Share

BAB IV

Kesibukan terlihat di sekitar istana. Semua orang mempersiapkan kedatangan Sang Raja yang baru saja pulang berperang melawan pengikut Kaum Gouwok yang sebagian di antara mereka adalah rakyat Moon Kingdom. Dunia semakin mencemaskan, perang saudara kerap terjadi. Semua ksatria mau tak mau bersatu mengumpulkan kekuatan.

"Yang Mulia." Semua yang hadir dalam ruangan itu berdiri menyambut Sang Raja dengan postur tinggi dan badan tegap serta memakai baju kerajaan memasuki ruangan. Para menteri dan abdi setia juga utusan dari empat kerajaan lainnya telah hadir di sana.

"Seperti yang telah kalian ketahui. Pasukan kita semakin sedikit. Banyak korban berjatuhan. Kita harus mencari solusi agar tidak terperangkap kegelapan." Sang raja berbicara dengan suara berat yang mampu membuat siapa saja bertekuk lutut padanya.

"Benar Yang Mulia. Kami kehilangan dua ribu orang dalam perang kali ini. Secepat mungkin kita harus mencari solusinya."

Teo, utusan dari kerajaan Themesis angkat bicara. Perang kali ini membuat mereka kalah telak. Seluruh ruangan penuh dengan suara keluhan karena tidak puas menghadapi pasukan Gouwok.

"Yang Mulia... orang-orang dari menara datang kemari membawa berita penting."

Raja Dimitri berpikir lama. Tidak biasanya para peramal itu memasuki istana jika tidak benar-benar penting.

"Suruh mereka masuk," titahnya.

Tiga pemuda berjalan di belakang seorang kakek berbaju putih semata kaki. Ia terlihat seperti malaiakat daripada manusia. Wajahnya putih bercahaya dengan rambut hitam serta janggut panjang sedada.

"Hai Sobat. Lama tidak bertemu," sapanya dengan nada bersahabat, tapi Raja Dimitri hanya diam, tidak suka dengan basa-basi ini.

"Katakan apa yang membawamu kemari?" tanyanya dalam.

Kakek tua itu melihat sekitar, ia sadar berada dalam ruang rapat kerajaan. Banyak orang yang menghadiri tempat itu. Kira-kira dua ratus orang.

"Kebetulan sekali. Berhubung semua kerajaan telah hadir di sini, maka aku akan menyampaikan kabar baik untuk kita semua," katanya seperti berkotbah.

Suara riuh rendah yang tadi terdengar kini menjadi hening. Semua orang penasaran dengan berita yang dibawa kakek tua itu.

"Kita akan memenangkan peperangan," katanya tetap tenang. Terdengar suara ribut dari seluruh ruangan. Mereka antara percaya dan setengah berharap dengan berita yang dibawanya.

"Bagaimana caranya?" tanya Raja Dimitri tak sabar.

"Legenda telah lahir."

Hening seketika. Mereka saling tatap. "Maksudmu gadis yang diceritakan dalam

dongeng pengantar tidur itu?" celetuk Rion, pengawal dari kerajaan Zambela.

"Hahaha..." tawa si kakek tua pecah seketika. "Tapi percayalah, dongeng pengantar tidur itu yang akan menyelamatkan lehermu," ucapnya dengan raut serius.

Rion malu dengan ucapannya barusan. Mereka kembali mendengarkan si kakek tua melanjutkan ceritanya.

"Dia ada di kerajaan ini, Moon Kingdom." Suara-suara seperti lebah lagi-lagi memeriahkan ruangan yang luas itu.

"Bagaiamana bisa dia ada di kerajaanku. Apakah gadis ini salah satu dari rakyatku?" tanya Raja Dimitri tak percaya.

"Bukan!" Semua orang menanti kelanjutannya dengan rasa penasaran, "dia keturunan langsung dari Zaen Yang Agung. Kaum Terkutuk." Kembali gumaman mengisi ruangan.

"Tenang-tenang!" Raja Dimitri kini berdiri dan berjalan menghampiri kakek tua itu.

"Kaum Terkutuk sudah musnah tujuh belas tahun yang lalu. Apa kau sudah melupakan sejarah menyakitkan itu?" tanya sang raja masih dengan suara berat menakutkan.

"Aku tidak lupa. Mereka kaum terbaik yang pernah ada. Aku bertemu gadis ini tiga hari yang lalu saat sedang menemui kerabatku. Dia persis seperti yang legenda katakan." Kakek tua itu berjalan mengelilingi sang raja yang tadi berdiri di depannya.

"Ia gadis cantik berparas bidadari, wajahnya putih bercahaya. Dari caranya berjalan kau akan tahu kalau dia bukan orang biasa, terlalu anggun seolah-olah sedang menari. Rambutnya panjang seperti untaian sutra, dari jarak yang jauh kau bisa mencium kelopak mawar dari tubuhnya."

Kakek itu berhenti ke tempat ia berdiri tadi. Kini mereka saling berhadapan.

"Ia kunci kemenangan kita. Bawa dia dalam perlindunganmu, jika tidak, dunia akan dimakan kegelapan. Cepat atau lambat pasukan Gouwok akan memburunya," katanya khidmat. Semua orang di ruangan itu terdiam mendengar penjelasannya.

"Di mana kau menemukannya?" Raja Dimitri harus mencari tahu kebenaran berita yang dibawa pria tua ini.

"Hebes. Di sebuah penginapan bernama Zolinvah," katanya tenang sambil mengingat pertemuan itu.

"Dia tidak sendiri. Seorang pria bersamanya," lanjutnya memberi penjelasan.

"Pria? Siapa pria itu?" Raja Dimitri kembali ke singgasananya.

"Aku tidak tahu, Yang Mulia. Tapi dia salah satu dari Kaum Terkutuk yang selamat. Aku melihat simbol kerajaan Starais di punggung tangannya. Tapi ia menyembunyikannya dengan baik. Pria itu juga kuat, aku kewalahan saat berhadapan dengannya." Pria tua itu mencari bangku kosong yang ada di dekatnya.

"Maafkan aku, tapi tubuh rentaku ingin istirahat," katanya mencoba mencairkan suasana yang mulai tegang.

Orang-orang dalam ruangan itu saling pandang. Mereka mencoba memabaca pikiran masing-masing. "Dengar   semunya!   Ini   berita   yang 

sangat penting. Jangan ada yang membocorkannya keluar. Dan kuperintahkan kalian membawa gadis itu beserta pria yang bersamanya ke istanaku."

Raja Dimitri berdiri saat memberi titahnya. Semua yang hadir ikut berdiri dan memberi hormat untuk menjawab titah itu.

***

Jemy mondar-mandir di tempat. Ia gelisah selama lima hari ini, tepatnya sejak hari ia melihat pria misterius itu. Vivian masih di atas kasur. Duduk manis sembari menonton gerakan Jemy, matanya mengikuti gerakan pria itu. Ini adalah penginapan ketiga yang mereka masuki, karena Jemy sengaja agar menghindari kemungkinan mereka diintai, tapi mereka belum bisa lega selama masih berada di kota Hebes.

"Ada apa Ayah? Adakah yang mengganggumu?" tanyanya penasaran.

Jemy menatap Vivian sekilas. Ia menyembunyikan kegelisahannya, dan tersenyum ke arah gadis itu.

"Tidak apa-apa. Ayah hanya berpikir tentang sesuatu."

"Apakah karena Ibu?" Ada getaran dari nada gadis cantik itu.

Jemy mengiyakan untuk menutupi kebenaran. "Aku juga rindu Ibu." Hampir saja ia menangis, namun Jemy melarangnya.

"Kalau kau menangis lagi. Ayah akan meninggalkanmu di sini sendiri," ancamnya. Jemy hanya menggertak agar gadis itu tidak menangis. Pria itu takut air mata Vivian menjadi kristal yang akan membuat orang-orang curiga.

"Aku tidak menangis," kilahnya sambil mengusap mata sembabnya.

"Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku tidak ingin seseorang menemukan kita." Jemy mengemas perbekalannya dan menarik tangan Vivian.

"Kenapa kita harus terus lari Ayah? Apakah kita buronan? Tidak akan ada yang menangkap kita, ini kota yang aman. Aku ingin seperti penduduk biasa yang hidup menetap di suatu tempat." Vivian mencoba membujuk Jemy. Ia tahu mereka pasti akan pindah lagi ke tempat yang baru.

"Kita tidak bisa Vivian. Terlalu berbahaya. Ayah akan membawamu ke tempat yang lebih aman." Jemy terus menarik Vivian hingga ia mendengar suara derap langkah sepasukan tentara kerajaan. Suara sol sepatunya sangat khas sehingga mudah dikenali.

"Ada apa Ayah? Apakah Ayah berubah pikiran?" tanya Vivian saat melihat Jemy masih mematung di tempatnya.

"Sstt... kita harus bersembunyi. Ada yang datang mencari kita."

Jemy menarik Vivian. Ia membuka jendela kamar penginapannya dan mengamati situasi. Jemy mencari akal. Ia melihat seprai dan juga selimut. Pria itu mengikatnya membentuk menjadi satu ikatan seperti tali. Ia bermaksud turun ke bawah dengan benda itu.

"Vivian manjatlah kemari. Ayah akan membantumu." Jemy memberi isyarat agar Vivian mendekat. Gadis itu ragu, ia menatap ngeri pada jalanan di bawahnya. Mereka ada di lantai lima, ia tak tahu mengapa Jemy menyuruhnya memanjat jendela itu.

"Percaya pada Ayah." Ia mencoba meyakinkan. Meskipun kecemasan menyergapnya, ia harus tetap tenang demi puterinya.

"Kemarikan tanganmu. Pegang kain ini sampai ke bawah, dan jangan takut."

Jemy membalutkan sapu tangan di tangan kanan Vivian dan merobek baju kumuh Vivian yang tak terpakai untuk melindungi tangan kiri gadis itu dari gesekan kain saat ia meluncur ke bawah. Vivian sudah di ambang jendela, ia memegang untaian kain dengan erat lalu membiarkan dirinya meluncur ke bawah dengan masih memegangi kain tersebut. Gadis itu akhirnya sampai di tanah tanpa luka.

Mendengar suara langkah yang semakin mendekati kamar, Jemy memilih terjun bebas. Ia menjatuhkan dirinya, lalu dengan gerakan cepat pria itu berhasil menjejakkan kaki kanannya terlebih dulu baru diikuti kaki kirinya. Ia berhasil turun dengan pose berlutut di hadapan Vivian.

"Ayo," katanya yang langsung mengajak Vivian berlari.

"Kenapa    kita   harus    lari    ayah?   Ada   apa sebenarnya?" Jemy tetap bungkam.

"Jangan bertanya. Teruslah berlari."

Saat ini sudah lewat tengah malam. Mereka berlari tanpa arah hingga sampai ke sebuah desa kumuh. Desa itu kosong. Tampaknya sudah lama ditinggalkan. Mungkin dulunya itu arena perang karena banyak puing-puing runtuhan bekas dibakar. Jemy menyadari tubuh Vivian yang mulai bercahaya. Ia harus menyembunyikan gadis itu sebelum ada yang melihat, tapi itu sangat sulit. Cahaya dari tubuhnya akan membuat tempat gelap menjadi terang sehingga memudahkan pengejar mereka untuk menemukannya.

Tanpa sengaja Jemy melihat sebuah lumbung padi tak terpakai di salah satu halaman. Ia menyuruh Vivian bersembunyi di tempat itu.

"Tapi kenapa harus di sana? Vivian takut," akunya.

"Tenanglah, Ayah akan datang lagi. Sekarang ikuti saja kata Ayah." Jemy memaksa Vivian memasuki ruang bawah tanah itu.

Mau tak mau Vivian mengikuti instruksi ayahnya. Jemy meninggalkan Vivian sendiri. Ia harus mencari pengejar mereka dan Jemy ingin memeberi pelajaran pada orang-orang itu. Vivian memperhatikan tempat persembunyiannya yang begitu sempit. Dari cahaya yang masuk melalui celah pintu kayu lumbung, Ia bisa melihat sisa bulir padi di sana. Pastilah dulunya itu desa yang makmur, tapi sekarang hanya tinggal sejarah. Vivian tidak ingin memikirkan apa pun saat ini, karena rasa lelah dan kantuk akibat pelarian tadi membuatnya kelelahan dan dia ingin tidur. Vivian mengusir ketakutannya dengan membaringkan diri di tempat itu. Ia akan menunggu hingga Jemy kembali.

Jemy melihat setidaknya ada dua puluh orang yang mendekat ke arah desa. Mereka menunggangi kuda. Orang-orang itu jelas sekali pasukan kerajaan Moon Kingdom. Ia mencium sesuatu yang buruk.

Ada yang tidak beres. Batinnya.

Jemy mengejutkan mereka dengan serangan selamat datang. Dua orang di belakang pasukan itu jatuh dari tunggangan. Mereka tidak mati, hanya pingsan akibat pukulan yang ia lancarkan. Pasukan itu terkejut dan menghentikan kudanya. Mereka siaga dan menatap Jemy dengan geram.

"Mau apa kalian mencariku?" tanyanya.

"Kami membawa titah yang mulia Raja Dimitri," jawab salah satu dari mereka yang berada di barisan depan.

Jemy tahu, cepat atau lambat ia akan diseret ke istana, tetapi dia bingung bagaimaan caranya mereka menemukan dia dan Vivian. Pastilah banyak mata-mata yang tersebar di Hebes karena kota ini memiliki banyak telinga dari beragam kepala.

"Sampaikan pada Rajamu. Aku sendiri yang akan menemuinya jika sudah waktunya."

"Ini perintah Raja, apa pun yang terjadi kau harus ikut dengan kami!"

Jemy tersenyum sinis. "Tidak! Aku yang akan memutuskan, pergilah. Kembali pada Rajamu." Jemy bermaksud meninggalkan mereka, tapi tiba-tiba pria yang berbicara dengannya tadi menyerangnya hingga menyebabkan pundaknya terluka. Ada tetesan darah dari bekas sayatan pedang yang melukai jemy.

"Apakah kalian juga diperintahkan untuk membunuhku?!" hardiknya dengan murka.

Pria itu tertawa dengan tatapan mengejek. "Tidak, tentu saja tidak. Kami hanya ingin bersenang- senang dan membawa Pearl girl untuk seseorang." Mereka semua tertawa merendahkannya.

Jemy mengerti sekarang. Kecurigaannya ternyata benar. Orang-orang ini adalah pembunuh bayaran yang menyamar. Pantas saja ia mencium aura bengis tadi dan sangat aneh jika mereka datang di tengah malam seperti ini. Pasukan kerajaan pastilah lebih sopan jika meminta kedatangannya ke istana, bukan menemuinya di tengah malam saat orang terlelap.

"Aku tidak akan membiarkan kalian terus menertawaiku!” bentak Jemy dengan wajah merah padam.

Pertarungan tidak terelakkan terjadi di antara mereka. Kini Jemy mengayunkan pedangnya yang disambut oleh dua penyerangnya, mereka saling menghunus dan menghindar. Tubuh Jemy berputar, menghindari hunusan pedang dari pria berkumis tebal dengan wajah bulat sangar. Pedang-pedang itu saling beradu di udara, membentuk sayatan setipis cahaya di bawah sinar bulan.

Tak mau kalah, tiga orang dari mereka menyerang dengan bringas saat melihat dua temannya terkapar di tanah dengan luka sayatan pada bagian tangan dan perut mereka, meski tidak terlalu parah, karena saat ini Jemy merasa tubuhnya tidak memiliki kekuatan untuk menggencarkan serangan mematikan. Ia merasa seperti dipaku ke tanah, dan otot-ototnya lemas seketika. Jemy sadar dia begitu lemah. Dirinya menduga pria itu menaruh racun di pedangnya.

Sial, aku tidak waspada

Makinya dalam hati.

"Menyerahlah. Kau tidak akan selamat." Orang- orang itu kembali mengolok-olok ketidakberadayaan Jemy yang mulai kehilangan keseimbangan tubuhnya.

Jemy terus saja bertarung dalam keadaannya yang sekarang, meski dia tak sanggup lagi berdiri maupun mengangkat pedangnya. Harga dirinya terluka. Sebagai ksatria mati adalah pilihan terhormat saat ini, namun dia tidak semudah itu menyerah. Vivian adalah alasan baginya untuk tetap hidup.

Vivian... Jemy merapalkan nama puterinya sebagai suplemen kekuatan. Tapi ia benar-benar tak berdaya hingga akhirnya tubuhnya jatuh ke tanah. Ia tak sadarkan diri.

"Hahaha... apa kubilang. Dia hanya kecoa lemah. Mudah sekali mengalahkannya. Ayo, cari gadis itu." Mereka berpencar mencari Vivian.

Lama pembunuh bayaran itu berkeliling, tapi tidak mendapati Vivian.

"Di mana gadis itu bersembunyi? Dia pasti tidak jauh dari sini!" teriak salah satu dari mereka dengan frustrasi.

"Kami menemukannya...!" Sebuah suara menggema dari bagian desa paling belakang, membuat mereka tersenyum penuh kemenangan.

Vivian terkejut melihat sekumpulan pria tak dikenal kini berdiri di hadapannya. Mereka menatapnya dengam seringai yang menakutkan. Vivian ketakutan, ia tak mampu bicara. "AYAH...!" teriak gadis itu mencari perlindungan.

"Teruslah berteriak sayang. Suaramu merdu sekali." Kini pria yang berdiri dekat dengannya menyentuh dagu Vivian, membuat gadis itu semakin histeris.

"AYAH..." lolongnya.

Mulut Vivian ditutup oleh orang-orang itu, tangan dan kakinya juga diikat. Vivian mencoba berontak, ia ketakutan, namun tidak berdaya untuk melawan.

"Bawa dia. Gadis ini adalah sumber kekayaan kita." tawa berderai penjahat itu membuat Vivian semakin takut. Ia terus berontak hingga merasa putus asa.

Pasukan tadi melewati tempat mereka bertarung bersama Jemy. Tubuh tak berdaya Jemy masih tergeletak di tempanya ambruk.

"Biarkan saja pria itu, yang kita butuhkan hanya gadis ini." Tunjuknya pada sebuah kereta kuda. Vivian sudah terlelap di dalam sana. Jemy melihat iringan pembunuh bayaran di depannya dengan pandangan kabur.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status