Share

Bab 7. Muncrat Di Dalam

“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran.

“Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri.

“Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. 

Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya.

“Dasar berondong alot,” balas Andin.

Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar.

Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu.

Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon.

Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya.

“Emangnya kenapa?” tanya Aldin dengan sorot mata tajam menatap sahabat dari saudara kembarnya.

“Itu haram,” jawab Sisil dengan cepat.

“Haram kenapa?” tanya Aldin bingung dengan ucapan sang gadis yang mempunyai suara cempreng.

“Karena muncrat di dalam,” jawab Sisil sambil menyeringai. “Memang yang enak-enak itu selalu diharamkan. Termasuk muncrat di dalam, ‘kan enak tuh,” ucap Sisil sambil menyapu bibirnya dengan lidah.

“Dasar cewek sinting!” umpat Aldin. Lalu pergi meninggalkan Sisil sambil membawa sepiring kue klepon.

“Dasar gunung es!” tukas Sisil sambil mencebikkan bibirnya. Ia terus menatap punggung Aldin yang menghilang di antara para tamu.

“Woy!” Gilang menepuk bahu Sisil. “Lo suka ya sama Al?” tanya Gilang pada Sisil.

Sisil menoleh ke belakang. “Gue, suka sama tuh gunung es?” tanya Sisil sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Nggak mungkin,” lanjut Sisil.

“Jangan gitu, Sil! Ntar kemakan omongan lo sendiri,” tukas Gilang sambil tertawa meninggalkan Sisil yang lagi kesal.

“Nggak akan ya,” sahut Sisil sedikit berteriak karena Gilang sudah menjauh darinya. Dan itu membuat para tamu menatapnya.

Sisil pun pergi meninggalkan tempat itu sambil membawa sepiring kue dan segelas minuman untuk sahabatnya. 

“Din, kamu mau kue nggak? Kamu belum makan ‘kan?” tukas Sisil. Ia memberikan satu piring kue klepon dan satu gelas air putih pada Andin. 

“Lo, emang the best, Sil,” puji Andin sambil mengacungkan jempolnya ke arah Sisil. “Tahu aja kalo gue lagi laper,” lanjut Andin sambil menerima piring berisi kue dan gelas minuman.

“Sisil gitu loh!” sahut Sisil sambil tersenyum bangga. “Ya udah, gue pergi ya. Gue juga laper,” ucapnya sambil memegangi perut.

“Semoga Bang Haidar jodoh dunia akhirat lo, Din.” Sisil berdoa dalam hati. Ia berharap Andin bisa bahagia dengan pernikahannya. Kemudian Sisil pun pergi meninggalkan sang sahabat.

“Om, tolong pegang ini dong!” Andin menyodorkan gelas berisi minuman ke tangan suaminya. 

Dengan terpaksa Haidar mengambil gelas itu. Ia harus bersikap baik pada sang istri di depan banyak orang. Apalagi ia tahu kalo Mami dan papinya sejak tadi terus memperhatikan ia dan Andin.

“Om, mau nggak? Pasti laper juga ‘kan?” tanya Andin sambil memasukkan kue kelepon ke dalam mulutnya.

Haidar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh kepalsuan.

Andin mengunyah kue itu sambil terus berbicara, sehingga gula merahnya meleleh ke bibir. Ia pun menjilatinya dengan lidah, tapi masih ada sedikit di ujung bibirnya.

Haidar mengambil sapu tangan yang ada di saku jasnya. Kemudian ia mengelap gula yang ada di bibir sang istri. “Makan yang bener! Nggak enak dilihat tamu, pengantin perempuan kok jorok,” ujarnya.

Andin terdiam sambil terus menatap sang suami. Ia menjadi salah tingkah diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Seketika pasokan oksigen ke otaknya terasa terhenti.

“Kenapa dengan jantung gue? Perasaan gue nggak punya riwayat penyakit jantung. Apa gue kena serangan jantung?” Andin bertanya-tanya dalam hatinya sambil memegangi dada bagian kiri. Mulutnya berhenti mengunyah, matanya menatap Haidar tanpa berkedip.

Haidar panik melihat sang istri yang bengong sambil memegangi dadanya.

“Kenapa dia? Apa dia kelolodan kue klepon? Masa nikah baru sehari udah jadi duda, mana warisan belum dapat,” gumam Haidar. Ia melambaikan tangannya di depan wajah sang istri.

“Din, jangan mati dulu!” Haidar menggoyangkan tangan sang istri.

“Eh ….” Andin tersadar dari lamunannya. Ia menelan kuenya dengan susah payah, lalu menyambar gelas berisi air minum yang dipegang suaminya. Andin minum segelas air dengan sekali tegukan. 

“Aku kira kamu kena serangan jantung,” tukas Haidar. Ia merasa lega melihat sang istri baik-baik aja.

“Hampir aja, aku kehilanagan warisan Papi,” ucapnya dalam hati.

“Tega banget sih, Om. Nyumpahin istri sendiri,” tukas Andin sambil mengerucutkan bibirnya.

“Siapa yang nyumpahin sih?” sangkal Haidar. “Aku cuma khawatir, aku kira kamu mati,” lanjutnya.

“Udahlah, nggak usah dibahas lagi! Bikin nggak nafsu makan aja,” tukas Andin. Ia pun kembali memakan kue klepon yang tersisa di pringnya.

“Nggak nafsu makan, tapi sepiring abis,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri.

Setelah acara selesai Andin dan Haidar masuk kamar pengantin.

“Om, kita pindah ke kamarku aja, yuk! Aku juga ada kamar di sini,” ajak Andin. Ia segera menyambar tangan sang suami dan menariknya keluar kamar.

Haidar mengempaskan tangan Andin. “Nggak usah narik-narik! Aku juga bisa jalan sendiri!” bentak Haidar. 

“Busyet dah galak bener,” sahut Andin. Ia pun segera bergegas keluar dari kamar sang kakak. Haidar mengikutinya dari belakang.

Andin memutar kenop pintu kamarnya yang ada di rumah Mahendra.

“Om, aku mandi duluan ya,” ujar Andin, ia langsung masuk ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban dari suaminya.

Tidak lama kemudian Andin keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi dada dan setengah pahanya. Kain veil pengantin masih menjuntai di rambutnya.

“Om!” panggil Andin sambil mengguncang kaki Haidar yang tertidur di ranjangnya.

“Apa sih? Mandi kok cepet banget,” tukas Haidar. Ia membelalakan matanya saat melihat keseksian sang istri. Bukit kenikmatan Andin yang menyembul separuhnya membuat jantung Haidar berdetak lebih cepat. Tenggorokkannya terasa kering sehingga ia dengan susah payah menelan air liurnya.

“Om, bukain ini dong!” Andin memegang kain veil yang masih menjuntai di rambutnya. Kemudian ia membelakangi suaminya.

Haidar tidak bisa fokus untuk membuka kain veil di rambut Andin. Matanya tertuju pada tengkuk sang istri yang jenjang dan terlihat mulus, anak rambut yang menutupinya membuat ia terlihat semakin seksi.

“Sudah,” kata Haidar. Ia kemudian membaringkan kembali tubuhnya di kasur. Tidak mau meilhat tubuh sang istri yang terlihat sangat menggoda, akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan matanya.

Dua puluh menit kemudian Andin keluar dari kamar mandi sambil mengucek rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.

Gadis cantik itu sudah memakai bajunya. Ia memakai hot pant dan tank top yang pas di badan, membuat bukit kenikmatannya yang montok menyembul ke luar.

Andin merangkak naik ke ranjangnya. Ia menurunkan lengan sang suami yang menutupi mata. “Om, mandi dulu sana!” 

“Astaga!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
ctraz44
seru banget crtanya 🤣🤣
goodnovel comment avatar
Wahid Ummualifah
ngakak so hard
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status