Share

Mimpi dan Rumah Baru

Hari masih pagi, bahkan matahari belum terlihat dengan jelas. Langit masih gelap dan udara masih sangat dingin ketika Chung Ae dan keluarganya mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam rumah. Dengan lesu, Ae membawa kardus-kardus miliknya.

“Ae, semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir.” Ucap Lee Won

“Aku tahu ayah, ibu sudah mengatakan hal itu berkali-kali.” Jawab Chung Ae.

Lee Won membantu putrinya memasukkan barang-barang ke mobil. “Ayah, kenapa kita harus berangkat sepagi ini? Udaranya bahkan masih dingin.” Keluh Dong Jun.

“Jarak kota itu agak jauh, kita harus berangkat lebih awal. Kalau kau merasa dingin, pakai saja pakaian hangatmu.” Jawab Lee Won.

“Lagipula kalian juga harus melakukan registrasi di sekolah baru kalian.”

“Aku dan kakak tidak satu sekolah kan?” tanya Dong Jun

Lee Won menggeleng. Ia tahu akan jadi seperti apa jika kedua anaknya itu ada di sekolah yang sama. Dong Jun mungkin akan jadi siswa populer karena wajahnya yang tampan, dan sifatnya yang mudah bergaul. Tapi Chung Ae, mungkin saja akan jadi bulan-bulanan siswa lain karena sulit mendapat teman.

“Coba lihat ibumu, apakah dia sudah siap atau belum.” Ucap Lee Won.

“Baiklah.” Kata Dong Jun sambil mengangguk. Anak lelakinya itu kembali masuk ke dalam rumah sedang ia dan Chung Ae menunggu di luar. “Ayah, setelah kita pindah dan menyelesaikan ini semua aku ingin mencari pekerjaan.”

Lee Won sedikit terkejut dengan ucapan putrinya.”Kau mau bekerja paruh waktu?” tanya Lee Won. Chung Ae mengangguk. “Kenapa?” tanya sang ayah. “Ayah tahu keadaan ekonomi kita tidak cukup baik disini, itulah kenapa ayah bekerja keras.”

“Karena aku tahu ayah bekerja keras maka aku akan membantumu.” Jawab Chung Ae.

“Setidaknya, aku bisa membeli kebutuhanku dengan uang yang kupunya. Lagipula, di kota besar itu pasti banyak pekerjaan kan?”

Sejenak, Lee Won terdiam. “Asalkan itu tidak mengganggu sekolahmu, kau boleh pergi.” Jawab sang ayah.  Chung Ae tersenyum. Ia senang karena sang ayah mengizinkannya bekerja paruh waktu.  “Tapi kau harus berhenti kalau kau sudha merasa lelah.” Sambung Lee Won.

“Ayah akan merasa bersalah kalau kau sampai tertekan karena pekerjaan paruh waktumu itu. Bagaimanapun, itu tanggungjawab ayah.”

“Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Kata Chung Ae.

Sebelum mereka berangkat, beberapa tetangga datang mengucapkan perpisahan pada keluarga Chung Ae. Itu semua karena Seo Yeon sangat ramah pada semua tetangganya. Mereka bahkan memberikan makanan untuk Chung Ae dan Dong Jun.

“Terimakasih banyak.” Ucap Chung Ae sambil membungkukkan badannya. Lalu, setelah semuanya siap mereka pun berangkat. Chung Ae menoleh ke belakang, memandang rumahnya sampai akhirnya ia tak bisa melihat lagi rumah mungilnya itu. Sepanjang perjalanan, Ae memandang keluar jendela. Cuaca yang mendung seakan mendukung hatinya untuk bersedih. Walaupun Dong Jun bernyanyi-nyanyi gembira di sampingnya, tetap saja Ae merasa sedih.

“Ae, kau mau makanapa? Kita semua belum sarapan kan?” tanya Lee Won. Pertanyaan itu memaksa Ae bangun dari lamunannya. “Bukankah kita mendapat makanan dari ibu tetangga tadi? Apa kita tidak akan memakannya?” tanya Ae.

“Kak, itu kue mochi. Kau mau makan mochi sebagai sarapanmu?” tanya Dong Jun.

“Kenapa tidak?” tanya Ae.

Dong Jun menghela napas. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi kakaknya yang unik itu. “Ayah ingin minum kopi, jadi kita harus mencari kedai makanan.” Sahut Lee Won.

“Ae, pilihlah kau mau makan apa?” tanya Seo Yeon.

“Terserah saja, Bu.” Jawab Ae singkat. “Bagaimana denganmu Jun? Kau ingin makan sesuatu?” tanya Seo Yeon.

“Bagaimana dengan jjampong?” tanya Dong Jun.

“Masih terlalu pagi untuk makan jjampong.” Sahut Lee Won.

“Baiklah kalau begitu terserah ayah saja.” Kata Dong Jun.

Tidak banyak kedai makanan yang sudah buka karena hari masih terlalu pagi. Pada akhirnya mereka berhenti disebuah kedai kopi kecil. Kedai itu tidak memiliki banyak menu makanan. Lee Won lalu memesan kopi yang ingin ia minum. Giliran Ae yang memesan minuman, ia memesan segelas susu coklat panas.

“Kak, kau minum susu? Kau bisa mabuk perjalanan.” Bisik Dong jun.

“Apa pesananku masih bisa diganti?” tanya Chung Ae dengan cepat.

“Ya, anda mau pesan yang lain?”

“Latte.” Jawab Ae dengan singkat. 

Setelah mendapat pesanannya, keluarga itu duduk bersama sambil menikmati minumannya masing-masing. “Aku ingin bekerja di kedai kopi.” Ucap Ae.

Lee Won kembali terkejut dengan ucapan putrinya. Tapi ia tahu bagaimanapun kerasnya ia melarang, Ae akan tetap melakukan apa yang ia mau. “Kenapa?” tanya Lee Won.

“Pekerjaannya mudah, tapi aku tetap bisa mendapat uang.” Jawab Chung Ae.

Lee Won mengangguk, “Baiklah, kau boleh mencobanya” ucap Lee Won. Seo Yeon menoleh ke arah suaminya. Ia sedikit tak percaya Lee Won akan semudah itu memberikan izin pada putrinya.

***

Perjalanan kembali berlanjut. Kali ini, Ae memilih menghabiskan waktunya dengan tidur. Lagipula dia juga tidak tahu kapan mereka akan sampai. Dalam tidurnya, Ae bermimpi. Ia berdiri di depan sebuah rumah besar namun agak usang. Rumah itu kotor dan tidak terawat. Lalu tidak tahu kenapa, Ae justru melangkah masuk. Benar saja, kondisi di dalam rumah itu juga kotor seperti sudah lama ditinggalkan. Tapi kemudian, Ae melihat seorang gadis berjalan mendekatinya. Gadis itu berwajah cantik dan tersenyum begitu manis pada Ae. Dalam mimpi itu, Ae hanya bisa memandang perempuan itu, ia tidak lari apalagi ketakutan. “Kita seumuran, senang bertemu denganmu.” Ucap perempuan itu sambil menyodorkan tangannya.

“Siapa kau?” tanya Ae dalam mimpi. Gadis itu kembali tersenyum, “mungkin kita akan bertemu suatu saat, dan saat kita bertemu aku tidak akan lupa denganmu” ucapnya.  Ae kembali mengulang pertanyaannya, dan lagi-lagi gadis itu tersenyum. “Tapi aku berharap kita tidak pernah bertemu.” Ucap gadis itu.

Seketika Chung Ae terbangun dari tidurnya. “Kak, di siang hari kau bisa bermimpi buruk?” tanya Dong Jun. Chung Ae menelan ludahnya sambil menyeka keringat di dahinya. “Apa kita akan segera sampai?” tanya Chung Ae.

“Kau baru tertidur lima belas menit, kita bahkan belum jauh dari kedai kopi tadi.” Kata Dong Jun. Chung Ae terdiam. Mimpinya terasa begitu nyata, bahkan ia tak bisa melupakan wajah gadis itu. Suasana hatinya jadi lebih buruk sekarang. Belum hilang rasa sedih karena meninggalkan rumah masa kecilnya, kini ia harus terbayang wajah gadis dalam mimpinya tadi.

***

“Kak, bangunlah kita sudah sampai.” Ucap Dong Jun sambil menggerakkan bahu Chung Ae. “Nghh, kita sudah sampai?” gumam Ae. Chung Ae mengusap matanya lalu melihat sebuah rumah yang cukup besar di sampingnya. “Ini.. bukankah rumah di mimpi tadi?” batin Ae. Chung Ae semakin cemas saat mengetahui rumah itu persis seperti  rumah dalam mimpinya. “Kak, cepatlah turun dan kemasi barangmu.” Kata Dong Jun.

Chung Ae mengangguk lalu turun dari mobil. Ia lalu membantu sang ayah membawa barang-barangnya ke dalam rumah. “Benar, rumah ini persisi seperti rumah di mimpiku.” Batin Ae.

“Lalu mimpi itu.. apa gadis itu adalah penghuni rumah ini?” benak Ae kembali membatin. Perlahan, Ae masuk ke rumah itu. Semua perabotannya tertutup kain namun tetap saja kotor. “Aku ingat sekali, gadis itu menemuiku disini.” Batin Ae.

“Ae, kenapa kau melamun?” tanya Seo Yeon.

“Tidak, Bu. Harus kubawa kemana barang-barang ini?” tanya Ae.

“Taruh saja disini. Setelah ini, kau bawa barang-barangmu ke lantai atas.” Kata Seo Yeon.

“Ada dua kamar, kau pilih dulu yang mana yang kau suka.”

Ae mengangguk lalu meletakkan barang-barangnya di lantai. Setelah itu, ia kembali membawa barang-barangnya dan menuju ke lantai atas. Karena mimpi itu, Ae merasa sedikit aneh dengan rumah itu. “Tapi, bukankah dia tersenyum dan mengatakan senang bertemu denganku?” gumam Ae.

“Siapapun kau, aku harap kau tidak menggangguku.” Ucapnya.

Chung Ae masuk ke sebuah kamar. Kamar itu luas dengan ranjang yang besar. Di samping ranjang itu ada sebuah kaca besar lengkap dengan meja riasnya. “Menarik, kamar ini seperti kamar yang mahal.” Gumam Ae. Ae meletakkan barangnya di atas ranjang lalu melihat-lihat isi kamar itu. Di sudut ruangan, ada sebuah piano tua yang tertutup kain berwarna putih. Ae menarik kainnya, lalu mencoba menekan tuts piano itu. “Cukup nyaring.” Gumam Ae.

Chung Ae beranjak ke kamar lain. Kamar itu tidak seluas kamar sebelumnya, tapi terdapat balkon kecil di luarnya sehingga ia bisa langsung melihat pemandangan luar. “Dong Jun akan lebih senang berada disini.” Kata Chung Ae. Ia pun kembali ke kamar sebelumnya, kembali melihat sekali lagi dan setelah itu ia yakin akan menjadikan ruangan itu sebagai kamarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status