Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.
Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.
“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.
Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.
Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.
Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”
“Siapa yang ngikutin kamu,” sangkal Haidar. “Aku mau pulang ke rumah, kebetulan jalannya searah,” lanjut Haidar, ia mencoba berbicara baik-baik dengan istrinya.
Rumah Haidar berlawanan arah dengan arah mobilnya sekarang. Ia hanya mencari alasan agar sang istri percaya padanya.
“Jangan ngikutin gue lagi! Lo pengusaha sukses, laki-laki terhormat, nggak pantas bersanding dengan jalang seperti gue. Jauh-jauh deh lo dari hidup gue!” Anin mengibaskan tangannya. Lalu berbalik badan dan kembali pada motornya.
“Jalang?! Apa gue terlihat seperti jalang?” batin Andin. Hatinya bagai teriris sembilu. Laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya telah menorehkan luka yang mendalam di hatinya.
Setelah puas berbicara dengan suaminya, ia bergegas menaiki motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Ada rasa nyeri melihat sang istri begitu marah padanya. Satu kata yang keluar dari mulutnya telah menyayat hati gadis cantik yang sudah sah menjadi istrinya beberapa jam lalu.
“Aku menikahinya memang demi uang, tapi kenapa aku bisa sejahat ini? Menyakiti wanita yang telah membantuku untuk mendapatkan warisan Papi,” gumamnya. “Apa ruginya bagiku? Entah dia masih perawan atau nggak, yang penting dia mau aku jadikan alat untuk mendapatkan warisan Papi,” lanjutnya.
Haidar menghela napas panjang, kemudian merogoh ponsel yang ada di saku celana. Ia menggirimkan pesan kepada kaki tanganya untuk melacak plat nomor motor sang istri.
Kemudian masuk ke dalam mobilnya. Setelah beberapa menit orang kepercayannya mengirimkan alamat di mana keberadaan motor sang istri.
Tidak berpikir panjang lagi, ia langsung meluncur ke alamat yang dituju. Jam sembilan malam Haidar sampai di alamat yang diberikan kaki tangannya.
Entah rumah siapa, ia tidak tahu. Tapi, motor sang istri terparkir di depan rumah sederhana yang tampak begitu asri, dengan pagar yang tidak terlalu tinggi. Sehinga Haidar bisa mengawasinya dari dalam mobil.
Dua jam berlalu, ia menunggu Andin di dalam mobilnya, tapi sang istri belum keluar juga. Haidar turun dari mobil, kemudian ia masuk begitu saja karena pagar depan tidak dikunci.
“Permisi!” ucap Haidar sambil mengetuk pintu bercat putih itu.
Keluarlah seorang ibu paruh baya, ia tersenyum ramah pada Haidar. “Cari siapa?” tanyanya dengan sopan.
“Maaf, Bu, mengganggu. Saya mau menjemput istri saya,” jawab Haidar dengan santun.
Alis ibu itu bertaut, ia bingung dengan ucapan pemuda gagah yang berdiri di depannya. “Istri?” tanyanya.
“Iya, Bu,” jawab Haidar. “Andin, dia istri saya. Kami baru menikah pagi tadi,” lanjutnya sambil tersenyum ramah.
“Owh … jadi anda suaminya Andin?” tanya Ibu Lastri, ibu dari Sisil. “Silakan masuk, Nak! Nanti Ibu panggilkan Andin.
“Iya, Bu, terima kasih,” kata Haidar. “Panggil saya Haidar aja!” lanjutnya.
“Iya, Nak Haidar,” sahut Bu Lastri sambil tersenyum ramah. Haidar pun mengikuti Bu Lastri untuk masuk ke dalam rumah.
“Silakan duduk, Nak! Ibu panggil Andin dulu.” Setelah mempersilakan tamunya untuk duduk, Bu Lastri pergi untuk memanggil Andin.
Ia mengetuk pintu kamar anaknya. “Nak, buka pintunya! Kalian udah tidur?”
Sisil membuka pintu kamarnya. “Ibu. Ada apa malam-malam begini? Tumben Ibu belum tidur?” cerocos Sisil pada ibunya.
“Ibu mau manggil Andin. Nak Haidar udah jemput,” jawab sang ibu.
Andin terperanjat dan langsug turun dari tempat tidur saat bu Lastri menyebut nama suaminya. “Ada siapa, Bu?” tanya Andin.
“Suamimu,” jawab bu Lastri. “Pulanglah, Nak! Kasihan suamimu, kelihatannya dia capek banget.”
Sisil mengintip ke ruang tamu yang bersebelahan dengan kamarnya. “Iya, Din. Laki Lo masih pake jas pengantin yang tadi pagi,” ujar Sisil.
“Pulanglah! Sekarang kamu udah menjadi suaminya, Nak, kamu tanggung jawabnya sekarang.” Bu Lastri membelai rambut sahabat karib anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Iya, Bu,” jawab Andin memelas.
Dengan langkah gontai, Andin berjalan ke ruang tamu untuk menemui suaminya.
“Ngapain, Lo, kesini?” tanya Andin.
Hiadar mendongakkan wajahnya saat mendengar suara sang istri.
“Nak, dia suamimu, sopanlah sedikit!” tegur Bu Lastri pada Andin. Gadis cantik, sahabat anaknya semenjak mereka duduk di bangku smp, sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri. Ia tidak sungkan untuk menasehatinya.
“Iya, Bu,” sahut Andin. Ia kembali menoleh kepada suaminya. “Ngapain, Om, ke sini?” tanya Andin untuk yang kedua kalinya.
“Aku udah dua jam nungguin kamu di luar, tapi kamu belum keluar juga,” jawab Haidar. Tubuhnya sudah sangat lelah, dia ingin segera berendam air hangat, tapi kalo ia pulang tanpa istrinya pasti sang papi akan marah karena telah menelantarkan Andin.
Andin terdiam sesaat sambil menatap sang suami yang terlihat sangat kusam. Ia menghela napas panjang. “Baiklah ayo kita pulang!”
Setelah bersalaman dengan Bu Lastri, Andin dan suaminya keluar dari rumah Sisil.
“Kenapa, Om, nggak pulang sendiri aja?” tanya Andin sambil berjalan cepat mengimbangi langkah kaki suaminya.
“Kalo orang rumah nanyain kamu, gimana?” sahut Haidar. “Apa yang mau aku jawab? Bisa-bisa gagal dapat warisan,” lanjutnya.
“Ternyata dia nungguin gue karena warisan bukan karena merasa bersalah udah ngatain gue, jalang. Dasar Mr. Dolar,” umpat Andin dalam hati.
“Yaelah, Om. Walaupun kita menikah bukan karena cinta, tapi tolong hargai aku sebagai istrimu, biarpun cuma dikit.” Andin berjalan cepat mendahului sang suami.
Haidar menyusul Andin, langkah kakinya yang panjang, mampu dengan cepat mengimbangi langkah kaki Andin. Haidar segera membuka pintu mobil untuk Andin.
Andin mendelikan matanya pada Haidar. Lalu masuk ke dalam mobil. Ia memejamkan mata sambil melipat tangannya di bawah dada. Ia kira sang suami mau minta maaf padanya, tapi kenyataannya ia menyusul Andin hanya demi uang.
Haidar masuk ke dalam mobil, melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang memejamkan mata. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya pada sang istri.
Andin merasakan aroma maskulin yang begitu segar menusuk penciumannya. Rasa penasaran membuatnya membuka mata dengan segera.
“Aargh …!”
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap
“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sa
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis