Share

1. Sebentuk Rasa (POV Zea)

Venus Zeaneda rangkaian nama lengkapku, atau juga suka dipanggil dengan Kemuning. Tinggal di salah satu pesantren daerah Benculuk, Cluring.

Satu hal yang kuingat siang itu, tiba-tiba Mbah putri menanyakan perihal jodoh di umurku yang genap dua puluh empat tahun. Hanya tersipu mendengar omelan Mbah yang terasa indah di telinga.

"Enek, cucu temannya Mbah kung, rumahnya Glenmore. Dekat sama rumahmu, masih bujang. Umurnya juga seusia sama kamu, mau Mbah kenalkan tah? Siapa tahu cocok, jadi jodohnya.”

Mbah putri menyesap kopi hitamnya yang selalu pahit. Kami menikmati siang ini di dapur, merebus air dan menggoreng pisang mengisi hari—yang sudah beranjak sore.

Mbah kung suka menu tersebut sebagai hidangan makan malam daripada nasi. Aku dan mbah putri memang lebih suka berada di dapur, pemandangan—yang menghadap langsung ke taman sederhana di belakang rumah, ditumbuhi aneka bunga juga tumbuhan hijau. Warna warninya bak pelangi menjadi hiburan tersendiri jika memandang, seperti mencerahkan jiwa.

Kata Ibu, aku dulunya seringkali membantu ibu atau mbak-mbak ndalem untuk merawat kebun bunga milik kami bahkan seringkali aku menangis histeris ketika mereka memangkas dahannya biar tidak terlalu rimbun. Entahlah. Aku jadi geli sendiri jika mendengar cerita masa kecil, tapi memang benar, aku begitu menyukai bunga yang memiliki kelopak kecil berwarna putih tersebut dibandingkan dengan bunga lainnya.

"Inggih, Mbah. Pengestunipun, doakan biar Kemuning bisa segera ada yang meminang," jawabku sopan kepada mbah putrid pada akhirnya menutup pembicaraan seputar jodoh siang ini.

Sedari kecil hidupku di pesantren ini, kepunyaan Abah. Cukup menampung anak-anak yang membutuhkan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas. Asrama bagi mereka yang jauh dari tempat tinggal juga tersedia di sini, walau tidak banyak. Setelah lulus sekolah, aku memilih untuk ikut serta mengajar mengaji dan juga membimbing menghafal surat dalam Alquran. Bukan perkara yang mudah tentu saja.

Kalau mbahku saja sudah sesepuh ini. Begitupun dengan ibu. Beliau juga sudah senja. Semakin lama semakin menua. Meskipun ada Roziq, adik kandung yang kelak akan meneruskan trah pesantren kami. Akan tetapi, mereka ingin melihatku segera berumah tangga.

Soal kopi, kami memang lebih menyukai seduhan kopi pahit. Ndak manis bukan berarti benci sama gula. Hanya, kopi akan terasa nikmat tanpa tambahan apapun. Aroma dan rasanya tidak berubah, hirup saat mengepul, mengalahkan bau harum apa pun menggelitik hidung. Selalu bisa menggugah selera, kapan pun.

Mbah putri memiliki sebuah filosofinya sendiri soal kopi. Jadi, biji kopi itu dikeringkan di bawah terik matahari selama beberapa hari, kemudian digoreng di atas cobek tanah liat sampai menjadi hitam. Setelahnya, baru ditumbuk menggunakan alu khusus, dibacakan sholawat Nabi, setelahnya baru bisa diseduh dengan air mendidih dan biarkan tanpa gula.

Nikmatnya mengalahkan saat makan sego tumpang. Nasi yang diberi sambel pedas khas kota Malang. Aku jadi menyukai cairan berwarna hitam beraroma khas itu. Ya, karena cerita tersebut. Seolah menceritakan, betapa kopi pada zamannya mbah putri dengan kopi zaman sekarang yang tinggal seduh, seolah memiliki arti yang berbeda.

Proses di dalamnya yang membutuhkan tidak sekedar tekun, tapi juga sabar dan tirakat.

"Memangnya siapa?" Pura - pura antusias sambil menyesap kopi di cangkir yang ada di meja. Sejujurnya, aku bahkan tidak memikirkan soal jodoh. Atau kelak akan bersuami di usia berapa. Biar saja mengalir. Bukan wanita yang ambisius soal itu.

"Ada. Nanti tak tanyakan Mbah kungmu. Mbah putri lupa namanya. Guanteng, hidunge bangir, yang paling penting, dia berbakat jadi suami sing mengayomi. Putra tunggal seorang Kyai gede. Kamu akan jadi Bunyai, kalau jadi menikah dengannya," tutur Mbah panjang lebar, terlihat urat lehernya menonjol karena terlalu antusias.

"Mbah, saya tidak mencari suami karena ingin menjadi Bunyai. Ilmu saya ini masih secuil. Tidak pernah bersekolah seperti ning-ning pondok lainnya. Ndak, ah. Saya malu."

"Lah ini, pikirannya pendek.

Bunyai itu tidak harus bersekolah tinggi, sampai keluar pesantren. Juga tidak harus punya titel seperti Ibumu. Kalian dibesarkan di dalam lingkungan pondok. Memahami apa yang akan menjadi tanggung jawabnya kelak. Lalu berikhtiar sekuat tenaga. Yang lain biar Gusti Pangeran yang mengatur. Kamu hanya perlu berdoa dan berusaha. Bukan begitu?”

Beruntung kami masih diberikan kesempatan untuk mendengarkan semua cerita pengalaman hidup beliau yang selalu mendidik.

Abah dan Ibu, Roziq serta aku tumbuh di lingkungan ndalem semenjak bayi. Kalau Roziq dia sudah sering keluar kota. Belajar ilmu Fikih dan Tasawuf sampai ke luar negeri. Dia masih bisa terbang sebebas burung kuntul yang bisa ke mana saja. Karena dia seorang pangeran. Seorang putra mahkota yang akan meneruskan warisan keluarga kami nantinya. Anak Abah dan Ibu hanya aku dan Roziq, anak sepersusuan kami ada satu. Dia sedang kuliah di Jogja saat ini.

"Mau, ya, tak kenalkan?"

Aku mengangguk pelan, menunduk malu, wajah menghangat, mungkin merona sempurna, karena melihat wajah si Mbah yang sumringah, sambil meminum kopi di cangkirnya. Mbah putri memelukku sembari terkekeh. "Mbah putri pingin segera menimang cucu buyut dari cucu perempuan satu-satunya di keluarga ini," lanjut Mbah putri sembari melihat gorengan pisang di wajan.

"Insyaallah, Mbah. Insyaallah," jawabku dengan tenang.

Beberapa hari berselang, waktunya Abah dan Ibu pulang dari umroh beserta rombongan. Pakde Jamal, istrinya serta sepupu membawa beberapa kendaraan, untuk mengakomodir kepulangan beberapa jamaah yang ikut serta umroh.

Kami menunggu sebab pesawat belum landing. Gus Miftah, sepupuku membawa seorang teman. Katanya, mereka pergi ke Yaman selama beberapa lama. Teman kuliah juga teman akrab. Putra sulung Pakdeku ini orangnya ramah. Karena itu dia punya banyak kenalan.

"Sini, duduk sini." Ada Bude dan Pakde juga.

Aku mengambil tempat di sebelah Bude Anis tanpa ragu, berhadapan langsung dengan teman Gus Mif tadi. Kami duduk satu meja di salah satu Coffee Shop Bandara Juanda sembari menunggu kedatangan Abah dan rombongan.

Sekilas, memandang, lelaki itu memang tampan. Tinggi badannya menjulang, mungkin mencapai 185cm. Punya cambang tipis di sekitar dagu. Hidungnya bangir. Bibirnya berwarna merah muda. Senyumnya manis. Kalau dibilang aku terpikat pada pandangan pertama. Mungkin!

Aku menundukkan kepala, saat Pakde berkata sambil melihat ke arahku, "cantik dan sae, kan?"

Terdengar suara kaki kursi yang bergeser, entah siapa yang menggeser, enggan mengangkat kepala, masih serba salah melihat teman Gus Miftah.

Njih, sangat Pakde.”

Siapa? Siapa yang bersuara tadi, rasanya mendengar suara itu untuk pertama kali, membuat getaran halus sekitar dada.

"Yo wes. Sek, ya, Ze. Gus Mif mau tak suruh ambilkan hape Pakde yang tadi ketinggalan dan Ummi. Ayo, antarkan aku ke toilet, sudah kebelet ini," ujar Pakde yang kemudian membawa Bude beranjak dari tempatnya serta Gus Mif yang kemudian ikut menghilang entah ke mana.

Hanya tinggal aku, dua gelas kopi hitam yang masih mengepul, donat dua biji di atas piring berwarna putih kemudian di seberang meja bundar ini, dia ... pria itu yang sedang duduk menegakkan punggung. Menghadap ke arahku.

"Ini ..." aku terbata, menyodorkan piring berisi makanan bulat dengan hiasan cokelat dan gula. Entah harus memulai percakapan dari mana, bingung. Serba salah dengan tatapannya itu, baru kali ini sorang pria menatapku dengan lembut. Jika itu teriakan aku ingin mengatakan, diam!

Kami ditinggal berdua, tanpa mahram yang mendampingi. Sangat tidak biasanya pakdeku bersikap seperti ini. Membiarkan duduk dengan pria asing, parahnya kami hanya berdua saja saat ini.

***

Love,

Mahar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status