Haidar duduk di depan penghulu dan calon mertuanya. Ia tampak tenang, tidak sedikit pun ketegangan tergurat di wajahnya. Walapun ia masih terbayang tubuh bahenol calon istrinya, tapi ia menepis semua itu dari bayangannya.
Tujuan utama ia menikah adalah untuk memenuhi syarat agar harta warisan sang papi segera jatuh ke tangannya. Ia berjanji tidak akan jatuh cinta pada sang istri nantinya.
“Astaga … kenapa gua setegang ini?” ucap Rey dalam hati. Keringat menetes dari pelipisnya.
“Kamu kenapa tegang banget, Rey?” bisik Mahendra pada adik iparnya.
“Siapa yang tegang,” sangkal Rey. Ia malu mengakuinya.
“Lihat calon menantumu! Dia begitu tenang.” Mahendra membandingkan adik iparnya dengan calon menantu untuk meledek Rey.
Rey tidak mendengarkan lagi ucapan kakak iparnya. Setelah Pak penghulu selesai membacakan doa, acara ijab kabul segera dimulai.
Rey mengulurkan tangannya pada calon suami sang anak. Kemudian Haidar menerima uluran tangan calon mertuanya. Mereka saling berjabat tangan.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Haidar Mannaf bin Abdul Mannaf dengan putri saya Andin Putri Pradipta binti Rayhan Pradipta Putra dengan mas kawin uang tunai senilai seratus juta rupiah dibayar tunai,” ucap Rey dengan tegas.
“Saya terima nikah dan kawinnya Andin Putri Pradipta binti Rayhan Pradipta Putra dengan mas kawin uang tunai senilai seratus juta rupiah dibayar tunai,” ucap Haidar dengan sekali tarikan napas.
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak penghulu kepada para saksi dan para hadirin yang menyaksikan proses ijab kabul.
“SAH!” jawab para hadirin serentak dengan raut wajah yang bahagia.
“Alhamdulillah.”
“Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.” Pak penghulu membacakan doa akad nikah.
( Semoga Allah memberkahi engkau, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan engkau berdua pada kebaikan )
“Aamiin,” jawab para hadirin.
Setelah acara ijab qobul selesai, Andin segera turun dan menghampiri suaminya.
Karena pernikahan Andin dan Haidar mendadak, mereka harus menunggu buku nikah mereka dalam beberapa hari ke depan. Acara pun dilanjutkan dengan penyerahan mahar kepada Andin secara simbolis.
Andin dan Haidar bertukar cincin. Setelah selesai menyematkan cincin ke jari mereka masing-masing, Andin mencium tangan laki-laki gagah di depannya yang sudah sah menjadi imamnya.
Haidar pun mencium kening sang istri sekilas. “Kenapa jantungku jadi berdebar-debar begini?” Haidar bertanya-tanya dalam hatinya.
Setelah Pak penghulu mengucapkan nasehat pernikahan, beliau pun menutup proses akad dengan doa.
Andin dan Haidar segera duduk di pelaminan. Mereka pun berfoto dengan banyak macam gaya.
“Astaga … ternyata pura-pura tersenyum capek juga ya,” ucap Andin sambil mendudukan tubuhnya di kursi pelaminan.
Baru sebentar Andin duduk untuk melemaskan otot-ototnya, para tamu sudah mengantre untuk bersalaman dengan pengantin.
Andin dan Haidar menyalami para tamu sambil menyuguhkan senyuman manis. Mereka berpura-pura tersenyum bahagia seolah-olah mereka menerima pernikahan ini.
Roy menghampiri sang kekasih yang duduk bersanding di pelaminan dengan orang lain. “Ternyata kamu nyuruh aku nganter kakakmu, supaya kamu bisa menikah dengan orang ini,” ucap Roy sambil menunjuk Haidar.
Andin menggengam tangan sang suami dengan erat. Ia takut Roy berbuat ulah yang akan mempermalukan keluarganya.
Haidar menatap jemari tangannya yang diremas dengan kuat oleh sang istri. Ia melihat raut wajah Andin yang terlihat cemas.
Kemudian Haidar melirik bodyguardnya. Hanya dengan isyarat lirikan mata elang Haidar, para bodyguard itu mengangguk. Lalu menyeret Roy keluar dari tempat resepsi.
