Share

4. Lavender

Menjelang larut malam, aku tak ingin memejamkan mata meski kantuk mulai menyerang. Aku berusaha bertahan dengan menenggak dua cangkir kopi pahit, sebab jika terlelap, aku khawatir akan bertemu lagi dengan Xander di alam mimpi: itu hal terakhir yang kuinginkan.

Sepulang kuliah aku telah mendapatkan kerja part-time pertamaku, menjadi petugas laundry di sebuah ruko yang membuka jasa laundry yang terletak di kawasan apartemen dan perumahan mewah yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, tapi dekat dengan kampus. Upah yang akan kuterima lumayan, dan pemilik laundry-nya pun hangat serta ramahMbak Fia namanyajadi aku mengambil pekerjaan itu. Aku baru akan mulai bekerja di Ceria Laundry esok hari sepulang kuliah, mulai jam 5 sore sampai jam 11 malam.

Awalnya Ibu tidak mengizinkan karena aku harus pulang sendiri setiap jam 11 malam dengan mengayuh sepeda, tapi aku bersikeras bahwa aku akan baik-baik saja. Aku bilang padanya aku bisa menjaga diriku sendiri dengan keahlian bela diri yang kudapatkan saat duduk di SMP sampai saat tahun terakhirku di SMA. Walaupun dalam hati merasa ragu apakah aku bisa melawan iblis seperti Xander.

Mengingat pria itu saja sudah membuat bulu kudukku meremang. Begadang sepertinya akan menjadi kebiasaanku setiap hari mulai malam ini. Tubuhku pasti tidak akan sanggup, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. 

***

Aku menguap untuk kesekian kalinya hari ini. Aku berhasil begadang dalam dua hari ini, dan inilah hasilnya, mengantuk berat saat kuliah. Tapi untung saja aku masih bisa menyimak materi yang diberikan oleh para dosen.

“Seharusnya kau tidak begadang, Nadja. Kalau untuk belajar kan tidak perlu semalam suntuk, lagi pula kita baru saja mulai kuliah.” Lidya memberi nasihat sambil mengunyah salad buah yang dibelinya di kantin kampus. 

Aku hanya tersenyum miring, lalu menenggak kopi dinginku. Aku tidak mungkin menceritakan soal Mr. De Ville atau Xander pada Lidya, karena mungkin ia akan menertawakan atau menganggapku hanya mengada-ada. Aku sendiri berharap bahwa aku hanya mengada-ada. 

Lalu tiba-tiba Mr. De Ville duduk di bangku di seberang meja kami, mengenakan kemeja putih lengan panjang tanpa dasi dan celana bahan putihia tampak seperti iblis yang sedang menyamar menjadi malaikat. Mata hijaunya menatapku lekat, tanpa berkedip, membuatku merinding dan ingin segera angkat kaki dari sini. 

“Lidya, kurasa aku mau menghirup udara segar di taman. Di kantin sini ... pengap.”

Lidya mengangguk. “Aku ikut—” ucapannya terhenti saat ia melihat Xander. Ia menoleh padaku dengan cepat. “Ya, Tuhan, itu Mr. De Ville!” Wajahnya yang eksotis tampak memerah gelap. “Aku harus bagaimana?”

Aku menelan ludah. “Kau sapa dia saja. Kita bertemu lagi nanti di kelas. Sampai nanti, Lidya.” 

Aku bergegas meninggalkan Lidya dan Xander di belakangku, seperti maling yang tengah dikejar polisi. Di taman yang ditumbuhi pepohonan mahoni, flamboyan, kamboja berbagai warna, dan cemara ini, kuhirup oksigen banyak-banyak. Lega rasanya bisa jauh dari Xander. 

“Kau tidak bisa lari dariku, Nadja.”

Aku menoleh terkejut pada Xander yang kini telah berdiri menjulang di sebelahku. Spontan aku langsung menjauh, namun kakiku terpaku di tempat, tidak dapat digerakkan. Apakah aku sedang bermimpi? Ini mimpi atau ... kenyataan?

“Tidak ada bedanya kau bermimpi atau tidak, bukan? Aku akan selalu ada.” Tangan Xander terulur untuk meraih wajahku, besar dan hangat. “Jangan begadang lagi,” ujarnya pelan, suaranya lebih menyerupai desau angin. 

Meskipun wajah di hadapanku ini sangat menawandengan alis hitam tebal melengkung yang menaungi mata hijau muda yang mengingatkanku pada keindahan warna danau yang pernah kukunjungi sewaktu kecil, hidung lurus mancung layaknya orang Eropa, bibir dengan warna merah yang tampak segar, serta rambut hitam legam bergelombang yang membingkai bentuk wajah dengan garis tegas dan rahang yang tampak keras bagai hasil pahatan maestro Yunani kunoaku tidak merasa terpesona.

Aku ingin menjauh, tapi tidak bisa bergerak. Napasku terasa sesak. Bayangan hal-hal yang iblis ini lakukan di dalam mimpi menari-nari di otakku, membuat sekujur tubuhku panas-dingin.

Kumohon, bergeraklah, aku tidak ingin merasa lemah seperti ini! Air mata meleleh membasahi pipiku, terasa panas. 

Xander menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya. Lalu pria itu menunduk, mata hijau mudanya memaksaku untuk menatap matanya. Bibir merahnya membentuk seringai sebelum menyentuh bibirku, terasa hangat, seperti juga sentuhan tangannya.

Sentuhan bibirnya di mengalirkan rasa panas ke sekujur tubuh, membuat jantungku seolah berkejaran. Iblis ini, kurang ajar sekali menciumku di tengah keramaian! Jika semua orang melihat ... kami akan menjadi pembicaraan orang-orang! 

Saat bibir Xander akhirnya menjauh dariku, aku langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, karena ciumannya tadi membuat napas terasa sesak.

“Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, kau akan jadi milikku seutuhnya, dan saat itu kau akan tersadar sepenuhnya, Nadja, bahwa tubuh, hati, dan pikiranmu tidak akan bisa jauh dariku.”

Tidak akan pernah! Pergi!

Xander menyeringai, wajahnya tampak senang. Lalu ia berjalan melewatiku. 

Sedetik kemudian aku dapat menggerakkan tubuh, lalu tanpa membuang kesempatan, aku berlari secepat mungkin menjauhi Xander. Tapi kemudian Xander tiba-tiba muncul di depanku, membuatku terkejut setengah mati. Aku tak sempat menghentikan laju lariku sehingga tubuhku menubruk tubuh kerasnya. Saat bermaksud untuk menyikutnya, tiba-tiba Xander menghilang, membuatku bingung.

Barusan aku hanya mengkhayal atau ...? Tapi sepertinya aku menabrak benda keras?

“Kau mencariku, Nadja?”

Aku membelalak mendapati pria itu berdiri di belakangku dengan seringai. Ia berjalan mendekat perlahan. Tanpa menunggunya, aku kembali berlari menyusuri taman kampus yang luas, melewati pepohonan rindang, ke mana saja, yang penting menjauh dari Xander. 

Setelah keluar dari taman, kakiku mengarah ke dalam gedung kampus. Beberapa menit lamanya aku berlari menaiki tangga di dalam gedung, kemudian baru menyadari bahwa aku tengah berlari di lorong sepi dan agak gelap menuju perpustakaan di lantai empat. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Xander hanya berjarak enam meter dariku, melangkah pelan tapi pasti.

Aku merutuki kebodohanku. Seharusnya aku tidak berlari tanpa tujuan seperti ini! Napasku kini terasa sesak dan kakiku juga pegal karena terus-menerus berlari, sementara peluh membasahi kaus putihku. Tapi aku tidak boleh berhenti. Jika aku berhenti, maka Xander akan menangkapku!

Beberapa detik lagi tanganku menggapai gagang pintu perpustakaan. Di dalam sana pasti ramai, dan Xander tidak akan bisa menyentuhku. Namun, harapanku pupus saat Xander lagi-lagi muncul di depanku, dan lagi-lagi aku menubruk tubuh kerasnya.

“Aromamu ... sungguh harum.” Xander mengangkatku dari lantai lalu mendekapku dengan erat sementara hidung dan bibirnya menempel di leherku yang bermandikan peluh, membuat bulu kudukku meremang. 

“Lepaskan aku!” Aku meronta, namun lengan-lengan kuat Xander mengunciku, membuatku tidak dapat bergerak sedikit pun. “Sialan! Kau iblis sialan, lepaskan aku!”

“Kenapa kau bersikeras, Nadja?”

“Kau menjijikkan! Aku tidak mau menjadi milikmu!”

Mata hijau Xander tampak meredup sesaat sebelum menatapku dengan keji dan penuh nafsu. Kemudian kurasakan kedua tanganku bergerak sendiri, naik ke atas merangkul lehernya, lantas menekannya ke arah wajahku yang mendongak.

Hentikan, aku tidak mau! teriakku tanpa suara.

Wajahnya terlalu dekat denganku, bibirnya tersungging ke atas membuat wajahnya terlihat tampan. Ahh, tidak! Dia seorang yang jahat. Iblis jahat.

Samar-samar tercium aroma lavender yang menenangkan.

Air mata sudah membasahi wajahku, namun seolah Xander tak peduli, bibirnya terus saja menempel di keningku, lalu turun ke puncak hidung. Saat aku memandang berkeliling, aku terkejut karena kami berada di padang lavender luas seperti dalam mimpiku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status