Jaeran mengecup pelan surai sang isteri yang masih terlelap dengan lemah lembut pria itu membangunkan Rosa yang masih tertidur pulas. Jaeran melihat ke arah arlojinya lalu memeluk pinggang sang isteri sesaat, tak mungkin jika dirinya melakukan olahraga erotis dipagi hari seperti ini. Suara dentingan ponsel membuat Rosa merasa terganggu, karena tak ingin sang wanita merasa badmood dipagi yang cerah ini dengan terpaksa Jaemin mengubah mode silent pada pengaturan ponselnya. "Mau tidur sampai jam berapa, hm?" Tanya Jaeran dengan nada rendah dan tenang.
"Bentar lagi, ih. Ngantuk semalam aku setoran banyak sama editor ..." Jaeran mendengus lalu beranjak darisana dan melangkah ke arah kamar mandi. Sekiranya tak ada suara lagi, Rosa membuka kelopak matanya kemudian mencari sosok suaminya, karena hampir diseluruh penjuru rumah Jaeran tak ada dan tak ia temukan.
Rosa lantas berteriak dan menjerit ketakutan akan Jaeran yang meninggalkannya. Air matanya luruh berjatuhan, pria itu yang melengan keluar dari kamar mandi tersentak melihat sang isteri menangis saat melihatnya. "Shhtt, ... aku di sini, gak akan ke mana-mana. Udah ya," Jaeran mengusap pelan pipi tirus Rosa lalu merengkuhnya ke dalam pelukkan hangat lelaki itu.
Jaeran menghela panjang seraya mengusap surai Rosa yang masih terisak. "Jangan tinggalin aku lagi," pemuda itu terkekeh lalu menggenggam tangan sang isteri dan berjalan ke arah dapur. "... kamu taukan sebegitu takutnya aku kehilangan kamu?"
Jaeran menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Rosa yang menatapnya penuh makna. "Bukan kamu ajh, aku juga takut kehilangan kamu ... jangan pikirin yang aneh-aneh lagi, gak baik buat kesehatan kamu."
Jaeran mengangkat telepon dan melirik ke arah Rosa yang sedang membuat roti bakar untuk sarapan mereka, setelah memutuskan panggilannya pemuda memeluk tubuh ramping isterinya secara tiba-tiba dari belakang. "Hari ini aku ada pasien, kamu gak ke mana-manakan?" Rosa menggeleng pelan lalu meletakkan roti yang baru ia panggang di atas piring saji.
"Ada apa?"
"Nanti jadwal kamu kontrol, ..." ucap Jaeran mengingatkan. Wanita itu menghentikan aktifitasnya dan menatap sang suami tak banyak reaksi, Rosa masih diam dan tak menjawab peringatan Jaemin.
"Aku udah sehat," Jaeran mengulum bibirnya tipis dan tak berkata apapun. Pria itu tau dari kejadian beberapa saat lalu tentu kondisi sang isteri belum sembuh benar dari trauma yang menderanya.
"Karena kamu udah sehatkan? Jadi harus dicheck." Pelan pemuda yang mencoba membujuk Rosa.
"Kenapa gak kamu ajh yang meriksa? Kan kalian satu profesi, ... sama-sama ahli kejiwaan?" Jaeran tersekat saat sang isteri mulai mendebatnya dengan kesabaran yang masih tersisa, pemuda itu mencoba untuk tak sakit hati akan perkataan sang isteri.
"Sayang--- tentu kamu tau, dia dokter yang menangani kamu dari sebelum kita nikah," Rosa masih tak merespon dengan baik, wanita itu memegangi kepalanya yang kian pening. Jaeran yang melihat itu langsung saja, menurunkan tangan perempuannya itu dan menuruti keinginan isterinya. "Okey, okey, kita gak akan kontrol! Puaskan?" Rosa mengulas senyum lalu memeluk tubuh bongsor sang suami, Jaemin terpaksa melakukan hal itu karena tak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk.
"Makasih," bisiknya melirih. "Aku sayang kamu, Na." Dekapan itu dipererat oleh Jaemin dan tanpa sadar air mata lelaki itu turun begitu saja.
"Aku juga sayang kamu sampai mau gila rasanya, ..." balas Jaeran yang akhirnya berangkat kerja.
Herina menatap Jaeran yang datang tak bersama isterinya, ... pemuda itu mendengkus saat berada diruangan teman semasa kuliahnya dulu. Herina tau masalah yang dihadapi oleh pria itu berat mengingat apa yang membuat mereka saling jatuh cinta dan memutuskan bersama. "Bagaimana Rosa?" Jaeran menggeleng pasrah, lelaki itu menatap nerawang langit biru dari luar jendela.
"Masih sama, ..."
"Saran gue, kenapa gak loe panggil Jerome ajh. Adik loe kan juga satu profesi sama kita dan kebanyakan pasien yang dia tangani sembuh secara total." Jaeran tak yakin dengan keputusannya itu, memanggil Jerome memang bukan hal yang buruk. Namun memikir apa yang akan terjadi membuat pemuda semakin mengurungkan niatnya.
"Gue gak mau sesuatu terjadi,"
"Jangan ada keraguan kalo loe mau isteri loe sembuh dan bisa memiliki keturunan, Jae. Pikirin saran gue baik-baik, biar bagaimanapun Jerome masih adik loe. Diluar dari hubungan kalian yang kurang begitu baik, pentingin juga kesehatan Rosa." Jaeran masih diam tak banyak merespon saran dari Herina sampai perempuan itu beranjak pergi darisana.
Rosa berjalan memasuki rumah megah yang ia ketahui itu adalah rumah keluarga Minendra, perempuan masuk begitu saja selayaknya pemilik rumah. Rosa terkejut melihat seorang wanita menatapnya tak suka karena masuk tanpa izin. Wanita itu mengusir Rosa lalu itu tak membuat isteri dari Jaeran itu takut. "Menantu mama kapan datang?" Tegur sang ibu mertua yang cukup buat perempuan disebelahnya terkatup rapat.
"Baru, ma. Ouh ya ini siapa?"
"Calon Jerome," Rosa mengangguk pelan lalu tersenyum ramah. Perempuan yang mengulas senyum tipis itu memaklumi sikap perempuan yang baru saja menariknya keluar. "Gak sama Jaeran? Padahal mama kangen lho sama anak sulung mama ..." ujar sang ibu mertua kecewa.
"Nanti dijemput kok, ma." Mama mengangguk lalu menggandeng tangan Rosa berjalan ke dalam rumah. Perempuan paruh baya itu menceritakan tentang kondisi putra bungsunya yang akhir-akhir ini menanyakan tentang isteri kakaknya sendiri.
Mama yang menyinggung soal bayi tak sengaja membuat hati Rosa sakit dan memori yang terputar dalam benaknya menampilkan wajah Jaeran yang senang terhadap anak kecil. Perempuan itu tersenyum pilu saat ingat betapa sempurnanya seorang Gernandra Jaeran dan mau menerima perempuan cacat seperti dirinya. Sebuah cairan bening menetes tanpa sadar, Rosa yang tak mau berlama-lama di sana memutuskan untuk pulang saja dan tak menunggu sang suami datang. Sesampainya dirumah perempuan langsung mengurung diri dalam kamar dan menguncinya, Jaeran yang juga baru pulang dari rumah sakit dibuat terkejut dengan pintu kamar yang terkunci. Pria itu mengetuk pintunya lalu mencoba melakukan panggilan. "Rosa," panggil Jaeran pelan.
Sedangkan Rosa terus saja meracaukan hal yang tak penting. "Aku gak bisa ngasih anak," isaknya pelan dalam kamar mandi. "Aku mandul, ..." Jaeran mendengar sesuatu jatuh dari dalam kamar mandi. Karena perasaannya mulai tidak enak terhadap sang isteri, Jaemin tak berpikir dua kali dan langsung mendobrak pintu kamarnya sendiri.
Pemuda itu berlari ke arah kamar mandi, betapa terkejutnya lelaki itu melihat kondisi sang isteri yang kian hancur. "ROSA!!?" pekiknya terkejut lalu menggendong sang isteri ala bridle style.
Jaeran meletakkannya dengan hati-hati diremasnya tangan sang isteri dengan penuh rasa khawatir. "Jangan sakit, ... jangan lakukan hal yang bisa membuat aku kehilanganmu, ayo sembuh. Biar kita bisa memiliki keturunan ..." pedih Jaeran yang ikut menangisi akan penderitaan sang isteri.
Rosa menatap sayu sang suami dibelainya surai kibiruan milik Jaeran. "Na, ... ayo kontrol," lirih perempuan yang mampu saja membuat senyum dibibir pemuda itu terbit. Jaeran mengangguk antausias, kemudian menghubungi Herina agar segera datang ke kediamannya.
Setelah beberapa saat diperiksa, Herina menghela lelah. "Kamu tuh jangan terlalu memusingkan hal yang gak penting."
"Apa anak gak penting?"
"Penting, ... tapi bagaimana mau memiliki anak kalo kamu diajak ketemu aku gak mau!!" Omel Herina yang malah dibalas tawa kecil oleh Rosa. Herina ikut tertawa kecil dan menatap perempuan yang tengah berbaring itu lurus. Selepas Rosa tertidur, Herina pergi menemui Jaeran yang duduk termenung sendiri. "Sebaiknya loe ikutin saran gue, dan yang gue dengar dari isteri loe. Jerome udah ada calon, ... jadi loe gak perlu khawatir." Herina pergi begitu saja tanpa mempedulikan si pemilik rumah.
Jaeran yang baru bangun tidur siang menatap paras sang isteri penuh damba dibelainya wajah itu hingga membuat sang empunya merasa risih. Pemuda itu mengecup bibir Rosa sekilas sebelum lelaki itu beranjak dari tempat tidur, Jaeran tak pernah merasa tega menganggu waktu istirahat sang wanitanya. Sekiranya ia dapat membantu dalam pekerjaan rumah tangga maka lelaki itu akan bantu sebisanya saja, pada saat ia ingin melangkah keluar dari kamarnya tiba-tiba sebuah genggaman lembut menyelinap kesela-sela jemarinya. Rosa membuka kelopak matanya yang begitu indah, ditatapnya wajah sang suami khas orang bangun tidur. "Aku kelamaan tidurnya ya?" Jaeran menggeleng pelan tangannya tak berhenti mengusap wajah sang isteri."Justru aku mikir, ... aku ganggu kamu tidur ya?" Rosa menghela panjang dan kemudian beringsut duduk seraya menggenggam tangan besar lelaki itu."Kamu gak ngusik aku, Na."Entah kenapa ada rasa takut yang menyelimuti
Malam itu kedua pasangan ini mendapat undangan makan malam dari teman lama Jaeran, meski Rosa mengenalnya jelas perempuan bergaun maroon itu terlihat begitu tak bersemangat. Lelaki yang berdiri disamping sang isteri tentu menyadari perubahan ekspresi wanitanya, Jaeran menghentikan langkahnya kemudian menatap seksama perubahan kondisi isterinya. "Rosa, kamu sakit?" Perempuan itu menggeleng lemah. Jelas sekali perempuan itu berbohong, Jaeran melanjutkan langkahnya dan terus menggenggam tangan sang isteri."Kamu duluan ajh, Na. Aku cari air dulu, ..." Jaeran tampak ragu melepas sang isteri, dengan berat hati lelaki itu melepaskan tautan mereka."Aku ambilkan saja," Rosa menggeleng untuk menolaknya."Gak apa, aku bisa." Jaeran tak yakin Rosa terlihat fit saat ini, wajah lemasnya begitu tergambar sekali. Karena khawatir pemuda itu memilih untuk mengikutinya, saat lagi berjalan tak sengaja Jaeran menabrak salah satu teman sekolahnya. Dan
Aisya menatapi wajah Jerome yang terlihat begitu frustrasi berada dikediaman kakaknya itu, perempuan itu mendengus geli saat mengubah pandangannya ke arah dua manusia yang sedang bermesraan. Aisya tau bagaimana perasaan lelaki yang ada disebelahnya itu, sangat tau. Perempuan menepuk pelan pundak Jerome yang lagi termenung sendiri. "Apa loe tuh gak bisa move ke cewek lain gitu, Jer. Itu ipar loe sendiri lho, ..." dengus perempuan tersebut.Helaan berat keluar begitu saja dari lelaki yang mengurus surat-surat perpindahan kerjanya. "Gue gak ngerti lagi, Ai. Semua udah gue coba. Pacaran sama Mia, menerima perjodohan nyokap, sampai tunangan sama Hilda juga. Tapi gue gak ngerti sama sekali, ... waktu kemarin kak Rosa pingsan dengan tanggap gue tinggalin semuanya. Loe bayangin ajh, gue yang lagi sibuk meninggalkan semuanya cuma buat dia doang, sedangkan Hilda yang selalu minta gue temani gak ada waktu sedikitpun." Jelas Jerome yang kembali menatap sendu keluarganya itu, Ai
Rosa tertidur di sofa ruang tengah ditemani Jerome yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, Jaeran menatap sinis wajah sang adik yang menjadi pahanya bantalan sang isteri. Wajah damai Rosa membuat hati keduanya merasa tenang namun itu tak berselang lama ketika Jaeran hendak memindahkannya, lengan besar sang adik menghalanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh sang adik, lelaki itu mengangkat tubuh sang isteri dengan kasar hingga membuat tidur Rosa terusik. Jerome menggeleng pelan melihat perangai sang kakak yang amat begitu tidak suka dengan kehadirannya dikehidupan mereka. "Loe gak bisa pelan?" Tegur Jerome yang membuat Jaeran menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Ke mana ajh loe? Gak tau isteri lagi butuh? Apa loe sebenarnya menikahi Rosa cuma berdasarkan rasa iba?" Jaeran menggeram lalu menatap wajah polos isterinya."Jaga itu mulut ya, ..." geram lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya. Mendadak hatinya ngilu saat memandang raut cemas dalam damai Rosa
Jaeran terkejut dengan sikap isterinya yang tiba-tiba berubah saat berada ditempat temannya, ah, ya, ... temannya pasti akan sangat terkejut dengan apa yang telah mereka lihat pasalnya wanitanya itu tak pernah mau menghentikan pengobatan yang dijalaninya, Rosa tak sendirian di sana ada Jeno serta Herina yang turut menenangkannya, padahal wanita cantik itu hanya meminta izin mengambil sebuah minuman saja. Tetapi apa yang telah ia lewatkan sehingga isterinya berteriak marah pada semua orang, lelaki itu memegang tangan perempuan yang memandangnya entah dengan tatapan mata apa. Yang jelas ketika mereka saling menatap satu sama lain, terpancar rasa lelah yang menyelimuti hatinya, Rosa menggeleng kepalanya perlahan sambil memeluk tubuh besar di depannya itu. Jerome menghela kasar lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama tidak ingin diganggu oleh siapapun, Herina tentu mengerti bagaimana perasaan pemuda itu.Lami berlari-lari menuju k
Rosa sedang mencuci piring dan Jaeran baru saja mengirim laporan rekam medis terakhirnya, perempuan menggeleng saja ketika melihat sifat kekanakkan sang suami. Saat ponsel Jaeran berdering sesaat pemuda itu melirik sang isteri yang masih dengan urusan dapur, ... Jaeran berjalan ke arah depan lalu mengangkat teleponnya itu. Rosa yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu berhenti ketika sang suami tampak terlihat tertawa dengan riangnya. Pria itu mematikan sambungannya lalu berjalan begitu saja tanpa menyadari sosok isterinya, desir sesak menjalar direlung hati perempuan itu. Rasanya seperti ada yang beberda dari sang suami. Jaeran menghentikan langkahnya lalu mengecup sekilas pucuk kepala Rosa, “aku keluar dulu ya, ...” wanita itu meneguk ludah kasar. Ouh, ayolah, sudah berapa lama ia mengenal sang suami? Itu yang ada dipikirinnya.“Bukannya kamu udah janji bakal menemaniku seharian?”
Jena tak mengerti apa dengan mengapa anak bungsu masih tetap bertahan pada perasaan yang bahkan, orang itu tau jika akan terlalu mengambil resiko tinggi jika melawan kakaknya sendiri. Jerome menatap wajah sang mama yang tampak mengerutkan keningnya ingin bertanya, namun lelaki itu memilih diam dan tak mengatakan apapun, ah, ya, itu akan menjadi rasa yang ingin ia pendam sendiri. “Mau sampai kapan?” Tegur sang mama yang membuat pemilik eyes smile itu menoleh.“Maksudnya?” Lelaki itu bertanya balik, mama mendengus dingin lalu menggeleng sambil menunggu perkejaan anaknya itu selesai. Ah, apa mamanya akan membahas hal yang sama, ... Perasaan haram itu? Katakan tidak jika itu benar. “ Mama gak ada maksud buat bahas tentang alasan itu lagi kan?” Tegas pemuda itu yang mendadak menjatuhkan rahangnya.“Jer!” Tegur sang mama yang tampa
Perempuan itu membanting pintu rumah lalu berlari ke kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya ditatapnya dirinya dalam cermin seketika pikirannya menguasai hati yang sedang kalut. “Loe bahkan gak pantas buat diperjuang sama siapapun!” Isaknya kecil lalu meraba benda tumpul yang ada di dalam laci, ... Jaeran terus berlari hingga masuk ke dalam rumah. Suasana hatinya benar-benar kacau dan tak tenang bayangan sang isteri dimasa kelamnya terus saja menghantui benak pemuda sukses itu.“Rose, ... buka ini aku,” tak ada sahutan dari dalam sana, Rosa terduduk dengan sayatan yang masih terbuka matanya menatap kosong sisi kiri ranjang tempat tidur. Mendadak sosok Jaeran terlintas dalam tatapan kosong itu, ... Rosa tersenyum getir.“Na, ... kamu tau?” Kini posisi mereka saling duduk berbelakangan. Hanya sebuah dehaman yang menjadi respon diantara mereka.“Hm,”