Andin menghela napas lega. “Terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum manis pada sang suami.
“Aku bukan membantumu, tapi aku hanya tidak mau dia mengacau di acara pernikahanku. Di sini banyak kolegaku yang hadir,” ucapnya dengan angkuh.
“Serah lo dah,” sahut Andin yang mendapat toyoran di keningnya dengan telunjuk Haidar.
“Sama suami tuh yang sopan,” tegas Haidar pada gadis cantik di sampingnya yang sudah sah menjadi istrinya.
“Iya, Om, Maaf,” ucap Andin tampak menyesal.
“Jangan panggil aku om! Aku suami kamu,” tegas Haidar. “Panggil aku sayang!” lanjut Haidar.
“Sayang, pala lo peyang,” gumam Andin. “Pengen muntah gue dengernya,” tambahnya.
“Aku dengar,” sahut Haidar. Ia pun menyentil kening sang istri.
Andin mengusap-usap keningnya. “KDRT nih, aku laporin kak Seto ya,” ucap Andin bercanda.
Haidar tertawa mendengar ocehan sang istri. Ia menggelengkan kepalanya. Lalu mendudukkan tubuhnya di kursi pelaminan karena para tamu yang hendak bersalaman dengannya sudah tidak ada.
Haidar menarik tangan sang istri hingga ia terduduk. “Kamu nggak pegel?” tanyanya masih dengan tawa renyahnya.
Andin melirik sang suami yang sedang tersenyum manis kepdanya. “Senyummu menggetarkan jiwaku, wahai suamiku yang tua bangka,” ucap Andin tanpa sadar.
Haidar kembali menyentil kening Andin. “Aku masih muda, masih gagah, jangan pangggil aku kayak gitu!” tegas Haidar dengan sorot mata elangnya ia menatap tajam sang istri.
“Maaf, suamiku tersayang, aku keceplosan,” ucapnya sambil menyeringai.
Haidar menghela napas berat. “Semoga aku kuat menghadapi siluman ular ini,” ucapnya dalam hati.
“Pi, coba kamu perhatikan! Kelihatannya mereka sangat serasi. Dari tadi Haidar tertawa terus, padahal mereka belum kenal sebelumnya. Kelihatannya menantu kita, gadis yang menyenangkan,” ungkap Mami Inggit, Mami dari Haidar. Ia terus memperhatikan anak dan menantunya sambil tersenyum.
“Andin anak yang baik,” sahut Papi Mannaf sambil tersenyum. Mereka berdua terus memperhatikan anak dan menantunya.
Sisil sahabat terdekat Andin menghampiri kedua mempelai yang sedang berdebat manja. “Cie … manten baru, mesra amat,” ledek sisil. Sejak tadi ia terus memperhatikan sahabatnya itu.
Andin memeluk erat sahabatnya. “Sil, apes banget gue, kawin sama berondong alot,” keluhnya pada Sisil. Lalu melepas pelukannya. “Tolong jangan kasih tahu dulu teman yang lain kalo gue udah nikah!” pintanya pada Sisil.
“Kenapa? Kamu mau selingkuh?” sahut Haidar. Ia tidak suka dengan ucapan Andin. Walaupun mereka tidak saling mencintai, tapi ia tidak mau istrinya terlibat skandal apapun yang akan mencoreng wajahnya.
“Bukan begitu suamiku tersayang. Aku mau ngenalin kamu secara langsung pada teman-temanku.” Andin menjelaskannya pada sang suami. Walaupun ia tahu maksud sang suami berbicara seperti itu hanya karena mereka sudah menyepakati surat perjanjian sebelum pernikahan.
“Gue nggak ikutan,” ucap Sisil sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu ia pun pergi meninggalkan sepasang suami istri yang sedang berdebat.
“Aku melarangmu bukan karena aku cemburu, tapi ….” Haidar tidak melanjutkan ucapannya yang membuat Andin penasaran.
“Tapi ….” Andin menunggu ucapan suaminya
“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran. “Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri. “Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar berondong alot,” balas Andin. Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu. Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon. Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya. “Ema
Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepat
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap
“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sa
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma