Tidak perlu membayangkan wajahku, tentu memerah! bisa-bisanya calon kakak tiriku ini membicarakan hal itu, hal yang paling memalukan untukku.
"Mengintip?" Dan ayah mulai bertanya dan hidupku akan semakin memalukan ketika Tante Cahyani pun tahu.
"Hm, konyol sekali, tadi dia tertangkap basah karena mengintip di kamar Abang Abraham yang lagi menyanyi sambil bertelanjang dada."
Cowok yang bernama Agam ini sialan sekali, tetapi aku harus mengontrol emosi karena dia calon abangku juga, jadi wajahnya sangat disayangkan untuk dilukai karena tampan.
Ayah langsung menatapku, tatapannya seolah memberitahu bahwa kelakuanku sangatlah absurd.
"Tadi Aristela ngintip karena penasaran sama siapa yang nyanyi, suaranya keren banget, Tante," ucapku menatap Tante Cahyani penuh ketulusan karena aku tidak bisa membuat alasan lain lagi selain kejujuran, karena jujur adalah keteguhan yang sering ayah ajarkan padaku.
Aku selalu mengingat pesannya: jujurlah walau itu menyakitkan.
"Sebagai seorang wanita yang lebih mengandalkan perasaan di banding logika, memang wajar jika dia penasaran sampai-sampai sedikit memanfaatkan celah pintu yang terbuka untuk melancarkan rencananya, di mana rencana tersebut untuk melihat Abraham serta mencuci mata. Ngomong-ngomong untuk urusan cuci mata, aku seringkali mendengar wanita menggunakan alasan ini, sementara pria yang melihat seorang wanita seksi, akan dibilangi mata keranjang, hei ... itu alasan yang sangat tidak adil!" sahut pria yang bernama August, nadanya sedikit mendengus ketika menegaskan kata tidak adil.
Di balik kedengusannya itu, aku sedikit bersyukur jika dia membela-
"Cuci mata merupakan kata lain dari mesum, mereka sulit sekali untuk mengaku, padahal wajahnya sangat jelas terlihat memerah, untung saja cairan merah tak menetes dari hidungnya," lanjut August. Dan baiklah, aku tidak jadi bersyukur serta memujinya, karena dia juga termasuk pria paling menyebalkan malam ini.
"Nak, kamu ini kurang kerjaan sekali, sampai-sampai mengintip segala."
Oh tidak, ayah semakin membuatku malu, kalau begitu, biarkan aku menghilang dalam beberapa detik saja, agar pembahasannya segera terganti. Namun, itu hanyalah harapan semu.
Lalu sekarang siapa lagi? Aku beralih ke pria yang bernama Amerald? Huft, namanya agak sulit kuhapal, tapi aku akan berusaha mencoba untuk menyapanya. "Halo, Kak Amerald, salam kenal, namaku Aristela."
"Namaku Aderald, harap berhati-hati menyebut nama seseorang," ketusnya dan aku menyiniskan tatapanku.
"Oh maaf, akan kuulangi dengan baik dan benar. Halo Kak Aderald, salam kenal, namaku Aristela."
"Salam kenal, semoga bisa menjadi saudara yang tidak cerewet," balasnya dan aku semakin jengkel dibuatnya.
"Aderald, jaga bicaramu, Nak. Bahkan dirimu sama seperti August serta yang lainnya, kalian ini seharusnya ramah kepada Aristela yang sebentar lagi akan menjadi saudara," tegur Tante Cahyani.
"Wajar, mereka baru saling mengenal, lama-lama akan semakin parah dengan kejahilan putriku yang lebih parah di banding Aderald, Cahaya," sahut ayah yang memanggil Tante dengan sebutan Cahaya. Bukannya nama Tante itu Cahyani?
"Walau jahil, anakku seorang laki-laki, pasti mereka lebih berbuat lebih di banding Aristela, apalagi rumah takkan pernah sunyi karena mereka selalu saja bertengkar, terutama Adnan yang selalu menjadi korban kejahilan abang-abangnya."
"Betul, Mah. Merepotkan sekali punya Abang-abang laknat seperti mereka," balas Adnan yang mendapatkan teguran dari mamahnya lagi, karena kata laknat tentu tidak sopan.
"Adnan, yang sopan, kamu enggak malu sama calon ayahmu?"
"Eum, maaf, he he."
Setelah sesi perkenalan antara diriku dengan putra Tante Cahyani, pembicaraan pun berlanjut mengenai pernikahan.
"Ayah, nikahnya sama Tante Cahyani kapan, sih?"
"Secepatnya kalau perlu," jawab ayah, aku pun beralih ke Tante Cahyani yang juga sama-sama mengangguk, kalau begitu, aku hanya bisa setuju karena kelima pria yang selalu saja menatapku, tak menunjukkan pertanda untuk menyatakan ketidaksetujuan atas jawaban Ayah.
"Untuk tanggal, nanti kita pilih yang cantik-cantik yah waktunya."
"Secantik dirimu jelasnya."
Baiklah, aku merasa ada sedikit guncangan di area perut, sehingga aku sedikit diserang oleh kemualan.
"Tolong dikondisikan," sahut Abraham menutup pembicaraan malam ini.
●●●●
Sampai di sini dulu, untuk lebih lanjut dan mendapatkan update-tan yang cepat, silakan like chapter ini dan jangan lupa untuk berkomentar, karena chapter berikutnya akan semakin seru, serta ... jangan lupa lagi untuk beri rate 5 untuk cerita ini yah.
THANKS FOR READING
SEE YOU NEXT PART.
Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek."Kak Aristela kesehariannya apa saja?"Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga."Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata."Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"
Author Pov"Nikah sama Adnan? Enggak ah, aku enggak mau sama brondong, maunya sama yang dewasa."Adnan mengembuskan napas ketika mendengar kata 'dewasa' ia mengerti akan hal itu, karena yang dimaksud oleh Aristela selain dewasa, juga yang mapan, padahal Adnan ada ketertarikan pada gadis tersebut walau umur mereka berjarak beberapa tahun.Hal yang dipercayai oleh Adnan untuk mendapatkan Aristela adalah, jodoh takkan ke mana bila Tuhan telah menakdirkan, jika status saudara tiri menghalangi, Adnan rasa itu tidak cukup, karena mereka bukan saudara sepersusuan, jadi tidak ada masalah."Adnan? Ngapain ngelamun? Ayo balas perkataanku dong," pinta Aristela.Adnan tersenyum kemudian menunjukkan ekspresi berpikirnya, tidak lama kemudian, ia pun menjawab dengan berupa pertanyaan pula, "Kalau Kak Aristela maunya sama yang dewasa, berarti ada tiga pilihan, yaitu Kak Abraham, Kak Agam, sama Kak August, ayo pilih
Aristela PovPembicaraanku bersama Adnan harus berakhir ketika suara Tante Cahyani mengagetkan kami dari belakang."Ternyata kalian ada di sini. Adnan, tuntun Aristela ke dalam, karena kita akan makan malam bersama," ucap Tante Cahyani kemudian meninggalkan kami. Adnan pun mulai berdiri dan diriku menyusulnya yang sedang menggerakkan tangan sebagai kode agar aku mengikutinya.Setelah sampai di ruang makan, ternyata hanya kami berdua yang belum datang sebelumnya, karena ayah dan keempat saudara Adnan sudah duduk di kursi masing-masing."Nak, kamu duduk di sampingnya Abraham enggak apa-apa, kan?" tanya Tante Cahyani, sebenarnya diriku tentu keberatan karena harus berada di samping pria menyebalkan itu, terlebih lagi dia kurang lebih seperti ayah yang terlihat narsis dan suka tebar pesona."Eum, kalau Aristela di sampingnya Adnan enggak apa-apa kan, Mah?" sahut Adnan tiba-tiba dan aku langsung menatapn
Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam."Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan."Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak.""Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he.""Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela h
Keempatnya tak dipedulikan oleh Aristela karena gadis tersebut lebih mementingkan Adnan sekarang, buktinya ... Aristela menghampiri Adnan untuk meraih tangan anak tersebut agar dia cepat-cepat bèrsiap untuk sekolah, sebelum waktu termakan lebih banyak hanya karena mendengar kelima saudara membahas hal yang konyol."Kamu udah siap, kan? Kalau gitu ayo, nanti Kakak telat kerja," ucap Aristela dan Adnan menurut."Bang minta duit dong buat jajan," pinta Adnan cengengesan dan Aristela langsung menyicingkan matanya karena perkataan Adnan tak sesuai dengan ucapannya kemarin."Iddih, katanya punya banyak duit buat jajanin Kakak tiap bulan, tapi nyatanya minta-minta," ucap Aristela dengan tawa yang mengiringi."Nih lima rebu, harus irit.""Bjir, pelit banget lu, Bang, masa dikasih lima rebu doang?""Syukur-syukurlah, lo harus hemat karena di luaran sana masih banyak orang yang s
Pita langsung tersentak dengan pertanyaan Aristela yang dirasanya sangat lancang itu, sementara menurut Aristela sendiri, dia takkan peduli jika perasaan Pita akan sakit atau teriris akan kalimat sadisnya, karena dia sudah terlanjur buruk mood-nya, ditambah lagi dengan dua wanita songon yang tambah memanas-manasinya."Kenapa diam? Apa ucapanku bener yah? Kalau memang bener, miris banget demi duit sampai segitunya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga dirimu dapat ditukar dengan iphone," lanjut Aristela semakin sinis menatap Pita, Pita ingin membalas wanita itu, akan tetapi ... suasana di toko roti semakin ramai dengan hadirnya para pelanggan yang sedang menyaksikan adu mulut mereka.Aristela yang merasakan situasi makin ramai, segera menghindari mereka yang terus menatapnya dan memilih untuk masuk ke dapur saja agar dapat menenangkan diri sejenak."Pagi-pagi langsung disemprot sama bos, nasib ... nasib," gumam Ariste
Para karyawan yang bekerja di toko roti, tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang nasib Asma dan Pita, karena keduanya otomatis diberhentikan atau dipecat oleh Pak Syahrul secara kejam di sana.Bahkan Asma mengeluarkan air matanya sembari memohon-mohon kepada bosnya itu untuk tidak memecatnya. Namun, Pak Syahrul tak mengucapkan apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, sementara Pita? Wanita itu sudah pasrah dengan apa keputusan Pak Syahrul, karena perasaannya sekarang ini hanya bisa menanggung penyesalan serta emosi yang besar terhadap si Aristela itu."Untuk apa lagi kalian berada di sini? Cepat keluar dari tokoku, aku tak sudi melihat wajah kalian berdua, cepat angkat kaki!" bentak Pak Syahrul dan keduanya pun langsung pergi dari tempat tersebut dalam keadaan malu nan menunduk."HUU" sorak-sorakan dari para karyawan yang puas atas perginya mereka berdua yang akhirnya membuat karyawan-karyawan di
Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan."Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald."Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam."Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di