Share

SMP • 06

MIMPI dikejar-kejar setan ternyata lebih horor daripada mimpi dikejar-kejar mantan. Kalau mantan masih bisa disentuh, diajak rundingan, atau apa aja, tapi kalau setan, baru lihat juga langsung lari tunggang langgang.

Riri menghela napas kasar sembari menguap lebar. Dia menggaruk-garuk rambut lurusnya hingga berantakan sebelum melesat ke kamar mandi untuk mencuci muka di wastafel. Penampilan mukanya—sebelum mencuci muka—yang putih pucat dengan noda-noda hitam sialan, ditambah kantung matanya yang semakin menghitam nyaris membuatnya menjerit.

"Muka gue kayaknya perlu perawatan, nih," gumamnya.

Riri melangkah keluar, mengambil ponsel dan mulai menjalankan aplikasi mobile banking. Penampakan saldo ATM-nya yang pas-pasan, sukses membuat ia nelangsa bukan main.

"Gimana caranya gue dapat duit lebih biar bisa beli skincare yang bagus coba? Atau gue minta aja sama Mama kali, ya?"

Sepertinya bukan ide yang buruk, lagipula, Riri hampir tidak pernah meminta uang pada orang tuanya sejak ia kuliah. Jadi, sekarang bolehlah sekali-kali ia meminta pada ibunya? Untuk perawatan, kulit wajahnya hampir mirip kulit kuntilanak yang semalam menghantuinya di alam mimpi.

"Ma!" panggilnya seraya keluar kamar.

Riri memanggil-manggil mamanya, hingga ia menemukan mamanya sedang menunjukkan ekspresi senang yang aneh. Aneh, tentu saja, mamanya selalu memasang wajah judes dan galak, tapi ini ... senyuman mengembang yang kelewat lebar itu terlihat sangat mencurigakan.

"Ma, boleh minta uang, nggak?"

Riri menatap mamanya yang kini balas menatapnya dengan senyuman lebar. "Buat apa, Sayang?"

"Beli skincare, muka aku udah kusut mana pucat banget begini. Boleh, ya? Sekali ini aja, deh, aku minta. Habis ini nggak lagi-lagi, deh, janji."

Riri mengangkat jari kelingkingnya ke arah mamanya yang duduk di sofa. Arlin menarik wajah Riri ke arahnya dan memperhatikan kulit putrinya dengan cermat.

"Wajah kamu kenapa bisa jelek banget begini?" komentarnya sukses membuat Riri sakit hati. "Kamu belum mandi juga?"

"Belum." Riri nyengir. "Masih mager, nanti siang ajalah, kalau skincare-nya udah datang. Mau manja-manja ala aktris gitu sehari."

Arlin mendengkus. "Sekarang kamu mandi, nanti ikut Mama ke salon buat perawatan. Kulit wajahmu ini butuh perawatan tingkat tinggi, kalau nggak gitu, kamu bakal susah jadi cantik lagi."

Riri mendengkus. "Kalau mau cantik instan, sih, gampang, Ma. Pasang aja make-up setebel lima meter, pasti nggak ada yang sadar kalau muka asliku nyeremin kayak kunti."

"Hush! Memangnya kamu mau wajahmu jadi mirip kuntilanak? Gimana kalau gebetanmu tahu, kamu nggak malu?"

Riri melengos, tampak tak mengerti pada kata-kata mamanya. Dia punya gebetan. Ganteng, harus dong. Kaya, nggak perlu dibahas lagi. Tubuhnya bagus, sudah pasti, Riri sering melihatnya saat ia berenang. Masalahnya, entah kenapa dia tidak bisa menunjukkan perasaan yang lebih kalau dia menyukai pria itu.

Lagipula, Riri tidak berminat dengan pernikahan. Dia tidak perlu pasangan agar dia bisa sukses di masa depan. Dia hanya perlu usaha, kerja keras, dan kesabaran. Tidak ada kata pasangan yang menjadi faktor penentu kesuksesan seseorang.

Dan juga, Riri sadar diri. Mana ada laki-laki yang mau dengan cewek jelek seperti dirinya? Jangankan pergi perawatan, beli skincare saja dia merasa ragu, apalagi dia mendapatkan semua uang itu dari hasil kerja kerasnya sendiri.

Memang tidak banyak, tapi karena alasan itu pula, uangnya bisa langsung habis dalam satu kedipan mata, jika dia menuruti segala tetek-bengek masalah kecantikan. Kecuali, kalau kulit wajahnya sudah tidak tertolong lagi seperti sekarang. Dia akan berusaha mencari perawatan dengan skincare mahal walaupun dia merasa sayang dengan uang yang ia keluarkan.

"Kenapa diam? Kamu malu atau kamu nggak punya gebetan makanya nggak peduli sama kulit muka?"

Riri memamerkan cengiran andalannya. "Pilihan kedua lebih mendekati, Ma."

"Apa?!"

"Apa kenapa? Aku kan pengin jadi perawan tua, ngapain ngurusin gebetan juga? Yang ada aku sakit hati doang, apalagi dia nggak pernah ngelirik aku sekali pun."

Arlin menghela napas kasar. Dia menyisir rambut Riri yang kusut bukan main menggunakan jari tangannya, sebelum berkata, "Kamu mau jadi perawan tua, tapi sampai kapan? Kamu nggak pengin lihat Mama bahagia waktu kamu nikah sama pria pilihan kamu?"

"Pengin, sih, pengin, tapi mau nikah sama siapa juga? Makanya, Mama sama Papa bikin anak lagi aja, nanti Riri yang gedein nggak masalah, deh. Riri ikhlas jadi baby sitter-nya adik sampai dia gede. Jadi, Mama bisa lihat anak Mama yang lebih cantik menikah."

"Tapi bukan kamu yang nikah," dengkus Arlin. "Temen Mama ada yang mau ngelamar kamu, katanya anaknya naksir sama kamu. Kamu mau, nggak?"

"Nggak."

"Kok gitu?"

"Mukanya nggak kelihatan."

"Hah?"

Arlin mengangakan mulutnya tidak paham, tapi Riri hanya bisa mengedikkan bahu tak peduli. Jelas saja, ada yang melamarnya, pakai bilang kalau dia naksir sama Riri juga, tapi wajahnya Riri nggak tahu.

Iya, namanya muka nggak kelihatan sejenis itu, kan?

____

Dilarang sakit jiwa setelah baca cerita absurdku yang aneh ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status