Inez tertawa keras, meski sudah mengetahui bahwa Eric bukanlah pria menggebu akan cinta dan hasrat terpendam, tetap saja Inez senang memancing amarah Eric.
“Di antara sekian banyak pria kaya, mengapa harus Eric Fagan? Oh, ya ampun!” tawa Inez hampir menyerupai kekehan Nenek sihir.
“Kenapa? Apa aku tak pantas untuk itu?” Eric terlihat tersinggung. “Saat aku merasa beruntung kau yang menjadi saudara tiriku, kenapa kau justru mengeluh?”
“Jangan salah sangka dulu, Eric. Aku hanya merasa bersalah jika seperti kenyataan dan keadaannya seperti ini.”
“Haa ...” Eric mendengus, ia tersenyum miring, alias sinis, “untuk apa kau merasa bersalah? Bukan kau yang sepakat untuk menikah dengan Ayahku.”
“Bukan itu, Eric,” geleng Inez. Ada senyum manis menggoda darinya yang sengaja ia peruntukan untuk sang sahabat, “karena itu kau, aku jadi semakin sulit untuk berbuat ulah.”
“Berbuat ulah? Kali ini apa lagi?”
“Aku ingin mencoba bermain-main dengan Kakak tiriku, jika itu bukan kau. Tapi karena ternyata Eric Fagan lah Kakak tiriku, belum apa-apa, aku sudah menciut,” jelas Inez dengan tawa penuh semangat.
Eric mengumpat tak jelas. Ia merasa kesal karena ternyata Inez tidak pernah berubah. Selalu gemar mencari masalah dalam hidupnya. Berbanding terbalik, justru sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang sebisa mungkin—harus—menjauhi masalah.
Hidup lurus penuh ketenangan, itulah yang biasa Eric jalani. Bukannya tak pernah bermasalah, tapi Eric selalu dengan cepat mengatasi semua yang menganggu hidupnya. Tapi kali ini, ia bingung, tidak akan mungkin dia menyingkirkan Inez dan Ibunya begitu saja. Mereka berdua tidak sepenuhnya bersalah.
“Hei! Apa yang kau pikirkan?” Inez menghardik pelan sang sahabat.
“Aku tak tahu. Hanya sedikit kesal, mungkin.”
“Jawaban macam apa itu. Tapi cobalah untuk mengerti posisi Ayahmu, Eric. Dia membutuhkan seseorang untuk menjaga dan menemani dirinya di hari tua.
Sedangkan kau, memilih meninggalkan rumah sejak empat tahun lalu, hidup sendiri, seolah tidak memiliki keluarga.” Inez sengaja menyudutkan Eric.
“Aku ... memiliki alasan yang jelas untuk itu, Inez. Lagi pula, Anak Ayah bukan hanya diriku, ada Elsa yang lebih bisa ia andalkan. Aku rasa bukan itu alasannya,” sanggah Eric.
“Lalu, apa alasannya menurutmu?” Inez terlihat penasaran.
Eric memicingkan kedua mata penuh curiga ke arah Inez. “Apa kau tidak pernah bertanya pada Ibumu?”
Inez menggeleng sembari mengangkat bahu.
“Ayahku memang sudah lama mencintai Ibumu, bahkan mungkin, sebelum Ibuku tiada.”
Inez mendadak menginjak rem, beruntung jalanan tidak padat, karena malam hari, biasanya jalan menuju istana baru Inez terbilang sepi.
King and Queen Residence. Semua orang dari penjuru kota jelas paham, bahwa memiliki hunian di sana pastilah hanya mimpi belaka, apa lagi untuk seseorang seperti Inez. Karena para penghuninya cuma terisi orang-orang terkaya dari yang paling kaya.
“Kenapa kau mendadak berhenti?” Eric terlihat kesal dengan mata membulat sempurna, tertuju pada Inez yang tertawa pelan.
Inez menyampingkan tubuhnya menghadap Eric, setelah mobil terparkir di pinggir jalanan sepi.
“Kau serius mengenai hal itu?”
“Kenapa? Kau terkejut? Merasa terpukul?” ejek Eric. Ia merasa heran jika seorang Anak perempuan yang biasanya tak memiliki rahasia apa pun di dalam hubungan antara Ibu dan Anak, justru berakhir seperti wanita di hadapannya ini. Tak tahu apa-apa.
“Bukan begitu. Yang kuingat, satu-satunya pria dalam hidup Ibu, hanyalah mendiang Ayahku. Ibu tidak pernah terlibat hubungan apa pun dengan pria lain. Sejujurnya, aku juga terkejut saat Ibuku menerima tawaran Ayahmu,” jelas Inez dengan raut wajah serius. Dia sungguh-sungguh kali ini.
“Pikiranmu terlalu dangkal,” tuduh Eric. Ia terlihat menghina Inez melalui tatapannya.
