Share

2

Jaeran yang baru bangun tidur siang menatap paras sang isteri penuh damba dibelainya wajah itu hingga membuat sang empunya merasa risih. Pemuda itu mengecup bibir Rosa sekilas sebelum lelaki itu beranjak dari tempat tidur, Jaeran tak pernah merasa tega menganggu waktu istirahat sang wanitanya. Sekiranya ia dapat membantu dalam pekerjaan rumah tangga maka lelaki itu akan bantu sebisanya saja, pada saat ia ingin melangkah keluar dari kamarnya tiba-tiba sebuah genggaman lembut menyelinap kesela-sela jemarinya. Rosa membuka kelopak matanya yang begitu indah, ditatapnya wajah sang suami khas orang bangun tidur. "Aku kelamaan tidurnya ya?" Jaeran menggeleng pelan tangannya tak berhenti mengusap wajah sang isteri.

"Justru aku mikir, ... aku ganggu kamu tidur ya?" Rosa menghela panjang dan kemudian beringsut duduk seraya menggenggam tangan besar lelaki itu.

"Kamu gak ngusik aku, Na."

Entah kenapa ada rasa takut yang menyelimuti hati Jaeran saat ini mengingat perihal saran yang diberikan oleh Herina tadi siang, ... Jaeran tak pernah berpikir untuk memanggil adiknya sendiri buat merawat wanita yang memegang status sebagai kakak ipar pemuda itu. "Rose, kalo Jerome yang rawatm kamu setuju gak?" Rosa diam sejenak lalu menatap manik kelam lelakinya.

"Aku gak masalah kalo kamu gak keberatan, ... apalagi dia adikmu kan?" Meski begitu tetap saja ada rasa gelisah yang menyeruak di dalam hati lelaki Minendra itu.

"Aku bakal setuju, kalo kamu cium di sini." Ucap Jaeran yang menunjuk bibirnya, Rosa terkikik melihat tingkah manja sang suami. Perempuan menciumnya sekilas namun lelaki yang tengah menempel kedua bibir mereka itu tak melepaskannya begitu saja.

Jaeran menekan tengkuk sang isteri dan membuat Rosa kehabisan oksigen, pemuda itu memang sang agressif dalam melakukan intim tangan besarnya mengusap lembut punggung sang isteri dan membuat wanitanya merasa geli. "Eung, ... Na." Jaeran melepaskan pangutan mereka dan menatap manik sang isteri.

"Hm?"

"Aku, ... mau pipis, aku ke kamar mandi dulu." Rosa berpikir Jaeran akan melepaskannya begitu saja dengan beralasan ke kamar kecil, namun nyatanya tidak. Lelaki tersenyum manis dan tak melepaskan tautan jari mereka.

"Bareng ajh, ... aku juga kebelet," perempuan itu terdiam ditempatnya menatap paras sang suami yang tak ada celahnya dari kata tampan. Jaeran merasa isterinya tak bergerak dan hanya menatapnya sayu, dahinya mengerut heran. "Kenapa? Gak jadi?"

"Na, ... aku malu," lelaki itu diam sesaat lalu berpikir tentang pengakuan sang isteri barusan, pemuda itu terkekeh. Ia sudah lama tak melihat sikap tersipu Rosa, jujur ia sangat rindu.

"Gak perlu malu, hm?" Jaeran menggesek hidungnya pada hidung sang isteri, perempuan itu mengangguk lalu mengikuti langkah besar pria yang memimpin jalan mereka. Saat sampai di dalam kamar mandi lelaki itu benar-benar tak melepaskan sang isteri begitu saja Jaemin melanjutkan aktivitas erotis mereka di dalam sana.

Lami yang baru sampai merasa rumah sang kakak tampak begitu sepi dan kosong, gadis itu mencoba melakukan panggilan dan ia terkejut melihat ponsel kakaknya tergeletak begitu saja di atas nakas. "Apa kak Rosa gak bawa ponsel ke manapun ia pergi. Dan satu lagi mana mas Jaeran? Kok rumah sepi banget." Gadis itu menggerutu kecil karena rumah tampak begitu senyap, butuh beberapa waktu anak perempuan itu menunggu.

Jaeran terkejut dengan kedatang adik dari sang isteri, "lho Lami? Udah lama?"

"Sejam, ke mana ajh sih!" Protesnya yang hanya dibalas kekehan ringan dari sang kakak ipar. "Kok rumah sepi! Mas Jaeran gak berbuat yang iya-iya sama orang lain kan, selain kakak kan?"

Jaeran sudah menduga akan hal itu, Lami dengan pikiran negatifnya. Lelaki itu bahkan sampai bersumpah saat meminang sang kakak dari gadis yang duduk dihadapannya. "Astaga, masih ajh ..."

Lami tak peduli dengan ujaran pasrah kakak iparnya itu, gadis itu beranjak dari sofa dan melangkah dengan santai lalu memasuki kamar kakaknya itu. "Kamu ke sini dek," tegur Rosa yang menyadari kehadiran adiknya itu.

"Iya kak, udah sejam. Kakak ke mana sih? Aku tuh nunggu dibawah kaya orang tolil tau gak, mana ponselnya ketinggalan. Kan aku mikirnya kakak pergi, ..."

"Ya enggak ding, nanti suami kakak siapa yang urus."

"Suami kakak gak perlu diurusin, udah besar," Rosa terkekeh saat mendengar penuturan gak suka sang adik terhadap suaminya itu, atau mungkin saja Lami masih belum bisa menerima Jaeran sepenuhnya.

"Kamu ini, ..." Lami menatap wajah Jaeran dengan gurat tak suka, kemudian gadis itu berdecih kecil ketika melihat tingkah mesra kakaknya.

"Ada gue lho mas," Jaeran tak bisa berbuat apa-apa jika Lami berada dirumah mereka. Pemuda itu menatap gusar sang isteri kemudian menggenggam erat tangan Rosa.

"Lami," tegur perempuan yang berada di atas ranjang itu. "Na, jangan ambil hati, ..." Jaeran tersenyum tipis, lalu beranjak pergi dari kamarnya untuk mengambilkan adik iparnya minum. Selepas Jaeran pergi, Rosa melirik sinis Lami dan mendesis pelan. "Kamu bisa gak si, bersikap sewajarnya?" Desisnya muak dengan tingkah Lami.

"Kakak gak inget? Wajah itu kan yang buat kakak kaya sekarang? Nanda, cih. Dulu kakak agungkan nama itu!!" Teriak Lami, bahkan sampai saat ini Jaemin hanya mengetahui sepenggal kisah kelam sang isteri melalui sahabat baik Rosa saja. Perempuan itu diam dan menatap adiknya tak percaya, lalu menghela gusar.

"Lami tingkah kamu udah terlewat batas!? Kakak gak pernah minta kamu buat melakukan hal yang gak kamu suka kan?!! Tapi apa begini caramu bersikap pada orang yang lebih tua!?" Bentak Rosa yang tak membuat Lami terkejut.

"Kakak masih sama! Masih dengan perasaan itu! Kakak inget, dulu siapa yang buat kakak kaya gini? NARENDRA, KAK!!! DAN SEKARANG KAKAK AGUNGKAN LAGI NAMA ITU?!! KAKAK TUH HAMPIR GILA GARA-GARA LELAKI BIADAB ITU---" suara tamparan keras terdengar dari luar kamar dan itu membuat Jaeran terkejut dengan hal yang dilakukan sang isteri begitupula dengan Lami yang sama terkejutnya.

Lami tak merasa sakit hati dengan perlakuan kakaknya, gadis itu ingat bagaimana kondisi kakaknya saat ini. Gadis itu berlalu begitu saja dan meninggalkan tanya pada Jaeran yang melihat wajah kedua begitu murung. Rosa menunduk menahan rasa sakit yang kembali menyeruak dalam lubang lukanya yang hampir menutup ingatan di mana masa-masa indahnya bersama sang mantan kekasih hadir kembali. "Na, ..." lirihnya, yang hanya dibalas helaan panjang.

"Gak apa-apa, Lami tau bagaimana kamu, dia adikmu yang paling dirimu sayang ..." pertengakaran itu membuat lukanya semakin terasa sakit. Rosa merasa ia hanya butuh Jaemin berada disisinya untuk saat ini, perempuan itu tak butuh hal lain. Hanya Jaeran. Obat penenangnya. Bahkan perempuan itu tak butuh Jerome sepertinya, tetapi entahlah tak ada yang tau juga seberapa berarti Jerome dihidup Rosa nantinya.

Kali ini Jaeran tak berpikir dua kali untuk menghubungi sang adik, karena tak mau semua semakin kacau. Jaeran terpaksa menghubungi Jeno yang sedang melakukan magang disalah satu klinik kecil. Setelah menghubungi Jerome, Jaeran duduk menghampiri Lami yang lagi menahan air matanya. "Kalo mau nangis, nangis ajh. Gak apa-apa, Lam. Gak semua orang sama dengan lelaki yang sebelumnya mengisi hati wanita yang kita cintai. Kalo itu mengenai wajah gak ada yang mau dilahirkan memiliki wajah yang serupa ... gak ada, Lam." Jaeran beranjak dari duduknya dan mengangkat telepon dari rumah sakit.

Lami terdiam ia merasa menyesal telah tidak menyukai sang kakak ipar, seharusnya ia menerima pemuda itu dengan menutup lembaran lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status