Share

Ya atau Tidak?

“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.

“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.

Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.

“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.

Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi. 

Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.

Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania dengan dua lantai. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana luas dan mewahnya rumah keluarga Fagan.

Penghuni rumah berarsitektur era delapan puluhan ini, hanya terdiri dari Inez, Renata—Ibu Inez—dan Edwin Fagan. Sedangkan Elsa Fagan—Kakak Eric—memutuskan untuk tinggal bersama sang suami di luar negeri.

Wanita tiga puluh enam tahun itu hanya sekali dalam setahun datang berkunjung untuk menjenguk Edwin. Tidak merasa keberatan sama sekali dengan pernikahan sang Ayah.

Hubungannya dengan Eric masih sama. Tak pernah akur dan memilih saling memusuhi dalam diam.

Eric berjalan memasuki rumah yang sudah empat tahun ia tinggalkan. Tidak ada yang berubah, kecuali beberapa tanaman hias yang semakin banyak tersusun di setiap ruangan.

Eric yakin karena kehadiran Renata di rumah ini, menciptakan sesuatu yang baru, menggeser semua kebiasaan lama mendiang Ibunya—Delila—yang sudah meninggal sekitar lima tahun lalu.

Wajar, Eric paham akan hal itu. Tidak ada kesedihan berlarut-larut. Bagi yang masih hidup harus terus melanjutkan perjalanan hidupnya, menunggu giliran untuk mati.

“Kau ingin menemui Ayahmu?” Inez menoleh ke belakang, melihat Eric yang masih terus memandangi keadaan rumahnya.

“Mungkin Ayah sudah tidur, besok pagi saja,” tolak Eric ketika sadar jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka sebelas lewat sembilan menit.

Membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam dari King and Queen Residence, ke tempat mereka tadi sore merayakan hari jadi persahabatan di salah satu kafe pinggir kota.

“Baiklah, sampai besok, Eric.” Inez berjalan menuju lantai dua kamarnya. 

“Hem, kuharap kau tidak sengaja lupa untuk menyiapkan satu jawaban, besok.”

Inez melambai sambil lalu, tidak ingin menanggapi. Setelah dipikir-pikir, ia sadar satu hal yang pasti. Eric tidak pernah melampaui batas. Dia hanya menggertak dan tidak berani melakukan apa pun.

Eric sudah berdiri tercengang saat tiba di lantai dua dengan Inez yang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya, ya, kamar Eric empat tahun yang lalu.

“Hei, apa-apaan ini? Dari tiga kamar di lantai dua ini, kenapa kau memakai kamarku?” bentak Eric. Jari telunjuknya menunjuk ke semua kamar kosong yang ada di sekitar mereka.

“Hanya ingin,” sahut Inez sekenanya. Ia tidak peduli dan mulai lelah dengan Eric yang terlihat menyebalkan malam ini setelah gertakannya yang konyol.

Inez membuka pintu kamar yang tidak ia kunci. Lagi pula, untuk apa dia mengunci kamar yang tidak akan di masuki oleh orang lain, di rumah besar dengan hanya tiga orang penghuni.

Eric ikut masuk begitu saja, tidak peduli pada tatapan Inez yang langsung tercengang dengan mulut ternganga lebar.

“Wah, tidak berubah!” pekik Eric dengan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa isi kamarnya, seperti lemari, tempat tidur, televisi, dan barang lainnya tetap pada tempatnya. “Kau sungguh tidak berencana untuk mengubah isi kamarku, hmm?”

Inez diam, enggan menjawab. Sejujurnya ia ingin sekali memindahkan semua barang milik Eric. Tapi Renata melarangnya. Menurut Renata, jika Inez menginginkan kamar Eric, dia harus menerima risiko untuk tidur dengan barang-barang Eric tanpa harus mengeluarkannya dari situ.

“Kau tak boleh mematikan kenangan Eric di kamar ini. Jika kau tidak setuju, pilih kamar lain yang tersedia banyak untukmu.”

Itulah kalimat Renata ketika ia bersikeras menginginkan kamar Eric untuk di tempatinya. 

“Jadi ... apa kau tidak merasa risih tidur di ranjangku?” tanya Eric dengan tangan terlipat di depan dada, ia duduk di tepi ranjang.

“Kenapa harus risih? Aku memiliki riwayat hubungan yang baik selama lima belas tahun denganmu, lagi pula, seprainya juga sudah kuganti.”

Eric mengusap ranjang yang berseprai merah muda itu. Ia tersenyum hambar menatap Inez.

“Mau tidur bersama malam ini?” ajak Eric. 

“Kau gila? Jika kau ingin tidur di kamar ini, silahkan saja. Aku akan tidur di kamar lain.” Mata Inez seperti memancarkan kilatan kemarahan. Ia melotot pada Eric yang sedang menahan tawa.

Tawa Eric pecah ketika Inez membanting pintu kamar. Dengan perasaan kesal setengah hidup dan matinya, ia berjalan menghentak kaki menuju kamar di sudut lantai dua.

“Kukira aku akan memiliki saudara tiri yang bisa kuajak bermain. Kenapa justru dia yang mempermainkanku?” hardik Inez pada dinding kamar yang tak paham pada apa yang dibicarakan Inez.

*****

Klik!

Jupiter menghidupkan lampu ruang tamu dan terkejut saat melihat sang Ibu—Misca—sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, di salah satu sofa.

“Ibu?” Jupiter mendekati Misca. “Kenapa tidak mengabariku jika ingin berkunjung?”

“Memangnya ada waktu khusus untuk mengunjungi Anakku sendiri? Aku tidak sempat mengabarimu.” Dengan ketus, Misca menatap tajam pada Jupiter.

Jupiter menghela napas, ia tidak bisa menang melawan Ibunya. Apa lagi, wanita berumur akhir lima puluhan ini, sangat keras dalam mendidik Anak. Meski Jupiter pada akhirnya, selalu melakukan perlawanan diam-diam terhadap Misca.

“Kapan kau akan menikah?” Misca sudah berdiri tepat di hadapan Jupiter.

“Bu ... tenanglah, usiaku masih tiga puluh satu tahun. Masih sangat muda,” tawa Jupiter berusaha menenangkan Misca yang selalu membahas hal sama sejak setahun terakhir, di setiap kali pertemuan mereka.

“Apa katamu?” Kedua alis Misca terangkat. “Aku sudah tahu kelakuanmu selama ini, Piter. Kau gemar bermain-main bersama banyak wanita. Pilih salah satu. Atau aku akan menjodohkanmu dengan Yasmine!” Tegas dan keras, Misca melotot marah pada Jupiter.

“Bu ... tolong jangan Yasmin,” rengek Jupiter, “membayangkannya saja aku tidak sudi.”

“Apa yang kurang dari Yasmin? Dia sehat, cantik, dan kaya. Lalu apa yang kau mau?”

“Yang jelas tidak jika itu Yasmin, Bu.” Jupiter menggeleng.

Sehat berarti tubuh tambun dengan timbunan lemak di sana-sini, cantik yang hadir karena polesan hasil lipstik merah cabai dengan bedak tebal, melebihi warna putih di leher Yasmin. Kaya? Ya, tentu. Yasmin memang Anak tunggal pewaris perusahaan tambang milik Ayahnya.

“Baiklah. Bukan Yasmin tapi wanita pilihanmu. Ingat, dua minggu dari sekarang, atau aku akan memaksamu dengan berbagai cara untuk menikahi Putri pewaris perusahaan tambang itu!”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status