“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.
“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.
Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.
“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.
“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.
“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.
Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.
“Eric!” teriak Edwin.
Tentu saja percuma, karena Eric mengalahkan suara Ayahnya dengan bantingan di pintu.
Eric mengambil langkah seribu meninggalkan istana mewah nan megah milik Edwin Fagan. Meraih ponsel dan menghubungi Jupiter. Seketika saat nada panggil tersambung, Eric teringat sesuatu.
Sekarang, di rumah ini, ada Inez dan Ibunya. Eric tidak ingin mengambil risiko dengan mempertemukan kedua sahabatnya di sini. Eric yang masih kesal, urung kembali ke dalam. Ia memutuskan menghubungi Inez melalui ponselnya.
Setelah panggilan ketiga berlalu tanpa ada jawaban, Eric semakin bertambah kesal dan akhirnya kembali masuk menuju ke kamar Inez.
Wanita itu, Eric temukan di kamarnya dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Dengan cepat Eric membanting pintu dan mengumpat.
“Dasar sial! Kenapa kau tidak mengunci pintunya?” teriak Eric di balik pintu kamar yang tak lagi menjadi kamarnya.
“Barusan kau memakiku, hah?” Inez balas berteriak, ia cepat-cepat mengenakan celana panjang dan sweater rajutnya. Di luar, cuaca memang sedang dingin.
“Ya, aku memaki karena terkejut. Apa kau lupa kebiasaan lamaku?”
Hening.
Inez tidak menjawab. Ia mencoba menarik dan menghembuskan napas dengan berhati-hati sebelum membuka pintu.
Ketika pintu akhirnya terbuka.
“Aku tidak pernah lupa semua kebiasaan buruk teman-temanku, termasuk kau, Eric Fagan!” Inez berusaha melotot untuk menutupi rasa malunya, karena kejadian sepersekian detik tadi. “Cepat katakan ada apa? Kenapa tiba-tiba kau kembali lagi?”
“Antarkan aku pulang.”
“Kau bisa pulang dengan mobil yang semalam kau naiki bersamaku.”
“Tidak,” geleng Eric, “mobil itu milikmu.”
“Yang memiliki uang untuk membeli mobil itu, Tuan Edwin Fagan. Berapa kali harus kujelaskan?”
“Semua teman kita sudah tahu jika itu mobil milikmu,” bantah Eric.
“Sudahlah. Berhenti keras kepala dan pakailah mobil itu. Lagi pula, memangnya kau akan bertemu teman se grup kita hari ini?”
“Tidak.”
“Nah, apa lagi yang kau tunggu? Pakai saja, itu mobil Ayahmu. Bukan milikku.”
“Baiklah, berikan kuncinya beserta jawaban dari pertanyaanku. Mana?” goda Eric dengan tangan menengadah.
Inez kesal bukan main, ia berbalik, meraih kunci dan memberikannya dengan kasar pada Eric. “Dengar, semakin lama tingkahmu semakin menyebalkan! Ada apa denganmu? Kenapa mau bertindak sekurang ajar ini?”
“Hahaha ...” tawa Eric membahana, ia tersenyum manis, “aku bukan lagi teman yang berdesakan tidur di tenda kemah bersama di hari ulang tahunmu.”
Mendadak Inez teringat hal paling menyenangkan dua belas tahun lalu itu. “Kau masih mengingatnya?”
“Tentu. Masih berbekas diingatanku bahwa hanya kau yang tidur sangat membahayakan dirimu sendiri.” Eric mengulang kenangan di pikirannya. “Hanya kau yang tidur dengan pakaian yang terangkat ke atas.”
“Apa?” teriak Inez, malu. Ia kembali berpikir keras tentang apa yang mungkin terlewatkan olehnya.
“Aku bercanda. Pakaianmu tidak terangkat. Tapi kau tidur hampir memelukku. Nah, untuk hal yang itu aku tidak berbohong.”
Inez berdeham. Ia malu mengakuinya. Beruntung sekali orang itu adalah Eric Fagan si pria aneh yang tidak begitu menyukai wanita.
Jadi Inez merasa lebih nyaman dan aman jika Eric mengingat hal itu dan tidak mengumbarnya pada teman se grup mereka.
“Hei, apa yang kau lamunkan? Aku?” Eric tertawa lagi. Ia sengaja mencari pengalihan dari rasa kesal akibat bertemu Edwin tadi di kamarnya.