“Ya, aku tidak senang berpikir terlalu dalam. Hanya terus sibuk berbuat ulah.” Inez tersenyum lebar, memamerkan gigi-giginya yang tidak begitu tersusun rapi. Tapi cukup putih dan bersih.
“Teruslah begitu, selagi kau memiliki tenaga yang besar untuk menyelesaikan sendiri kekacauan yang kau buat. Tapi ingat ...” Eric mengacungkan jari telunjuknya, “jangan pernah libatkan aku meski kini kita bersaudara.”
Inez mengangguk mengerti. Wajahnya terlihat serius menanggapi ucapan berupa setengah ancaman dari Eric.
“Bagus, gadis pintar.” Eric tersenyum senang. Mengingat fakta bahwa di antara ketiga sahabat yang lain, hanya dirinya lah yang sedikit mampu mengendalikan Inez si pembuat onar.
“Apa kau berencana untuk memberitahu yang lain?” tanya Inez.
“Siapa? Gwen, Lexi, dan Piter?”
“Hem, mungkin kau berencana memberitahu mereka tentang hubungan persaudaraan aneh kita,” tawa Inez kembali muncul.
“Tidak, tidak. Aku rasa tidak perlu. Kau tahu, selama hampir lima belas tahun kita semua bersahabat, tidak ada satu pun dari kita yang terlalu paham dan peduli urusan pribadi masing-masing,” tolak Eric.
“Ya. Kau benar. Aku bahkan tidak pernah tahu siapa saja kekasihmu, alasan kenapa sampai detik ini Lexi tidak bisa menerima Zanna Van Dick, di mana Gwen bekerja setelah keluar dari perusahan industri, juga tentang Piter.
Ya, aku tak tahu apa pun tentang kehidupan pribadinya, kecuali satu hal, dia masih senang menggoda wanita bersuami,” jelas Inez setengah tertawa. Hari ini dia menjadi banyak tertawa karena adanya Eric.
“Itulah kenapa aku juga berniat terus mempertahankan persahabatan ini hingga akhir hayat.” Eric tersenyum, ada raut bahagia yang terpancar jelas.
“Aku setuju untuk hal itu, bahkan mungkin, jika kita semua sudah menikah dan memiliki Anak, ada baiknya saling menjodohkan Anak-Anak kita satu sama lain,” usul Inez dengan semangat yang memenuhi seluruh gerak tubuhnya.
“Oh, tidak.” Eric lagi-lagi mendengus. “Aku tidak berniat untuk itu.”
“Hei, sifat sombongmu itu menyakiti hatiku,” protes Inez memasang wajah cemberut.
“Maksudku bukan begitu.”
“Lalu apa maksudmu? Bukankah kau tidak berniat menjodohkan Anakmu kelak dengan Anakku?”
“Hei, pembicaraan macam apa ini?” Eric berdecak bosan. “Maksudku, aku tidak berniat untuk menikah, apa lagi sampai memiliki Anak,” jelas Eric.
“Hah? Kau gila?” Inez berseru keras dengan rasa tidak percaya yang cukup tinggi.
“Tidak,” geleng Eric, “aku tidak gila. Hanya tak ingin membuang-buang waktuku dengan wanita, itu saja.”
Inez menghela napas, menggeleng, kembali pada posisi bersiap untuk mengemudikan mobil pemberian Ayah tirinya. “Kau sama sekali tidak berubah. Kurasa kau memang bukan pria normal, Eric.”
Eric tertawa keras. Ia jelas paham jika Inez dan semua orang menganggapnya pria yang tidak normal.
Tapi saat melihat dan mendengar Inez benar-benar mengucapkan pandangannya seperti itu, membuat Eric merasa tertantang.
“Kau sungguh merasa aku pria yang tidak normal?”
Inez mengangguk tanpa ragu. “Jelas terlihat seperti itu di usiamu yang sekarang ini, Eric. Maaf, tapi kau sedikit aneh.”
“Kau ingin membuktikannya?”
Inez masih menyetir dengan santai, ia sama sekali tidak menanggapi perkataan Eric. Juga tak paham pada maksud dan tujuan Eric.
“Maksudmu?”
“Mari kita buktikan apakah aku pria tidak normal dan aneh seperti yang kau katakan atau aku pria yang lihai mengambil hati wanita,” tantang Eric dengan senyum manis, bukan sinis.
“Caranya?” Inez mulai kebingungan. Sesekali ia menoleh di sela-sela menyetir.
“Kau tak tahu caranya? Kukira kau paling ahli untuk urusan seperti ini.”
“Ya, terkadang aku bisa saja menjadi amatir dalam situasi tertentu. Lalu bagaimana caranya?” Inez masih saja penasaran.
Eric tersenyum. Merasa si pembuat onar mulai terpancing.
“Mari tidur bersama dan buktikan kebenarannya.”
Bersambung.
“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania deng
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk