Share

Bagian empat

Hujan.

            Melita mematung sudah cukup lama didepan sebuah supermarket. Orang yang menawarkan tumpangan sejak lima belas menit yang lalu sampai sekarang belum menampakan batang hidungnya. Melita tidak mungkin menelepon orang itu. NO! Melita anti mengemis bantuan pada orang lain apalagi orang itu adalah Brian.

            Tadi saja, kalau Brian tidak menelepon dan menawarkan tumpangan, Melita pasti sudah pergi. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculan Brian. Melita mulai gelisah. Sesekali ia menggosokan kedua telapak tangannya.

            Ia sebenarnya tidak ingin pergi ke supermarket sendirian. Tapi karena ini demi sebuah pembuktian, maka Ia melakukannya sendiri. Ia tidak mau merepotkan Patty ataupun Nuril. Kini saatnya Melita membuktikan pada Ibunya kalau selama ini penilaian Ibunya salah besar. Ia akan membuktikan bahwa ia juga bisa membuat makanan.

            “Bagaimana Mel? Udah ketemu bahan-bahannya? Atau emang nggak tahu mau beli apa?”Tanya Nuril dari balik gagang ponsel lalu diikuti tawa renyah beberapa orang. Itu suara Patty dan ibunya. Mereka pasti sedang menertawakannya sekarang karena sudah dua jam tapi belum juga pulang kerumah.

            “Lihat saja. Aku akan buktikan kalau dugaan mereka selama ini salah besar. Aku perempuan dan aku pasti bisa masak. Masakanku pasti lebih enak dari masakan Patty”

            Lima menit berlalu dan Brian masih belum menampakan wujudnya. Melita semakin kesal. Berulang kali menggerutu dalam hati. Coba saja tadi Ia menolak tawaran Brian, pasti sekarang ia sudah pergi menggunakan taksi.

            Piipp… Piipp…

            Melita tersadarkan oleh bunyi klakson itu.

            Sebuah mobil berhenti mendadak didepannya. Seseorang menurunkan kaca mobil lalu tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. Brian?

            “Ayo.”

            Melita melipat dahinya. Laki-laki macam apa si Brian? Sudah datang terlambat, meleset dari janji awal sekarang malah menyuruhnya masuk kemobil. Mobil memang sudah berada didepannya tapi masih berjarak beberapa meter darinya. Itu berarti Melita harus berlari menembus derasnya hujan untuk bisa masuk kedalam mobil. Brian payah, tidak romantis.

            “Ayo. Aku nggak punya payung untuk jemput kamu”

            “Dasar laki-laki payah!”Kesal Melita dalam sekali hentakan kaki.

            Baru saja Melita melangkah tiba-tiba saja dari arah depan seseorang berjaket hitam dan menggunakan penutup kepala menabraknya. Melita tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Hampir saja Ia jatuh tapi beruntung orang itu langsung menahannya. Orang itu langsung memeluknya.

            Cukup lama mereka saling tatap. Melita bisa melihat jelas wajah laki-laki itu. Itu wajah yang tidak asing baginya. Melita masih menduga-duga siapa laki-laki dibalik jaket hitam yang kini berdiri dengan perasaan bersalah dihadapannya.

            “maaf, aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa kan?”tanya orang itu.

            Melita seperti dibius. Racun yang dipancarkan dari tatapan orang itu masuk lewat retina kemudian menjalar ke urat-urat yang melingkar didalam tubuh. Membuatnya terdiam seribu bahasa. Jantungnya berdebar pelan. Sangat pelan hingga Melita harus meraba dadanya, merasakan bahwa Ia masih memiliki jantung.

            “iya aku nggak apa-apa”Jawabnya sambil terus memandangi wajah tampan lelaki didepannya.

            Tidak penting lagi baginya mencari tahu siapa nama laki-laki itu. Namun yang pastinya laki-laki itu punya kenangan tersendiri bagi Melita. Melita saja sampai terbelalak kaget saat bertatapan dengan laki-laki bertudung itu.

            “Azka?”

            Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Melita. Seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya sekarang. Sang artis idola – Azka – berdiri dihadapannya. Sangat dekat bahkan tadi sempat memeluknya. Oh, Melita menepuk pelan kedua pipinya. Ia tidak mimpi. Ini kenyataan.

            Tiba-tiba Melita merasakan sesuatu. Azka semakin jauh dari pandangannya. Bukan. Azka tidak pergi meninggalkannya. Ia yang perlahan menjauhi Azka. Melita menoleh, memandangi orang yang menggandeng tangannya. Siapa lagi kalau bukan Brian. Brian menggunakan jaketnya untuk menutupi tubuh Melita dari tembakan jutaan liter air hujan.

            “Kamu apa-apaan sih?”Gerutu Melita ketika sudah berada dalam mobil.

            Brian melempar begitu saja jaket yang sudah basah ke jok belakang mobil. Menyalakan mobil kemudian meluncur pergi menembus derasnya hujan.

            “Aku minta maaf”

            “Kenapa kamu menarikku?”

            “Laki-laki itu pasti orang jahat. Kalau aku membiarkanmu disana, dia pasti akan menyakitimu. Menghipnotismu kemudian merampokmu.”

            “Jangan berpikir yang nggak-nggak. Dia itu orang baik”

            “Orang baik? kamu tahu darimana?”

            Melita berpikir sejenak. Tidak penting menceritakan siapa orang itu pada Brian. Brian pasti tidak akan percaya begitu saja. Mana mungkin seorang artis terkenal jalan sendirian ke supermarket pula. Kemana wartawan yang biasa membuntutinya?

            “Hey, kok diam? nggak bisa jawab kan?”

            “Heh. Dengerin ya Brian. Dia itu orang baik, buktinya dia nolongin aku tadi saat aku hampir jatuh. Dan itu semua gara-gara kamu memarkirkan mobil jauh diujung jalan.”

            “Hehehe…”Brian terkekeh pelan lalu berkata, “itu sudah cara umum para penjahat. Pura-pura menolong padahal…”

            “STOP. Nggak usah banyak ngomong. Sekarang antar aku kerumah.”

*_*_*

            “Supermarket? Sendirian?”Nicky menutup pintu lemari es kemudian melangkah mendekati Azka diruang tengah apartemen.

            Azka menganggukan kepala sambil tersenyum tipis. Senyuman itu sangat indah. Terukir jelas kesempurnaan ciptaan tuhan diwajahnya. Senyum itu juga menjadi alasan begitu banyaknya gadis yang tergila-gila padanya. Namun tak satupun yang dapat menarik hatinya kecuali satu, lelaki yang berdiri dihadapannya.

            “Kenapa tidak minta tolong Dahlia saja? dia itu kan asistenmu. Percuma bayar dia tapi nggak kerja”Nicky meletakan gelas keatas meja.

            “Dahlia sedang istirahat. Kasihan dia, seminggu ini kerja berat. Biarkanlah dia istirahat.”

            Raut nicky berubah cemberut. Dahinya berkerut samar.

            Azka tahu apa yang harus Ia lakukan sekarang. Apa lagi kalau bukan membujuk kekasihnya itu. Ia tahu Nicky pasti cemburu karena Ia terus saja membela Dahlia.

            “Kamu tunggu sebentar ya. Aku nggak lama kok”Kata Azka lalu mengelus lembut pipi Nicky. Memaksa Nicky untuk tersenyum meski tipis.

            Azka bergegas turun. Ia mengenakan jaket sampai penutup kepala. Tidak lupa kacamata hitam yang selalu menemaninya kemana saja kalau sedang jalan sendirian. Ia melangkah cepat sambil menunduk. Tujuannya tidak satu ialah supermarket yang letaknya hanya beberapa meter dari lokasi apartemennya. Tidak perlu menggunakan mobil.

            Tanpa sengaja, karena berjalan terlalu cepat dan menunduk, Azka menabrak seseorang. Orang itu menjerit pelan, mengejutkannya lalu dengan gesit menangkap orang itu yang ternyata seorang perempuan.

            “Azka?”

            Gadis itu mengenalinya. Lama mereka saling berpandangan satu sama lain. Gadis itu tidak seperti gadis biasanya. Tidak seperti fans fanatiknya selama ini. Gadis itu hanya tertegun memandangi wajahnya. Sampai akhirnya seseorang datang mendekat lalu menarik pergi gadis itu.

            Selesai. Tidak ada perkenalan lebih antara mereka. Azka menghela nafas panjang. Belum sempat ia meminta maaf tapi gadis itu sudah pergi lebih dulu. Azka memang tidak mengenal siapa gadis itu meski memori kecil dikepalanya sempat bekerja keras mengingat kembali wajah cantiknya. Seperti pernah kenal, tapi dimana? Azka tidak ingat.

*_*_*

            “Ini namanya apa, Mel?”tanya Nuril penasaran pada masakan yang dibuat oleh Melita. Sekilas tampilan makanan itu mirip spaghetti tapi tidak menggunakan pasta. Makanan itu disajikan bersama beberapa potong udang goreng tepung.

            “Ehmm.. itu… Spagheby”Jawabnya asal.

            “Kalau ini apa?”giliran Ibunya yang bertanya. Wanita itu menunjuk wadah berisi kuah dengan campuran kulit ayam.

            “Itu… Kuah kulit”Melita menjawab asal lagi.

            Ia memang belum sempat memberi nama pada makanan-makanan itu. Namanya saja mencoba, pasti belum terlalu serius.

            Satu persatu masakan buatannya mulai dihidangkan diatas meja. Ada Nuril, Ibunya, Patty, Kakak dan ayahnya. Mereka duduk melingkar bersiap mencicipi dan memberikan penilaian pada masakan Melita.

            “Oups. Asin banget Mel”Gerutu kakanya saat mencicipi kuah kulit ayam. Wajahnya terlipat-lipat.

            “Melita, udangnya keras!”Giliran Nuril yang membuka suara.

            Melita yang ada didapur hanya tertegun. Benarkah? Ini pasti bohong. Ia tidak percaya. Makanan itu sudah dibuat sesuai resep yang ia baca di internet. Kecuali bahan-bahan pokoknya ada perubahan sedikit.

            “Iya nak. Yang ini juga agak pahit”Ayahnya juga tidak ingin ketinggalan. Pria iu menunjuk ikan bakar yang tergeletak tak berdaya diatas meja. Pasrah jika tak satupun yang akan menikmatinya.

            Melita tidak pantang menyerah. Ia dengan gesit membuat jus alpukat. Buru-buru memblendernya bersama bahan lain lalu menyajikannya langsung diatas meja makan. Tapi sayangnya Melita telat. Meja makan kini kosong. Tak ada siapapun. Semua pergi meninggalkannya.

*_*_*

            “Kamu jangan patah semangat. Lain waktu coba lagi, kamu pasti bisa”Kata Patty menyemangati Melita.

            Melita tertunduk lesu disalah satu meja disudut kafe. Kejadian semalam adalah kejadian paling buruk baginya. Bagaimana mungkin dari sekian banyak makanan yang Ia buat tak satupun yang memiliki rasa enak. Minimal hampir enak. Tidak ada. Hambar, asin, dan pahit.

            “Sepertinya aku memang tidak bakat jadi chef atau apalah namanya itu.”

            Patty berjalan menghampirinya.

            “semua orang punya bakat. Semua orang punya minat. Tapi sedikit dari orang-orang itu yang mau menyatukan antara minat dan bakatnya itu.”

            “Tapi aku tidak memiliki bakat apa-apa dibidang ini. Lagipula aku tidak terlalu berminat. Aku hanya ingin membuktikan pada Mama, Papa dan Kakakku kalau aku ini bisa masak”

            “Namun satu hal, minat dan bakat tak akan menghasilkan apa-apa tanpa kerja keras”

            Melita memperbaiki posisi duduknya lalu memandang lekat wajah Patty. Dahinya membentuk lipatan kecil. Sekian detik tanpa ekspresi kemudian tersenyum lalu mengangguk. Melita menemukan ide. Jika ia tidak bisa masak makanan berat, Ia harus mencoba makanan ringan. Dessert.

            Melita bangkit dan dengan cepat menghilang dari hadapan Patty. Tiba- tiba saja ia sudah berada didalam dapur buah. Dikelilingi oleh aneka ragam buah-buahan dan sayuran. Ia memilih beberapa buah, beberapa potongan sayur dan terakhir susu bubuk coklat.

            Melita kembali bereksperimen. Kali ini tidak boleh gagal. Ia juga akan meminta bantuan Patty untuk menilai. Patty pasti bisa objektif dalam memberi nilai. Apalagi dibandingkan Nuril, Mama, Papa dan Kakaknya, Patty tetap lebih baik.

            Setelah selesai ia menyajikannya untuk Patty. Jelas saja Patty terkejut dengan gelas tinggi bening dengan minuman berwarna hijau kecoklatan.

            “Apa ini?”Tanya Patty penasaran.

            “Coba saja. Nnamanya Greentime juice. Rasanya pasti nikmat dan pastinya menyehatkan”

            Baru seteguk Patty mencicipi lalu tiba-tiba merasa ingin muntah. Alisnya berkerinyit tajam memandang kearah Melita. Melita hanya tersenyum. Seakan tidak peduli apa yang baru saja ia lakukan pada Patty. “Kau harus mencobanya lagi”begitu kata Patty.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status