“Hentikan candaanmu! Cepat pergilah.” Inez mendorong tubuh kurus Eric menjauhi pintu kamar.
“Jawabannya?” Eric masih tak pantang menyerah.
“Tidak!” Inez melepas sandal kamarnya dari kaki sebelah kanan, dan melemparkannya ke arah Eric yang sudah berlari menjauh.
*****
Saat terbangun, Gwen sudah terlambat hampir lima belas menit, tapi semua pekerjaannya sudah selesai berkat tangan ajaib milik Jupiter.
Pria itu sudah pergi saat Gwen menyadari bahwa mungkin, dia akan sering meminta pertolongan Jupiter ke depannya.
Gwen berlari ke kamar mandi, segera bergegas sebelum Zeev menghubungi dan mencoba memarahinya lagi seperti beberapa hari lalu, hanya karena Gwen salah membelikan kopi pesanan Zeev.
Beruntung, Gwen bisa berdandan tipis, memolesi diri hanya dengan bedak dan lipstik di dalam taksi. Hingga ia cukup mengenakan blus sedikit longgar hijau pastel dan rok pensil tepat selutut, berwarna hitam, di kamarnya tadi.
“Cepat ke ruanganku, sekarang!”
Gwen baru saja tiba, masih terengah dan langsung mendapat panggilan perintah berisi hardikan, dari telepon di atas mejanya.
“Berhati-hatilah,” saran Lola, berbisik dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Gwen yang siap menerima angin neraka dari sang pemimpin, “teleponmu sudah berdering empat kali sejak tadi.”
Seketika kedua mata Gwen terbelalak. Ini mungkin akan jadi pertanda bahwa akhir karirnya berawal dari sini.
“Kunci pintunya!” perintah Zeev dengan lantang dan keras, saat Gwen muncul dari balik pintu.
Gwen bergetar bukan hanya karena perutnya yang keroncongan, tapi juga akan nasibnya setelah ini.
“Cepatlah, Gwen!” bentak Zeev.
Gwen sudah mengumpat dan mengucap sumpah serapah untuk Zeev dalam hatinya. Ia segera mengunci pintu, berjalan menuju meja di mana Zeev sudah menunggunya.
Seakan pasrah, Gwen siap berdiri berjam-jam lamanya untuk mendengar luapan emosi si Bos besar ini.
“Mendekatlah,” perintah Zeev.
Gwen menelan ludah, kakinya bergetar, sungguh, dia bukan takut pada Zeev yang terkesan kejam, tapi perut lapar dan bayangan nasibnya menjadi pengangguran begitu menakutkan.
Saat ini, mencari pekerjaan begitu sulit. Meski otak Gwen cemerlang, lulusan Universitas terkenal, tetap saja yang berkuasa selalu menang.
“Kau tahu berapa kali aku menghubungimu?”
“Empat kali, Pak,” jawab Gwen yakin. Dia jelas ingat bahwa Lola memberitahunya seperti itu, tadi.
“Apa katamu?” Zeev meradang, ia segera meraih ponsel miliknya, menghadapkan layar ke depan wajah Gwen yang berdiri di depan meja. “Kau bisa lihat berapa kali aku mencoba menghubungimu?” bentak Zeev.
Gwen mengangguk perlahan. “Enam belas kali.” Gwen segera menggigit bibir, ia sadar, yang dimaksud Zeev bukan telepon kantor, tapi ponselnya.
Di dalam hati, Gwen ingin tertawa, jika di total, dia hanya terlambat dua puluh dua menit, tapi kenapa atasannya ini seperti Anak anjing kehilangan induk?
“Nah, kau sudah tahu sekarang. Jadi coba berdiri tegak!” Zeev bangkit dari kursi putarnya, mengambil sesuatu dari laci meja. “Berbalik!” Lagi-lagi Zeev memerintah, suaranya mengandung amarah dan sedikit berbeda dari biasanya.
Gwen terperanjat dan segera berbalik. Ini kali pertama Zeev bersikap unik. Biasanya ia hanya meluapkan emosinya dengan sering melontarkan kata ‘bodoh’ dan ‘lamban’ untuk Gwen.
Benda yang diambil dari laci meja Zeev, ternyata sebuah dasi berwarna hitam tanpa motif.
Bersambung.
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Eric dan Gwen saling melepas diri. Tapi Eric tidak membiarkan Gwen merasa malu karena perbuatan mereka. Dia kembali mendekap Gwen dengan lembut.“Eric ... a-aku ....” Gwen terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia hanya memegang erat lengan Eric yang memeluknya.“Tak apa, Gwen. Anggap ini sebuah kehangatan yang kuberikan dari rasa nyaman selama lima belas tahun bersama.” Eric mencium dengan pelan dan hati-hati di puncak kepala Gwen.“Jangan tinggalkan aku karena hal ini, hanya kau sahabat pria pertama yang paling kusayangi,” gumam Gwen. Perlahan air matanya menetes.“Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Lagi-lagi Eric memberi kehangatan di hati Gwen dengan mencium keningnya. “Ayo, kita ke kamarku. Kuberi kau pakaian ganti,” ajak Eric.Kedua mata Gwen membulat, dengan menggigil dia menatap Eric penuh curiga. Eric yang juga menggigil, langsung merangkul Gwen dengan tawa, menyer
Eric menggeleng. Meski sempat keheranan dengan pertanyaan balik dari Gwen, dia tetap bersedia menjawab dengan jujur. “Aku tidak menyesali semua yang telah terjadi semalam. Malah aku bersedia mengulanginya lagi sekarang.”Wajah Gwen bersemu merah di pagi hari yang cukup dingin ini. Dia bersembunyi di dada Eric yang putih dan kurus. Membenamkannya di sana. Ada sisa wangi parfum maskulin yang melekat di kulit Eric, membuat Gwen betah mengendusnya.“Lalu kau? Apa kau menyesalinya?” tanya Eric lagi, dia penasaran, bahkan rasanya berdebar menunggu jawaban dari wanita dalam dekapannya ini. Juga berharap, agar Gwen tidak mendengar degup jantungnya saat ini.“Tidak. Jujur, kukira aku akan menyesal. Ternyata tidak, karena aku menyukai perasaan ini.” Gwen berkata dengan jujur dan polosnya.Wajah Eric bersemu. Tentu saja Gwen tidak menyadari apa lagi melihatnya. Cepat-cepat Eric mendekap tubuh Gwen dengan lebih erat lagi.
Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Jupiter dan Inez, tidak lah terlalu sulit. Karena Misca ikut ambil bagian dalam hal ini. Ibu setengah abad lebih itu, mempersiapkan dengan teliti dan sebaik mungkin pesta pernikahan Putra sulungnya.Meski banyak kalangan yang terkejut akan pernikahan mendadak ini, pesta mereka berakhir dengan meriah. Penuh kegembiraan palsu dari Jupiter maupun Inez.Bahkan ketiga sahabat pengantin—Alexi, Eric, dan Gwen—ikut hadir meramaikan pesta, meski mereka tak pernah tahu rencana rapi di balik pernikahan dua sejoli yang kerap terlihat seperti kucing dan tikus itu.Di benak masing-masing sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung. Tapi mereka memilih bungkam dan tak ingin ambil pusing mengenai hal itu.Terutama Gwen yang mengetahui segalanya. Dia justru merasa mungkin ini pilihan yang tepat. Jadi Gwen hanya perlu berlega hati akan keputusan yang telah diambil ol
“Aakhh!” Jupiter berteriak ketika melihat dirinya tidak mengenakan apa pun bersama Inez di atas ranjang, pagi harinya, setelah melewati malam menyenangkan.“Jangan berisik!” Inez balas berteriak. “Kau lupa kita sudah menikah?”“Ada sesuatu yang salah, ini tidak benar!” Tidak peduli pada ucapan fakta dari Inez, Jupiter menyibak sedikit selimutnya untuk mencari-cari sesuatu.Mulutnya kembali mengeluarkan teriakan, kali ini karena bercak darah di atas seprei merah muda yang mereka tiduri bersama.“Apa yang telah kulakukan?” Begitu frustrasi, Jupiter menjambak rambutnya berulang kali.“Tentu saja malam pertama suami istri. Apa kau ingin menyangkal dan menjadi korban di sini?” Dengan sikap tidak peduli, Inez mengeluarkan dirinya dari balik selimut, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.“Hei, hei ... apa yang kau lakukan? Pakai bajumu!” teriak Jupiter sembari mengalihkan pandan