Share

Bagian tiga

“Melita, kamu nggak perlu terburu-buru seperti ini”Ketus Nuril. Ia melangkah cepat berusaha menyusul Melita.

            “Cepatlah. Kalau kamu berhenti sedikitpun, aku bakalan ninggalin kamu disini”Jawabnya singkat.

            Melita berjalan cepat. Sekilas Ia tampak berlari kecil sambil sesekali menoleh kebelakang. Mendengus kesal pada Nuril yang jalannya mirip peragawati. Lenggak lenggok. Lamban.

            Jam kuliah baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Ia tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu. Brian. Teman sekelas yang sejak awal masuk kuliah sampai sekarang masih terus mengejar-ngejarnya. Meski semua sudah tahu kalau selama ini Brian sudah gonta ganti pacar sampai enam kali.

            “Kamu nggak perlu terburu-buru. Brian sudah nggak ngikutin kamu”teriak Nuril dari belakang. Ia semakin jauh tertinggal.

            Melita berhenti sejenak lalu berbalik sambil memeluk dada. “Kalau aku tahu seperti ini, aku nggak usah nawarin kamu ke kafe mamaku lagi”sahutnya pendek.

            “Jadi kamu nyesel?”

            “Nggak usah dibahas. Cepatlah, aku buru-buru”

            Nuril mendesis pelan. Ia melepaskan heels, memasukannya kedalam tas lalu berlari mendekati Melita. Wajahnya kusut tak bersahabat. Tertekuk kesal.

            “Nah, kalau gitu kan enak?”

            “Enak apanya nyeker kayak gini?”

            Melita terkekeh pelan.

            “Kamu kenapa tertawa?”Tanya Nuril. Ia pasti sedang ditertawakan oleh Melita. Beruntung disekitar tempat mereka berdiri tidak terlalu banyak orang. Beberapa orang juga tidak memperhatikan mereka.

            “Hei. Akhirnya ketemu juga disini”Seru seorang laki-laki tinggi dengan rambut berwarna hitam kecoklatan.

            Melita dan Nuril sontak menoleh. Lalu bersama-sama melotot kemudian saling pandang. Melita mengernyitkan dahinya. Nuril menggeleng tak mengerti. Brian? Darimana datangnya laki-laki itu, Melita tidak tahu. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri diantara mereka.

            “Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kamu ada disini”

            “Iya. aku memang ada disini. Aku mau pulang”

            “kok buru-buru. Bagaimana kalau aku antar pulang?”

            “nggak perlu” Cergah Melita langsung sambil menggeleng cepat.

            “Kenapa?”

            “Aku bawa mobil. Kamu nggak perlu nganterin aku. Oh iya, aku boleh minta tolong?”

            “Minta tolong apa?”Brian mengangkat alisnya.

            “tolong antarkan Nuril kerumahnya. Aku buru-buru. Bye…”Ujar Melita kemudian berlalu begitu saja. Ia meninggalkan Nuril dan Brian kebingungan.

            “Eh ada apa ini? Melita tunggu!”Seru Nuril lalu mengejar Melita. Membiarkan Brian sendirian. Lelaki tinggi itu tampak kebingungan dengan tingkah melita barusan. Melita terlihat sekali ingin menjauh darinya.

*_*_*

            Gorontalo, 23.00 WITA

            Tour Sulawesi berakhir.

            “Hari yang sangat melelahkan”Kata Azka lalu menjatuhkan tubuhnya keatas tempat tidur.

            “kita akan pulang besok pagi. Balikpapan menantimu”sahut Sergio yang baru masuk ke kamar.

            Mereka sedang berada disalah satu hotel berbintang di kota gorontalo. Azka masih bisa mendengar teriakan penggemarnya bersahut-sahutan diluar sana. Ia ingin sekali menghampiri tapi rasa lelah mencegahnya untuk beranjak dari tempat tidur.

            “Fansmu masih setia menunggu. Apa kamu tertarik untuk menghampiri mereka?”

            “sepertinya nggak untuk malam ini”Jawab Azka singkat.

            Baru saja berniat untuk memejamkan mata tiba-tiba ponselnya berdering keras. Sambil menggerutu kesal Azka bangkit lalu mengobrak abrik isi tasnya.

            Matanya terpaku untuk beberapa detik. Ia melirik kearah Sergio yang sibuk dengan catatan-catatannya. Nicky? Azka tidak langsung menjawab panggilan telepon itu. Ia biarkan panggilan itu berakhir begitu saja.

            “Telepon dari siapa? Kok nggak dijawab?”

            Azka diam. Tidak mungkin Ia memberitahukan hal ini pada Sergio. Ia kenal betul siapa manajernya itu. Jawaban dari sebuah pertanyaan itu adalah pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

            “Ehm…. tidak penting.”

            Azka berniat menjawab telepon itu diluar. Ia buru-buru melangkah namun ponselnya kembali berdering tepat ketika ia sudah didepan pintu. Sergio sontak mengalihkan pandangan kearahnya.

            “Jawab saja kalau itu telepon dari pacarmu”Kata Sergio sambil terkekeh.

            Azka hanya tersenyum tipis lalu menutup pintu kamar.

            “KENAPA LAMA SEKALI MENJAWAB TELEPONKU?”

            Suara serak tebal dibalik sana langsung menusuk gendang telinganya. Azka menghela nafas panjang, mengatur ritme jantungnya yang berdebar tak beraturan lalu menjawab telepon itu dengan lembut.

            “Aku minta maaf. Aku baru saja tiba dihotel. Dan tadi aku lagi di toilet. Aku minta maaf”

            “Baiklah. Tapi jangan mengulanginya lagi. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Aku takut kalau kamu sakit tapi aku nggak ada disana untuk menjagamu”

            “Aku baik-baik saja.”

            “Ngomong-ngomong siapa saja yang ikut denganmu ke Sulawesi?”

            “Biasalah. Manajer dan assisten pribadi”

            “Dahlia? Dahlia? Dia ikut denganmu?”

            “Iya”

            “Kenapa sih dia selalu ikut kemanapun kamu pergi?”

            “Dia itu assisten pribadiku. Jadi kemanapun aku pergi, aku pasti mengajaknya”

            Sesaat tidak terdengar sahutan dari balik sana.

            “Nicky. Dengarkan aku. Aku dan Dahlia tidak ada hubungan apa-apa. Kamu harus percaya.”Ucap Azka meyakinkan.

            “Oh, Aku memang nggak bisa marah padamu. Ya sudah kalau begitu, selamat tidur. Miss you…”

            “too”

            Azka memutuskan pembicaraan dengan kekasihnya. Jantungnya bergemuruh. Ada rasa takut dalam dirinya jika hubungan mereka sampai diketahui oleh orang banyak. Ia menguatkan hatinya. Berulang kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini cinta. Cinta tak bisa dipaksakan. Terserah cinta maunya kemana.

            Sergio, Dahlia dan ayah? Mereka belum boleh tahu tentang hal ini. Azka tak sanggup membayangkan jika suatu saat nanti, teman-teman wartawan mengetahui semuanya. Lalu menjadi berita hangat yang dibahas dimana-mana. Sepanjang minggu, bulan atau bahkan sepanjang tahun. Ini makanan empuk bagi teman-teman wartawan.

            Sejak awal Azka sudah memperhitungkan efek dari hubungan ini. Tapi tidak ada pilihan lain. Cinta itu datang dengan sendirinya. Tanpa diundang tiba-tiba mengetuk pintu hati yang paling dalam. Azka tak peduli pada cinta itu : cinta sesama. Ia mencintai laki-laki.

            Baginya, Nicky adalah pilihan yang tepat. Ia tidak memiliki sikap membingungkan seperti tiga wanita yang pernah menyakitinya dahulu. Nicky adalah perpaduan alami antara mentari dan bulan. Dan Azka bagaikan bumi yang setiap hari setia ditemani matahari dan bulan. Sebagian orang akan menilai cintanya konyol. Tapi sekonyol apapun, itu tetap cinta.

            Sejak kecil Ia mendapatkan perhatian terbaik dari seorang lelaki terbaik, ayahnya. Hanya lelaki itu yang setia mencurahkan kasih sayang. Berjuang menghidupinya. Kini, saatnya bagi Azka untuk membalas cinta itu. tulus mencintai lelaki lainnya. Sebab dimatanya hanya lelaki yang punya cinta terbaik.

            Dan Nicky adalah laki-laki beruntung itu. Lelaki yang menjadi pelabuhan, tempat cinta suci Azka berlabuh. Menepi seakan tak ingin melepaskan ikatannya.

            Dimata Azka, Nicly lebih dari sekedar tampan. Ia memang memiliki wajah yang rupawan, tubuh atletis, dan sikap yang lemah lembut. Tapi cinta memang tidak pernah menjadikan ukuran-ukuran itu sebagai standarnya. Nicky lebih dari segalanya. Perhatiannya selama ini pada Azka yang akhirnya meluluhkan hatinya.

            Pertemuan yang cukup singkat di lokasi fitness dua tahun yang lalu. Hanya sekali bertabrakan, saling pandang sekian menit kemudian diam memendam rasa. Cinta? Cinta tak selamanya butuh diungkapkan. Semua terjadi begitu cepat. Perkenalan yang singkat lalu persahabatan. Kemudian semua berubah ketika Azka merasakan sesuatu yang beda tiap kali Ia menatap wajah Nicky.

            Dadanya bergemuruh tak menentu. Awalnya ia sempat menolak kehadiran rasa itu. Ia malu pada dirinya sendiri. Berusaha menjauh namun rindu semakin membuncah. Tapi cinta tidak membutuhkan rasa malu. Cinta akan menembus segala hal yang merintang. Azka telah membuktikanya. Bersama Nicky, Azka mencoba mendobrak batasan-batasan itu.

*_*_*

            “Kakak? Belum tidur?”

            Suara Dahlia mengejutkannya. Buru-buru Azka mengalihkan pandangannya. Berusaha menyembunyikan raut terkejut diwajahnya.

            “oh iya. Terima kasih ya. Sampai ketemu”Ujar dahlia pada laki-laki disampingnya. Kemudian laki-laki itu pergi, menuruni lift sambil melambaikan tangan. Dahlia membalasnya.

            Azka mengangkat alisnya. Siapa laki-laki itu?

            Azka belum sempat bertanya apa-apa sebab Dahlia langsung menyodorkan bungkusan plastik hitam. Aromanya begitu mengusik isi perut. Wangi. Nikmat sepertinya. Azka meraih lalu membuka isi kantung plastik itu.

            “Itu namanya Ilabulo kak. Makanan khas gorontalo. Cobain deh, rasanya enak. Maknyus!!”Dahlia mengangkat jempolnya. Meyakinkan Azka yang tampaknya ragu.

            “Aku akan mencobanya nanti didalam kamar. Oh iya, siapa laki-laki itu? Sepertinya kalian sangat akrab”

            “Kakak nggak kenal siapa dia?”

            Azka menggeleng. Ia memang tidak mengenal laki-laki yang baru saja mengantarkan Dahlia.

            “Namanya Pratama. Dia itu leader dari EO yang ngadain acara tadi.”

            Mulut Azka membulat lalu mengangguk pelan.

            “Okeylah. Sudah sana masuk kamar. Besok pagi-pagi sekali kita langsung berangkat”        “Siip Kak!!!”

            Azka masuk lebih dulu. Baru ketika Azka sudah didalam kamar, Dahlia beranjak menuju kamarnya. Dahlia mematikan lampu utama lalu menukarnya dengan lampu tidur. Cahayanya memancarkan pesona keromantisan.

            Tiba-tiba saja Dahlia tersenyum tipis membayangkan kejadian tadi. Wajahnya memerah delima. Malu. Ia menutup wajahnya dengan guling sambil tertawa kecil. Lalu membukanya kembali.

            Ia sudah menduga pasti Azka akan menanyakan hal itu. Azka pasti cemburu. Dahlia yakin Azka pasti tidak senang ketika melihatnya jalan dengan laki-laki lain.

            “Aku yakin kakak pasti mencintaiku juga kan?”Bisiknya pelan.

            Dahlia sedang dimabuk asmara.

            Rasa ini tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Tanpa dipinta namun datang dengan sendirinya. Merambat pelan kesekujur tubuhnya. Tidak ada yang mustahil dimuka bumi ini, terutama cinta.

            Jika memang mereka ditakdirkan, tidak ada yang bisa menghalangi. Dahlia percaya hal itu. Ia dan Azka, suatu saat nanti pasti akan dipersatukan oleh cinta. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah menanti hingga waktu yang tepat itu tiba. Lalu Azka mengutarakan perasaan padanya…

            Ah…

            Dahlia terlalu sering bermimpi, bahkan Ia sulit membandingkan mana mimpi dan mana kenyataan? Ia tidak sadar. Jika cinta itu sampai terucap, jika cinta iu sampai menggetarkan hati yang lain, maka akan ada hati yang tersakiti…

            Dahlia tidak menyadari satu hal, bahwa Azka sudah memiliki pujaan hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status