Share

2. The Twin

Mobil terparkir di sebuah halaman rumah, seorang security segera menutup gerbang besi raksasa dan kembali lagi masuk ke sebuah pos yang berada dekat dengan gerbang besi itu.

Mang Dadang membukakan pintu untuk Tante Nita. Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Mang Dadang yang masih berdiri di ambang pintu kayu dengan ornamen ukir itu masih memikirkan hal-hal yang aneh di rumah yang baru di beli oleh majikannya itu. 

"Sungguh aneh," beonya saat mengingat sebuah kotak musik yang terpampang di lemari rumah tersebut. Bulu kuduknya mulai merinding dibuatnya, sesekali dia menggosok-gosok lengannya. "Kenapa aku jadi merinding seperti ini."

"Maaanngg!!!" teriak seorang wanita dengan balutan daster dan membawa serbet.

"Astaghfirullah!" Mang Dadang tersentak kaget dan mengelus dadanya. "Doooh, Bi Inah. Kira-kira dong kalau mau ngagetin orang! Gimana kalau nanti Mamang kena serangan jantung terus kejang-kejang?! Bi Inah mau tanggung jawab?" seru Mang Dadang masih memegang dadanya yang masih tak beraturan degupannya.

"Ya mangap eh ... maaf, Mang. Bibi gak tahu kalau Mamang sedang melamun," Bi Inah tertawa sambil menutup mulutnya. "Habis si Mamang serius amat melamunnya, emang sedang melamuni apa sih?" tanya bi Inah kepo.

"Ah, itu ... anu, Mamang merasa sangat aneh dengan rumah yang baru dibeli sama Ibu buat Non Aluna dan Non Alena. Mamang teh merasa ada sesuatu yang ganjil di rumah itu," ujar Mang Dadang.

"Si Mamang teh parno habis, mungkin hanya perasaan Mamang saja. Makanya Mang, jangan kebanyakan nonton pelem horor!" sahut Bi Inah.

"Apaan itu pelem?" tanya Mang Dadang.

"Film Mang ... film maksud Bibi teh!" 

Mang Dadang langsung memasang ekspresi muka mrengut, "pelem mah itu kalau di Jawa artinya mangga!" imbuhnya.

"Udah atuh ah, hayuk masuk ke dalam!" ajak bi Inah.

Mang Dadang dan Bi Inah akhirnya masuk ke dalam rumah, akan tetapi Bu Inah masih terus berkicau ingin mendengarkan lebih jelas lagi tentang rumah itu.

***

Musim semi kembali menyapa kota Lisse, ini adalah musim semi ke enam kalinya. Pemandangan musim semi di negeri bunga tulip sangat indah. Salju mulai mencair di awal musim semi. Pada musim semi antara bulan Maret hingga Mei, berbagai jenis bunga sedang mengalami proses tumbuh dengan mekarnya berbagai macam bunga termasuk bunga tulip yang beraneka macam warnanya.

Angin sejuk berhembus menggerakkan  cabang-cabang pepohonan. Semilir angin membawa suasana bahagia dan ceria menyambut kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Berbagai macam warna bunga tulip menjadi satu di sebuah taman raya di kota Lisse. Keukenhof adalah taman bunga yang terletak di antara kota Hillegom dan kota Lisse, provinsi South Holland, Belanda, tepatnya di area yang disebut sebagai Bollenstreek atau wilayah kebun bunga atau bulb growing region antara kota Amsterdam dan Den Haag.

Di taman ini terdapat tujuh macam bunga tulip, itulah kenapa Keukenhof di sebut taman tulip terbesar. Ya, taman yang selalu menjadi taman yang indah ketika musim semi tiba. Keukenhof yang berarti kebun dapur ini terdapat tujuh juta kuntum bunga yang ditanam setahun sekali di taman Keukenhof tersebut. 

Kupu-kupu yang berterbangan di taman tersebut dan kicauan burung-burung yang bersautan bertengger di dahan pohon, seolah mereka sedang memperdebatkan sesuatu yang hanya di pahami oleh mereka dan sejenisnya.

Sayup-sayup terdengar sebuah alunan musik yang dihasilkan oleh sebuah biola. Ada seorang anak kecil yang duduk memainkan biolanya di tengah-tengah warna-warni bunga tulip.

Bagas dan Revan yang baru saja sampai di taman tersebut segera mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman. Kedua laki-laki tersebut nampak menggendong tas punggung, di balut dengan setelan casual.

"Mereka di mana?" celetuk Bagas, masih menyebarkan pandangannya. "Kau yakin mereka berdua sudah berada di taman ini?" tanyanya pada Revan.

Revan yang tengah sibuk memainkan ponselnya menganggukkan kepala tanda menjawab pertanyaan dari Bagas.

"Dia tadi mengirim pesan, kalau sudah sampai 10 menit yang lalu," jawab Revan, lalu memasukan ponselnya ke saku celana setelah mengirim sebuah pesan.

"Kau mengirim pesan pada siapa?" tanyanya memicingkan matanya.

"Mister Sneijder!" jawab Revan singkat.

Bagas kembali memicingkan matanya mendengar Revan menyebut dosen killer.

"Ada apa kau mengirim pesan ke dosen Killer kita itu?" Bagas mulai kepo.

"Dia menanyakan tentang Thesisku!" jelas Revan.

"Thesis?" Bagas menoleh ke arah Revan, "bukannya kau sudah memberikannya pada mister Sneijder tiga hari yang lalu."

Revan mengangguk, "mungkin dia lupa menaruhnya."

"Gila saja kalau sampai hilang!" 

"Sudahlah, thesis pikir nanti. Sekarang kita cari dulu mereka," ajak Revan.

Kedua laki-laki itu tampak berjalan menyusuri mengelilingi taman bunga. Mata mereka tampak menelusuri setiap sudut tempat itu. Taman bunga yang luasnya mencapai hingga 32 hektar menjadikannya taman bunga terbesar di dunia.

Mata kedua laki-laki itu menelitik setiap kerumunan orang-orang yang sedang berkunjung di taman tersebut.

"Mereka berdua sebenarnya di mana sih?" gerutuk Bagas, yang akhirnya dia mengeluarkan sebuah benda pipih dari dalam saku celananya.

Revan pun tengah asyik dengan benda pipihnya di tangan, sesekali matanya menyebar lagi, menengok kanan-kiri mencari dia orang gadis. 

"Van, kau yakin kan mereka berdua sudah berada di taman ini?" ucap Bagas menatap Revan dengan penuh tanda tanya.

"Aku pun tidak tahu, tadi sebelum kita berangkat ke sini, Aluna mengirim sebuah pesan kalau dia sudah berada di taman!" imbuh Revan.

"Waah, jangan-jangan mereka berdua masih di asrama!" balas Bagas, masih dengan jemari tangannya yang sibuk menari-nari di atas keyboard ponselnya. "Tapi benar kan, kita janjian di taman ini?!" Bagas menatap Revan lagi, "atau jangan-jangan kita yang salah tempat." imbuh Bagas.

"Benar kok, kita janjian di tempat ini!" ujar Revan sambil mendengarkan pesan suara dari Aluna.

"Lalu di mana mereka berdua? Masa iya mereka ngerjain kita?!" dengus Bagas.

"Revaaaaannn!!!" teriak Aluna.

"Bagaaaaaasss!!!" teriak Alena.

Sebuah teriakan yang mengalun bersamaan membuat kedua cowok ganteng itu menoleh ke sebuah rumah kincir angin. Si kembar berdiri di bawah sebuah kincir angin raksasa.

"Kenapa kalian lama sekali datangnya?" rengek Alena.

"Mana aku tahu kalau kalian berada di sini!" dengus Bagas. "Aturan dong kalian bilang kalau kalian menunggu di rumah kincir angin!"

"Kau merajuk ya, Gas?!" ledek Alena pada kekasihnya yang bernama Bagas itu.

"Aku tidak merajuk, hanya kesal saja!" kata Bagas ketus.

"Sama saja itu, ah!" balas Alena.

"Sudah dong sahut-menyahutnya. Kenapa sih setiap kalian berdua bertemu selalu bertengkar?" cibir Aluna di sambut ocehan dari Revan.

"Jangankan dia!" Revan menunjuk Bagas dan Alena, "kau pun sama saja, kok!" sambung Revan tertawa lagi.

"Ih, jangan sekali kau ini!" Aluna melempar topinya kearah Revan.

Revan menangkap topi yang di lempar oleh Aluna. "Sudah cukup bercandanya!"

"Terus setelah ini, kita mau ngapain?" tanya Bagas linglung.

"Nah iya, kita mau kemana?" sambung Revan.

"Oh, aku lupa mau kasih tahu pada kalian, kalau besok kita sudah balik ke Indonesia." 

"Balik? Maksudmu pulang?" Revan menatap Aluna. Si kembar langsung menyambut pertanyaan Revan dengan anggukan.

"Kita telat selangkah dari mereka, Van!" seru Bagas.

"Nanti pun setelah kalian wisuda, kalian juga akan pulang ke Indonesia!" sahut Alena.

"Jadi kalian ninggalin kita berdua disini? Jangan salahkan kita kalau kita nanti menikung!" canda Revan.

"Kalau kalian mau sih, kita tidak apa-apa ya, Lun!" jawab Alena santai.

"He'em, benar kata Alena. Kita mah gak maksa ya. Kalau kalian mau nikung silahkan!" canda Aluna.

"Konsekuennya, kita pecat jadi pacar kita!" celetuk Alena di barengi dengan gelak tawanya dan di sambut gelak tawa dari mereka bertiga.

Begitulah candaan mereka jika sedang berkumpul. Candaan yang selalu membuat mereka tertawa lepas.

"Ayo kita cari makan, aku sudah lapar!" keluh Aluna bangkit dari duduknya di rerumputan dan mengibaskan celana kainnya.

"Lebih baik kita jalan-jalan sambil mencari tempat untuk makan siang!" Revan mengangkat tangan kirinya dan menatap jam tangan.

"Aku rasa sudah waktunya makan siang," Bagas berdiri lalu mengulurkan tangannya pada gadis yang masih terduduk di atas rumput.

Alena meraih uluran tangan Bagas dan Bagas dengan sigap menarik tangan Alena.

"Dankje!" ucap Alena singkat.

Ke empatnya kemudian berjalan menyusuri taman yang semakin ramai oleh pengunjung yang akan menikmati warna-warni bunga tulip. Ya, biasanya di musim semi seperti ini taman raksasa ini pun suka mengadakan festival bunga. Namun tampaknya bagi si kembar tidak akan bisa menikmati festival bunga terbesar di dunia di musim semi kali ini. Si kembar harus segera kembali ke Indonesia.

Si kembar Aluna dan Alena Prisillia yang sudah menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas tertua di Belanda, Leiden University. Sama halnya dengan Revan Atmajaya dan Bagas Herlangga, mereka sama-sama satu kampus. Namun, kali ini si kembarlah yang harus lebih dulu pulang ke Indonesia.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status