Share

2. Iblis Di Dunia Nyata

Aku meraung keras sambil menangis. Kumohon, kumohon, kumohon ini semua hanya mimpi! Aku ... hanya bermimpi, kan? Ya, pasti hanya mimpi! Tidak mungkin ada iblis yang bisa menyentuh dan mengisap darah manusia! Tubuhku yang letih ini mungkin karena efek mimpi yang melelahkan! Tapi ... rasa sakit dan lengket di pundak tadi terasa nyata. 

Lelah setelah menangis berjam-jam, akhirnya mataku terpejam dan larut ke alam mimpi. Di dalam mimpi, aku kembali bertemu dengan iblis itu. Iblis bermata hijau yang telah menciumku setelah mengisap pundakku. Tubuhku lagi-lagi tidak dapat bergerak, terasa kaku. Sementara iblis itu berjalan mendekatkali ini ia tidak melayang.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ladang lavender yang cantik sejauh mata memandang, dengan aroma harum khasnya. Lavender adalah bunga kesukaanku. 

Iblis itu kemudian berhenti, menyisakan jarak beberapa langkah di depanku. Saat mataku kembali ke wajah tampannya, bibir iblis itu mengulas senyum yang kupikir sangat menawan dan mampu meluluhkan hati setiap wanita yang melihatnya, terkecuali aku.

“Nadja ... keinginanmu adalah ... berciuman dengan orang yang kaucintai di padang lavender, kan? Akan kupenuhi.”

Aku berusaha untuk berbicara, tapi hanya erangan yang keluar. Mataku memelotot padanya dengan penuh ketakutan. 

Bukan orang yang kucintai, tapi suami yang kucintai! Dan bukan kau orangnya!

“Lambat laun, Nadja ... aku akan menjadi satu-satunya pria yang kaucintai. Hanya aku di hati dan pikiranmu, di setiap helaan napasmu. Hanya namaku yang memenuhi otakmu, Xander ....”

Dengan sekuat tenaga mulutku mengeluarkan pekikan yang sangat keras, membuat telingaku berdenging sakit. Lalu bayangan si iblis bermata hijau dan juga ladang lavender bergoyang, lantas hancur berkeping-keping. 

Kemudian mataku terbuka dan mendapati langit-langit kamar temaram yang hanya diterangi cahaya keperakan bulan purnama. Napasku tersengal.

Aku ... hanya bermimpi! Air mata lega menuruni pipiku. Terima kasih, Tuhan.

Tapi ... bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu? Terasa sangat nyata! Tubuhku seketika meremang. Aku tidak mau mengingatnya lagi!

Dengan jantung berdebar karena rasa lega, kembali kupejamkan mata, tidak menolak rasa kantuk yang datang. 

***

Aku terbangun saat cahaya matahari mengintip dari sela-sela dedaunan pohon akasia di dekat jendela kamar. Aku bangun dengan perasaan lega yang luar biasa. Bahagia. 

Hari ini adalah hari pertamaku di kampus setelah OSPEK yang dengan susah payah kulalui selama seminggu. Senyum tak pernah lepas dari bibir saat aku memakan roti panggang selai kacang yang disediakan Ibu. Sampai-sampai Lyla, adikku yang genit, menyebutku gila. Radja, kakakku yang tampan, hanya terkekeh melihat. Oh ya, Radja itu seniorku di kampus. Usia kami hanya terpaut tiga tahun. Dengan Lyla, usiaku empat tahun di atasnya.

“Apa roti selai kacang yang kaumakan telah berubah menjadi piza, Honey?” tanya Radja. “Apa itu berkat senior tampan di kampus?”

“Mungkin,” jawabku tak acuh. Aku bahagia. Yes, aku bahagia karena yang kualami ternyata hanya mimpi, meskipun terasa seperti nyata.

“Sebaiknya tidak menggoda saudara kalian di saat sarapan seperti ini,” tukas Ibu menggelengkan kepala sambil meletakkan nampan berisi tiga gelas susu di meja makan. Radja menyukai susu murni mix sirup coco pandan, Lyla menggemari susu murni mix vanila, dan aku sendiri merasa lebih nikmat meminum susu murni tanpa campuran, rasanya tidak ada duanya.

Apa? Kau bertanya ayahku di mana? Ayahku ada, entah di mana, mungkin juga masih tertidur lelap di kamar atau tengah mengurusi pekerjaannya yang tidak jelas, dan aku tidak peduli. Ia memang ayahku, tapi aku tak pernah menganggapnya, begitu juga kedua saudaraku; mereka tidak memedulikan Ayah. Sejak kelas empat di sekolah dasar, rasa benciku padanya mulai mengakar. Pria sialan itu menyelingkuhi Ibu, dan Ibu mengetahuinya namun tidak dapat berbuat apa-apa. Mungkin Ibu sudah tidak mencintai Ayah, tapi ia tidak bercerai karena memikirkan kami bertiga, terutama Lyla. 

Sejujurnya aku lebih suka jika mereka bercerai, karena sampai saat ini, kelakuan Ayah tidak berubah. Main perempuan dan berjudi. Ayah kerap memarahi Ibu tanpa alasan yang jelas, dan aku sangat membencinya. Memang Ayah tidak melakukan kekerasan fisik, tapi tetap saja, aku tidak menaruh simpati padanya. 

Ibu berkata pada kami para anaknya agar berhati-hati dalam memilih pasangan kelak, harus melihat seperti apa kepribadiannya, bukan hanya karena nafsu semata atau perasaan yang disebut cinta buta. Dulu Ibu mati-matian mempertahankan Ayah meski orang tuanya menentang, dan inilah hasilnya. Ibu didera perasaan menyesal, dan tidak ingin ketiga anaknya mengalami hal sama.

Gara-gara Ayah tidak menafkahi kami, Ibu dan Radja harus bekerja. Ibu bekerja sebagai karyawan di toko roti dekat rumah sementara Radja bekerja sebagai asisten dosen di kampusnya dan juga melakukan part-time di toko servis komputer. Aku juga ingin bekerja, tapi Ibu melarang. Ia bilang aku baru boleh bekerja jika sudah kuliah. Dan kini aku sudah kuliah, jadi dengan senang hati aku akan mulai bekerja membantu Ibu dan Radja.

Setelah berpamitan pada Ibu, kami bertigaLyla, aku, dan Radjamengayuh sepeda menuju tempat tujuan kami. Lyla berpisah dengan kami di tikungan kedua, lalu tak berapa lama, Radja mendahuluiku ke kampus karena ia harus mempersiapkan kelas, sementara aku mengayuh sepeda dengan santai, menikmati pemandangan deretan pepohonan di kedua sisi kanan dan kiri jalan yang bernuansa hijau, kuning keemasan, dan merah.

Rasanya dadaku sesak dipenuhi rasa bahagia, sampai kemudian mataku menangkap sesosok pria di dekat parkiran sepeda di kampus. Pria itu, iblis bermata hijau yang ada di dalam mimpi burukku! Dia tengah berdiri tak jauh dari posisiku saat ini, dengan pakaian serba hitam yang membalut tubuh tingginya. Mata hijaunya yang berkilat karena pantulan cahaya matahari pagi, menatapku tajam, dengan sorot yang kental oleh nafsu. Seketika bulu kudukku berdiri. Saat ini juga, rasa bahagiaku sirna. 

Bagaimana mungkin iblis dalam mimpiku kini ada di dunia nyata?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status