah punya pacar, tapi entah kenapa dia malah berdekatan dengan Raffa. Bukannya Raffa tidak pernah seperti ini, tapi dia selalu menjaga diri agar tidak mendua begitu dia memilih salah seorang menjadi pacarnya.

Kalaupun dia mau bersama wanita lain, dia akan memutuskan kekasihnya lebih dulu. Dia takkan jalan bersama dua orang wanita secara bersamaan, tidak seperti perempuan di sebelahnya ini. Mereka sangat berkebalikan dan jujur saja, sifat itu tidak dia sukai.

"Entah kangen atau enggak, itu bukan urusan lo. Gue sibuk, Riz, jadi cepet keluar dari sini, gue mau balik ngantor."

"Oke, aku keluar, ya." Bukannya langsung turun, Riza malah memberikan kecupan singkat di pipi Raffa. "Aku kangen kamu yang dulu."

Raffa hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dirinya yang dulu takkan kembali lagi, dia takkan bisa bersama wanita itu lagi walau setelah semua waktu yang telah mereka lalui.

Dunia mereka berbeda.

Dan tidak akan pernah menjadi sama.

***

Perjodohan ini bukan hanya sekali dua kali, melainkan sudah berulang kali. Raffa harus menahan kesabarannya setelah apa yang ia alami hari ini. Biasanya, dia akan memasang muka santai, tampak tidak peduli, dan pada akhirnya dia akan menolaknya mentah-mentah.

Lagipula, wanita yang selama ini dijodohkan dengannya tidak masuk kriterianya sama sekali. Jelas saja, mereka bukan wanita baik-baik. Raffa takkan tertipu lagi untuk yang kedua kalinya. Cukup sekali ia merasa benar dengan pendapatnya, bahkan sepupunya berpendapat hal yang sama, tapi nyatanya, wanita itu hanyalah serigala berbulu domba.

"Ck!" decakannya mengundang perhatian dari kedua belah pihak keluarga.

Ibunya menatap dia tidak suka, sedang ayahnya menatapnya datar. Sebagai salah satu Gunawan tertua yang tersisa, August memiliki sifat yang hampir sama persis dengan sepupunya. Tidak terlalu banyak berekspresi dan tatapan dingin yang menghunjam tanpa ampun.

Mungkin, dari sejarah yang ada, hanya dia satu-satunya Gunawan yang punya sikap biasa cenderung slengekan, ditambah sifat playboy-nya yang tidak tanggung-tanggung.

Hanya dia ... Julian Raffa Gunawan.

"Kenapa Raff?"

"Iya, kayaknya kita nggak bisa cocok, deh, Ma," ujarnya sembari mengedikkan bahu.

Wanita di hadapannya cantik, menarik jelas, pendidikannya tinggi, latar belakang keluarganya pun pasti. Semua konglomerat pasti senang menjadikan wanita ini sebagai menantunya, tapi sayangnya, Raffa bukan orang yang mau memiliki istri sesempurna itu.

Terutama, dilihat secara sekilas. Selain sudah tidak lagi perawan, wanita ini jelas-jelas memiliki sifat yang bisa memeras Raffa hingga kering. Bukannya dia orang miskin yang tidak sanggup membiayai, dia cuma tidak mau memiliki istri boros yang lebih suka tas branded sekian ratus juta, pakaian belasan juta, dan sekian aksesoris lain yang memiliki angka nol minimal berjumlah enam.

Dia memang menyukai wanita yang memiliki fashion bagus dan glamour, tapi wanita sejenis itu hanya bisa dijadikan piala. Mereka tidak cocok untuk diajak berumah tangga. Apalagi, gajinya sekarang masih belum sampai seratus juta. Benar-benar bisa kering tabungannya kalau sampai memiliki istri sejenis ini.

Iya, keluarganya memang kaya, tapi mau sampai kapan dia menengadahkan tangan dan meminta pada kedua orang tuanya?

"Kenapa nggak dicoba dulu?" tanya wanita itu disertai senyuman manis yang pasti bisa melelehkan hati pria manapun, kecuali para Gunawan. Tentu saja, senyuman itu terlalu biasa saja di matanya.

"Sori, tapi aku nggak ada waktu buat coba-coba lagi, kalau udah tahu hasilnya nggak pasti."

August berdeham, dia menatap putranya dengan delikan tajam yang sukses membuat Raffa membungkam paksa bibirnya. "Mungkin, sebaiknya kita sudahi dulu pertemuan malam ini. Saya akan bicara kembali dengan putra saya, jika dia berniat mengubah pendapatnya, saya akan menghubungi kalian kembali."

"Saya sangat menunggu jawaban terbaik sari kalian, Aug. Sebagai teman lama, saya berharap bisa berbesan dengan Anda."

Rossaline tersenyum manis dan menggenggam erat tangan wanita yang sejak tadi memasang senyum terbaiknya. "Mama akan berusaha memaksa Raffa agar menerima perjodohan ini."

"Makasih, Ma!"

Raffa memutar bola matanya bosan. Setelahnya mereka pulang dan Rosa memarahinya habis-habisan. "Dia itu suka sama kamu, Raf? Kenapa kamu nggak coba menerima dia saja? Dara itu perempuan baik-baik, dia sangat cocok menjadi istri kamu."

"Please, deh, Ma. Raffa juga bisa menilai mana wanita baik-baik atau enggak. Kalau Raffa udah ketemu sama wanita itu, tanpa nunggu waktu lama, Mama akan menjadi orang pertama yang tahu."

August berdeham. "Kamu sepertinya sudah menemukannya."

Satu-satunya yang ada di kepala Raffa hanyalah gadis yang hampir ia tiduri di malam pernikahan Nayla dan Ethan. Wanita itu memang berkata telah memiliki calon suami, lalu menolaknya mentah-mentah. Namun, dia tahu wanita itu adalah wanita yang baik.

Jika bukan karena khilaf, dia takkan berakhir di tempat itu, apalagi alasannya sampai sana karena Raffa yang telah menggodanya dengan godaan maut dan menyeretnya memasuki salah satu kamar di lantai atas. Namun, bukan hal itu yang membuat Raffa tetap bisa memikirkannya terus menerus.

Wanita itu punya pengendalian diri yang tinggi. Satu-satunya hal yang tak ia miliki. Dan juga ... dia memiliki kesetiaan. Satu-satunya hal yang mungkin tersisa secuil di hati Raffa yang sekarang.

"Hm, kalau aku bisa merampasnya dari calon suaminya."

"GILA KAMU MAU JADI PEBINOR!" komentar ibunya langsung, sedangkan ayahnya mengangkat bahu tak peduli.

Baginya, asalkan Raffa bahagia dengan pilihannya, dia akan menyetujuinya, walau anaknya harus mengambil calon istri orang lain.

"Kan masih calon, Ma. Masih bisa jadi milik bersama, nah, kalau udah nikah, ya udah, Raffa nyerah."

"Mama nggak tahu, deh, harus nasihatin kamu kayak gimana lagi! Terserah kamu, Raffa! Terserah!" Rosa menatap Raffa tajam. "Tapi cepat bawa kami menemui orang tuanya."

Raffa hanya bisa memasang senyum miring. Kenal saja belum, jadian apalagi, sudah disuruh membawa kedua orang tuanya bertemu dengan orang tua wanita yang bahkan tidak ia kenal siapa namanya.

____

Pasrah daku denganmu, Raffa!


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status