Share

Bab 5. Perjanjian Sebelum Pernikahan

“Adek, udah dong, jangan nangis lagi!” kata sang bunda. Ia menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin. “Cuci muka dulu yuk!” Anin membantu anaknya bangun. Lalu menemaninya ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya yang luntur karena air mata.

“Adek jangan sedih lagi ya, Mami telepon Kakak dulu,” ucap Tyas menenangkan Andin. Kemudian ia menelpon Aisyah. Sementara Andin di rias ulang setelah mencuci muka.

Inul dengan sigap merias ulang sang pengantin. “Cucok meong, Cin,” kata Inul setelah ia selesai merias Andin.

“Sayang, Kakak lagi di rumah sakit dan Fadil masuk ICU. Mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aamiin,” ucap Mami Tyas setelah ia selesai menelpon Aisyah.

“Kak Fadil belum mati?” tanya Andin. Ia tampak bahagia mendengar kabar Fadil. Tadinya ia pikir, Fadil sudah meninggal saat sang kakak bilang sudah terlambat.

“Sayang, emangnya Fadil hewan!” tegur Mama Dhila.

“Eh iya, Ma, maaf. Meninggal maksud aku,” ucap Andin sambil menyeringai.

“Kamu jangan khawatir lagi sama Kakak ya! Fokus ke pernikahanmu aja!” Dhila membelai lembut pipi keponakannya.

“Iya, Ma,” jawab Andin, lalu beralih menatap sang bunda. “Bun, boleh nggak aku ngomong sebentar sama Om Haidar?” tanya Andin pada bunda Anin.

“Kok, Om sih?” Anin menautkan alisnya. “Panggil Abang atau Mas, jangan Om!” tegur sang bunda.

“Iya, Bun,” jawab Andin tampak memelas.

“Ya udah, bunda panggil dulu ya,” ujar sang bunda. Kemudian Anin, Tyas dan Dhila keluar dari kamar pengantin.

Tidak lama kemudian ada yang mengetuk pintu kamar pengantin.

“Eike anjas yang bukit,” (aku aja yang buka ) kata Inul. Lalu ia bergegas untuk membuka pintu.

“Sheila majid masako!” ( silakan masuk ) ucap Inul menggunakan bahasa banci. Ia mempersilakan Haidar masuk. Lalu keluar dan menutup pintunya.

Haidar menautkan alisnya. Ia tampak bingung dengan ucapan pria setengah mateng itu. 

“Bukannya sheila seorang penyanyi, kenapa masak?” ucap Haidar dalam hatinya, “Ah sudahlah,” imbuhnya dalam hati.

Haidar pun berjalan mendekati pengantinnya. Ia terpesona dengan kecantikan gadis cantik yang berbalut gaun pengantin yang seksi saat Andin berbalik dan berhadapan dengannya.

Dengan susah payah Haidar menelan ludahnya. Ia tidak berkedip menatap calon istrinya. “Sempurna,” ucapnya tanpa sadar.

“Kenapa, Om? Terpesona dengan kecantikan calon istrimu ini? Apa Om baru ngelihat cewek cantik dan bahenol kayak aku?” tanya Andin sambil berlenggak-lenggok di depan calon suaminya.

“Cantik, tapi gesrek,” gumam Haidar sambil mencebikkan bibirnya.

“Aku bukan pria murahan yang gampang tergoda dengan wanita murahan sepertimu!” tegas Haidar. Ia menyangkal kalo ia terpesona dengan kecantikan Andin.

Andin langsung menendang tulang kering Haidar. Ia sangat marah mendengar calon suaminya sendiri menyebutnya wanita murahan.

“Aww!” Haidar meringis kesakitan mendapat serangan mendadak dari calon istrinya sambil memegangi kakinya yang ditendang Andin.

“Aku bukan wanita murahan seperti yang kamu bilang! Dasar tua bangka tidak tahu diri! Jomlo ngenes udah tua nggak laku-laku,” cecar Andin. Lalu ia menonjok perut calon suaminya.

Haidar yang masih meringis kesakitan akibat tendangan calon istrinya di tulang kering, tidak bisa menghindar serangan kedua dari calon istrinya.

“Astaga! Belum menikah aja udah KDRT,” ucap Haidar sambil memegangi perutnya. Bukannya ia tidak bisa melawan, tapi Haidar tidak mau melawan seorang wanita, apalagi dia calon istrinya sendiri.

“Makanya, jangan panggil aku wanita murahan lagi! Kalo senjatamu mau selamat!” ancam Andin sambil menunjuk tubuh bagian sensitif calon suaminya.

“Nih, cewek berbahaya, aku harus hati-hati,” ucap Haidar dalam hatinya.

“Baiklah, aku minta maaf,” ucap Haidar sambil memegangi perutnya.

“Ok, aku maafkan,” ucap Andin sambil melipat tangannya di bawah dada. "Awas kalo berani merendahkan aku lagi! Aku nggak segan-segan memotong senjatamu!" imbuhnya sambil menunjukan senjata di balik celana panjang calon suaminya.

Haidar mengedikkan bahu sambil memegangi kemaluannya. “Sekarang bicaralah! Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Haidar yang masih meringis menahan sakit ditulang kering dan perutnya.

Andin menarik tangan Haidar. “Om duduk dan tunggu di sini!” Andin menyuruh Haidar untuk duduk di pinggiran tempat tidur.

Sementara ia berjalan ke meja kerja sang kakak, mengambil kertas dan pulpen dari laci. Ia menuliskan sesuatu di dalamnya. Setelah selesai menulis, Andin kembali menghampiri Haidar.

“Baca!” Andin menyodorkan kertas berisi tulisannya pada Haidar.

Haidar mengambil kertas dari tangan Andin. “Apa ini?” tanya Haidar.

“Lama!” ucap Andin. Ia pun kembali mengambil kertas itu dan membacakannya. “Poin pertama, Om nggak boleh selingkuh. Walaupun kita menikah bukan atas dasar cinta, tapi aku nggak mau berbagi suami,” jelas Andin.

“Ngapain juga selingkuh, kamu aja udah sangat merepotkan,” jawab Haidar sambil melirik Andin dengan sinis.

“Kedua. Aku mau melanjutkan kuliahku dan Om nggak boleh melarang,” ucap Andin. Ia menatap lekat Haidar. “Kalo dilihatin, ternyata si tua bangka itu ganteng banget, tapi sayang, angkuh pisan,” ucapnya dalam hati.

 “Terserah kamu!” jawab Haidar. Ia tampak malas menanggapi ucapan Andin.

“Bagus,” sahut Andin sambil tersenyum. “Yang ke tiga. Jangan menyentuh aku secara paksa! Kalo Om mau membuka segelku harus izin aku dulu,” lanjutnya.

“Nggak nafsu!” jawab Haidar tegas. “Lagi pula, aku akan menceraikanmu kalo aku sudah mendapatkan harta warisan Papi. Kamu tenang aja! Aku nggak akan buka segel kamu,” tambahnya.

“Sombong amat nih laki!” ucap Andin dalam hati. “Jangan panggil aku Andin kalo nggak bisa menaklukan Herder kayak kamu,” lanjutnya dalam hati sambil tersenyum licik.

“Yakin nggak nafsu?” Andin mendekati Haidar. Lalu duduk di pangkuannya. Tangannya ia lingkarkan di leher sang calon suami sehingga tubuh bagian sampingnya terlihat karena bajunya sangat terbuka. Bagian bawah ketiaknya terbuka sampai pinggul.

“Jangan kayak gini! Kita belum sah, Dosa.” Haidar menutup matanya dengan telapak tangan. Susah payah ia menelan air liurnya saat melihat tubuh sang calon istri yang bahenol.

“Astaga!” Andin langsung bangun dari pangkuan Haidar. "Bego banget sih lo, Din." Andin merutuki kebodohannya sendiri.

Suara ketukan pintu membuat mereka jadi salah tingkah.

Haidar bangun dan merapikan jasnya. Ia bergegas membuka pintu kamar. Tapi, sebelum ia memutar kenop pintu, Haidar berbalik dan menatap Andin. “Kamu jangan keluar kamar, sebelum ijab qobul selesai!” ucapnya sedikit mengancam.

“Iya,” jawab Andin dengan malas.

“Nak, ijab qobul akan segera di mulai,” ucap Anin pada calon menantunya saat pintu kamar terbuka.

“Iya, Tante,” jawab Haidar sopan.

“Panggil Bunda! Sebentar lagi kamu ‘kan jadi menantu saya,” ujar Anin pada calon menantunya.

“Iya, Bun,” jawab Haidar sambil tersenyum. “Saya permisi dulu,” lanjutnya. Haidar pun pergi meninggalkan sang mertua yang masih berdiri di depan pintu kamar pengantin.

“Anak yang sopan,” ucap Anin sembari tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status