Share

Memar dan Sekantung Es

Chung Ae sedang duduk di ranjangnya ketika suara ketukan aneh itu kembali terdengar. Refleks, Ae menoleh memperhatikan setiap sudut kamarnya. Tapi ia tak menemukan apapun. Ae lalu berjalan dan membuka pintu. Seperti kejadian sebelumnya, tidak ada siapapun di sana.

Chung Ae kembali ke kamarnya, sambil tetap memperhatikan sekelilingnya. “Tolonglah siapapun itu, jangan ganggu aku”, ucap Ae. Sesaat setelah Ae mengucapkan itu, suara ketukan itu pun hilang. Ae semakin merasa ada yang aneh dengan rumah barunya itu. Namun begitu, ia tak ingin menceritakan ini pada siapapun dan memilih memendamnya sendiri.

“Kak, kau di dalam?”, ucap Dong Jun sambil mengetuk pintu. “Ya!” seru Ae.

“Cepatlah turun untuk makan malam, ibu sudah menunggu”, jawab Dong Jun.

Chung Ae melangkah keluar dari kamarnya. Kali ini, sang adik sudah menunggunya. “Bagaimana di sekolah barumu? Kau sudah mendapat teman?”, tanya Dong Jun.

“Aku baru tahu satu orang disana” jawab Ae.

Dong Jun yang tidak menyangka kakaknya itu sudah memiliki teman menutup mulutnya. Ia sedikit tak percaya dengan ucapan Chung Ae. “Benarkah? Apa dia laki-laki?”, tanya Dong Jun.

Chung Ae menatap adiknya itu. Entah bagaimana Dong Jun tahu teman baru Ae adalah seorang laki-laki. Chung Ae pun mengangguk.

“Woah, ini mustahil” celetuk Dong Jun. “Bersikaplah biasa saja, tidak ada yang spesial dengan hal itu”, sahut Chung Ae.

“Tentu saja itu spesial” kata Dong Jun.

“Apanya yang spesial?” tanya Seo Yeon.

“Ibu, kau tahu? Teman pertama kakak, dia laki-laki”, kata Dong Jun dengan bersemangat.

“Benarkah? Itu bagus” sahut Seo Yeon.

Chung Ae yang sudah muak dengan hal itu memilih untuk diam. Ia tahu sebentar lagi sang ibu akan mengoceh masalah pria dan pacar. Di situasi seperti itu, Chung Ae sebenarnya tidak nyaman. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin bermasalah dengan sang ibu maupun Dong Jun.

“Siapa namanya? Apa dia mengajakmu berkenalan? Atau kau yang menemuinya dulu?” tanya Se Yeon

“Aku yang menemuinya dulu, tapi dia yang mengajak berkenalan”, jawab Chung Ae.

“Tapi yang lebih penting, aku sudah mendapat pekerjaan paruh waktuku. Besok hari pertamaku”

Lee Won tersenyum mendengar putrinya sudah menemukan pekerjaannya. “Kau senang?”, tanya Lee Won. Chung Ae mengangguk. “Baiklah, kalau begitu kau bisa pergi”, sambungnya.

“Aku bekerja di Kedai Kopi Sunday, tempat yang kemarin aku dan ibu kunjungi. Jadi sepulang sekolah, aku akan pergi kesana untuk bekerja”, ucap Chung Ae.

Selesai makan malam, Ae kembali ke kamarnya. Ia mencoba seragam yang tadi pagi ia dapat. Chung Ae berpikir seragam itu cukup bagus dan sangat pas dengan tubuhnya. Selesai dengan seragam, Ae beralih ke bukunya. Ia membuka tirai jendelanya, dan terlihat langit malam yang gelap. Ae mengambil kursinya, lalu duduk dan menghabiskan waktunya.

***

Pagi-pagi sekali, Chung Ae sudah bangun. Ia tidak ingin terlambat di hari pertamanya ke sekolah. Setelah bersiap, Chung Ae keluar dari kamarnya. Ia menemui sang ibu di meja makan. “Makan dulu sarapanmu”, ucap Seo Yeon. Chung Ae pun mengambil roti yang sudah tersedia di meja makan.

“Apa Dong Jun belum turun?”, tanya Chung Ae. Seo Yeon menggeleng. “Bagaimanapun Dong Jun sudah cukup dewasa untuk bersiap sendiri, jadi ibu tidak mau membangunkannya. Biarkan dia belajar bertanggungjawab”, ucap Seo Yeon.

“Apa ayah sudah berangkat? Apa kantor ayah jauh dari sini?” tanya Chung Ae.

“Belum, ayah masih ada di kamarnya. Kantornya cukup jauh”, jawab Seo Yeon.

“Benarkah? Kenapa kita tidak mencari rumah yang dekat dengan kantor ayah?” tanya Chung Ae.

“Tapi rumah ini lebih dekat dengan sekolahmu. Ayah tidak mau menyusahkanmu dan Dong Jun. Lagipula, harga rumah ini cukup murah”, jawab Seo Yeon.

“Apa ibu tidak merasa ada yang aneh dengan rumah ini?” tanya Chung Ae.

“Maksudmu? Rumah ini sama sekali tidak aneh. Hanya perlu beberapa perbaikan. Akhir pekan ini, ayah akan melakukannya.” Jawab Seo Yeon.

“Baiklah, lupakan saja.” Kata Chung Ae.

Chung Ae segera menghabiskan segelas susu yang sudah Seo Yeon siapkan. “Kalau begitu aku berangkat dulu” ucap Chung Ae.

Chung Ae berjalan ke halte bus lalu menunggu. Setelah sebuah bus datang, Chung Ae langsung naik. Tiba-tiba seorang pria melambaikan tangannya sambil tersenyum. “Ck, dia lagi”, batin Ae. Chung Ae bergegas duduk di kursi yang masih kosong, meski ia tahu maksud Dae Hyun adalah meminta Chung Ae duduk di sampingnya. “Ck, apa dia akan tersinggung?”, batin Ae. Chung Ae menoleh ke belakang dan melihat Dae Hyun yang masih menatapnya.

“Sshh, apa dia akan marah?”, batin Ae cemas. Tak disangka, Dae Hyun berpindah ke sebelah Ae begitu saja. Bahkan pria itu tidak meminta izin Ae. “Hai”, ucap Dae Hyun. Ae menjawab dengan sedikit canggung. “Kita ada di kelas yang sama”, ucap Dae Hyun.

“Benarkah?”, gumam Chung Ae. Dae Hyun mengangguk, “kau juga akan satu kelas dengan gadis yang ingin menamparmu kemarin”.

“Begitu ya? Memangnya siapa dia?” tanya Ae. “Namanya Eun Jung, dia salah satu murid populer di sekolah karena keluarganya kaya raya. Jadi kadang dia memperlakukan orang lain dengan seenaknya”, jawab Dae Hyun.

Chung Ae mengangguk. Semua itu sudah ia tebak kemarin. “Tolong, berhati-hatilah dengannya”, ucap Dae Hyun.

“Kenapa? Apa dia berbahaya?” tanya Chung Ae.

“Seperti yang kukatakan, dia memperlakukan orang lain seenaknya karena merasa berkuasa.” Kata Dae Hyun.

“Terimakasih sudah memberitahuku”, jawab Chung Ae.

Sampai di sekolah mereka berjalan bersama menuju ke kelas. Namun belum sampai ke ruangan itu, Eun Jung dan teman-temannya sudah menghentikan mereka. “Kau anak baru, belikan aku minuman sebelum masuk kelas”, ucap Eun Jung.

“Aku tidak mau. Aku kemari untuk belajar, bukan untuk bertemu denganmu”, jawab Chung Ae dengan tegas.

Eun Jung terkejut karena baru kali ini ada murid pindahan yang berani melawan dirinya. “Kau ini siapa? Apa kau lebih kaya dariku?” ucap tanya Eun Jung.

“Apa kekayaan begitu penting disini?” tanya Chung Ae.

“Ah, aku bodoh menanyakan hal itu padamu. Sudah jelas kau siapa, karena pagi ini kau datang bersama anak si tukang masak ini”, jawab Eun Jung.

“Kau boleh saja menghinaku, tapi jangan bawa-bawa ibuku” sahut Dae Hyun.

Chung Ae yang mulai muak dengan perilaku Eun Jung langsung menarik tangan Dae Hyun lalu kembali berjalan melewati Eun Jung dan teman-temannya. “Hei kalian! Berhenti!” seru Eun Jung. Chung Ae meneruskan langkahnya, sambil menarik Dae Hyun. Ia bahkan lupa bahwa ia dan Dae Hyun baru bertemu satu hari yang lalu. Setelah Chung Ae sadar tangannya kini menarik tangan Dae Hyun, dengan cepat Chung Ae melepaskannya. “Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak suka dengan perilaku perempuan tadi”, kata Chung Ae.

Dae Hyun kembali tersenyum tipis. “Tidak masalah”, jawab Dae Hyun.

“Aku akan masuk kelas dengan wali kelas, jadi kau bisa duluan” kata Chung Ae.

***

Chung Ae berjalan di belakang gurunya. Berkali-kali ia menarik napas dalam agar tidak gugup saat perkenalan. Sejak dulu, ia tidak suka ketika banyak orang memperhatikannya. Sesaat setelah masuk ke kelas, Chung Ae memperhatikan isi kelas itu. Entah kenapa ia senang karena Dae Hyun benar-benar ada disana. “Silahkan perkenalkan dirimu”, ucap sang guru.

“Aku adalah murid pindahan, namaku Chung Ae. Kalian cukup panggil aku Ae.”

“Chung Ae? Namamu itu aneh, sama sekali tidak keren”, ucap Eun Jung.

“Silahkan pilih tempat dudukmu”, ucap sang guru.

Chung Ae berjalan ke sebuah kursi di dekat Dae Hyun. Entah kenapa Ae begitu fokus pada Dae Hyun yang tersenyum sampai-sampai ia tidak sadar kaki Eun Jung menjulur tepat di depannya.

Bruk!!

Chung Ae terjatuh karena ulah Eun Jung. Seisi kelas menertawai Ae. Beberapa buku yang ia bawa berserakan begitu saja di lantai. “Ups, maaf”, ucap Eun Jung dengan santai. Chung Ae hanya bisa menatap Eun Jung dengan marah. Tiba-tiba Dae Hyun datang membantu merapikan buku-buku Chung Ae dan membantunya berdiri. “Uh manisnya, apa kalian ini berpacaran?”, kata Eun Jung.

“Hei kau, anak tukang masak, jadi sekarang kau sudah tidak menyukaiku lagi?” sambung Eun Jung.

Chung Ae dan Dae Hyun kembali ke kursinya masing-masing tanpa mempedulikan ucapan Eun Jung. Walaupun begitu, Chung Ae merasa marah karena sang guru juga tidak berkomentar apapun tentang kejadian yang baru saja terjadi.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Dae Hyun. Chung Ae menoleh, “Aku baik-baik saja, terimakasih”ucap Chung Ae. Dae Hyun pun mengangguk, lalu kembali memperhatikan guru yang mulai menjelaskan materi.

Chung Ae masih menggerutu dalam hati sehingga ia tidak bisa fokus dengan pelajaran. Selain itu, lututnya juga terasa nyeri. Chung Ae mendorong kursinya ke belakang agar dia bisa memeriksa lututnya. “Ck, dasar perempuan itu” batin Ae ketika melihat lututnya yang memar.

“Ini baru hari pertama dan lututku sudah memar, besok apa lagi?” batin Chung Ae. Diam-diam Dae Hyun memperhatikan Chung Ae yang sedang mengusap lututnya.

***

Sampai waktu istirahat, semua orang keluar kecuali Chung Ae. “Kau mau tetap di kelas?” tanya Dae Hyun. Chung Ae mengangguk. “Ini memang belum waktunya makan siang, tapi nanti tetaplah datang untuk makan siang” kata Dae Hyun. Lagi-lagi Chung Ae mengangguk.

“Apa kau tidak punya uang untuk membeli makanan?” seru Eun Jung. Chung Ae kembali memilih diam. Ia justru mengeluarkan bukunya. “Ah, dasar kutu buku” seru Eun Jung lagi.

Tak lama, suasana ruangan itu hening. Hanya tinggal Chung Ae yang ada di dalam. Chung Ae senang semua orang pergi termasuk Eun Jung dan teman-temannya. Chung Ae kembali mengusap lututnya yang masih terasa nyeri dan sedikit panas.

Tak berselang lama, Dae Hyun masuk ke kelas itu sambil membawa sekantung kecil  es. Tanpa mengucapkan apapun, Dae Hyun mengambil sapu tangan dari tasnya. “Apa kau bisa duduk menghadapku?” tanya Dae Hyun.

“Kenapa? Untuk apa?” tanya Chung Ae.

“Lakukan saja”, jawab Dae Hyun.

Chung Ae pun melakukan apa yang Dae Hyun minta. Ia duduk menghadap Dae Hyun dan sekarang lututnya yang memar bisa terlihat jelas. Dae Hyun langsung berlutut dan perlahan menempelkan es yang sudah ia lapisi dengan sapu tangannya.

“Ini bisa meredakan nyerinya bukan?” tanya Dae Hyun.

Chung Ae terdiam. Dia bahkan tak pernah berpikir Dae Hyun akan melakukan itu di hari kedua mereka bertemu. “Ini hanya memar kecil”, gumam Chung Ae.

“Kecil atau besar tetap saja terasa nyeri”, sahut Dae Hyun.

“Terimakasih” kata Chung Ae.

“Entah kenapa sejaka pertama kali melihatmu, aku merasa harus melindungimu” kata Dae Hyun.

Sesaat Chung Ae terdiam. Belum pernah ada seorang pria yang mengatakan hal itu padanya, “Melindungiku? Dari apa?”, gumam Ae. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status