Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.
Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.
Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.
Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.
Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.
“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.
“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, sesaat tangannya berhenti memberi rasa geli di betis Gwen.
Gwen menggigit bibirnya ketika rasa itu merambat hingga membuat bulu kuduknya meremang di pagi hari ini.
Sedangkan Zeev, menyeringai dengan puas saat ia berhasil mengikat kedua bagian bawah kaki Gwen dengan sempurna, kuat.
Zeev berjalan mendekati salah satu sofa yang ada di hadapan Gwen. Si pemimpin Winston Corporation ini adalah seorang pria matang dengan banyaknya prestasi dalam dan luar negeri.
Tidak hanya itu, Zeev yang sudah berusia empat puluh satu tahun ini, juga terkenal akan kegemarannya bermain-main dengan wanita berkualitas tinggi, di luar.
Memberi mereka bonus sebagai imbalan, karena bersedia sekedar menemaninya minum atau jalan-jalan keluar negeri melepas penat.
Tapi Zeev tidak seburuk yang terlihat. Meski begitu, dia peduli dan mencintai keluarganya. Dia memiliki seorang istri—Ivanka—yang penurut dan juga setia.
Ivanka tidak pernah sekalipun, mempermasalahkan kelakuan Zeev yang luar biasa di luar rumah. Ia dengan tenang menjalani harinya, tanpa peduli pada apa yang terjadi di dunia luar sang suami.
Sekarang, Zeev duduk mengusap dagunya yang mulus bersih. Pria ini menyukai segala sesuatu yang bersih dan terasa halus saat disentuh. Seperti Gwen contohnya.
Kedua bola mata cokelat tua milik Zeev menatap lekat pada Gwen yang gelisah. Zeev senang dengan situasi ini. Ia berharap bisa melihat lebih dari sekedar rasa sakit.
“Kemarilah,” perintah Zeev lembut.
“Ta-tapi kakiku,” ucap Gwen tersendat, menunduk melihat kedua kakinya yang terikat kuat menggunakan dasi.
Gwen tidak ingin menangis. Air matanya terlalu berharga untuk diperlihatkan pada atasan gila yang kini sedang tersenyum aneh memandangi dirinya.
“Cobalah, instingmu secara otomatis akan menuntunmu padaku.” Zeev dengan angkuhnya berusaha membuat Gwen menuruti keinginannya.
Sejak dua minggu lalu, Zeev merasa dan memperhatikan wanita ini sedikit angkuh dari kebanyakan wanita di sekitarnya yang sibuk mencari perhatian Zeev. Sangat bertolak belakang dengan Gwen.
Bukan tak suka, Zeev justru merasa penasaran dan tertantang. Ia ingin sekali bibir Gwen memohon padanya. Mengucapkan berbagai kalimat meminta ampunan.
Gwen mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak bodoh sampai harus membuat dirinya terjatuh dan dipermalukan begitu saja oleh Zeev Curtis.
Akal sehatnya memikirkan cara agar ia merasa tidak perlu melakukan hal gila ini di hadapan sang atasan.
“Aku tidak bisa berjalan dengan kaki terikat seperti ini, Pak.”
“Maka dari itu, cobalah,” desak Zeev. Ada kilatan marah di matanya saat mendengar Gwen berani membantah.
“Aku tidak bisa, Pak,” geleng Gwen, “dalam langkah pertama aku pasti akan jatuh tersungkur.”
“Barusan kau membantahku?” Seringai Zeev nyata terlihat.
Kini tubuh Gwen gemetar sepenuhnya. Ia sudah cukup lama berdiri dengan perut kosong, bahkan tanpa air putih segelas pun yang masuk ke tenggorokannya sejak bangun tadi pagi.
“Maafkan aku, Pak. Tapi aku tidak bisa melakukannya.” Gwen tetap berdiri, tanpa bergerak sedikit pun.
Zeev mendengus, tersenyum dengan memiringkan bibirnya. “Apa kau ingin aku membongkar rahasia yang telah kau sembunyikan rapat-rapat selama dua tahun belakangan ini?”
Gwen tersenyum kaku, meski hatinya mencurigai sesuatu. “Apa maksud Anda, Pak?”
“Kau yakin tidak masalah jika aku membongkarnya di sini, sekarang?”
“Tidak masalah, Pak.” Gwen menjawab dengan suara serak karena tenggorokannya yang kering. Ia menjadi ingat akan hal itu.
“Kau ... berpikir semua orang bisa kau bodohi?” Zeev menyeringai. Ia merasa menjadi satu-satunya orang yang mengetahui rahasia besar Gwen.
Bukan masalah sulit, untuk mencari tahu secara mendalam tentang Gwen Himeka bagi seorang Zeev Curtis.
Zeev merasa tidak merugi jika harus mengeluarkan sedikit lebih banyak untuk membayar informannya, agar mencari tahu dengan pasti kebenaran bahwa Gwen menjalin hubungan serius dengan Alexi Millard.
“Aku tidak bermaksud membodohi siapa pun, Pak. Jika memang rumor tentangku menyebabkan masalah di sini, aku bersedia mengundurkan diri.” Dengan tegas dan berani Gwen menjawab. Tatapannya lurus tanpa berpaling sekalipun.
Gwen merasa yakin bahwa hanya ada satu kecacatan fatal dalam hidupnya—sejauh ini—yang dapat berdampak pada karirnya, yaitu menjadi selingkuhan Alexi.
Hanya itu catatan hitam yang ia miliki selama hampir dua tahun terakhir. Gwen sudah begitu lemas, tubuhnya sempat miring ke kiri sedikit. Tapi buru-buru ia menyeimbangkannya lagi.
Gwen kembali menelan ludah. “Bisakah aku melepas ini sekarang, Pak?” pinta Gwen dengan perlahan. Kekuatan tubuhnya seakan hilang.
Zeev merasa kalah sebelum berperang, ia tidak menyangka ada seorang wanita berusia sepuluh tahun lebih muda darinya, berani dan sanggup membantah setiap apa yang diucapkannya.
Selama ini, bukan tak ada yang ingin mencoba membantahnya. Banyak, mereka lebih dari sekedar separuh isi kantor yang selalu tidak setuju pada beberapa keputusan atau perintah atasan.
Tapi mereka memilih bungkam dan hanya mengumpat di belakang Zeev. Karena selama ini Zeev telah membuai mereka dengan kesenangan berupa hal-hal menyenangkan yang mampu Zeev berikan.
Seperti contoh, beberapa kepala divisi yang sempat membencinya karena pernah meminta beberapa karyawan lembur hingga dini hari, mendadak memuja Zeev di depan wajahnya.
Itu karena Zeev memberi mereka kemudahan dengan menambah bonus lembur tiga kali lipat, beserta liburan gratis setiap sebulan sekali ke luar negeri.
Zeev selalu menunggu mereka membantah semua perintah dan aturan yang ia berikan. Tapi tidak ada satu pun berjiwa pemberontak dan angkuh seperti Gwen.
Bukan tak tahu, Zeev jelas mendengar secara tidak langsung bahwa mereka mengumpat dan menyumpahinya setiap waktu.
Sepertinya, Gwen tidak butuh jawaban Zeev, ia langsung duduk meluruskan kedua kaki—karena menggunakan rok selutut Gwen menghindari berjongkok—membuka ikatan yang membelit kuat pada bagian bawah betisnya.
Dengan tangan bergetar, Gwen berusaha melepas ikatannya. Tidak peduli bagaimana Zeev menatap kesal sekaligus kagum padanya saat ini.
Keinginan hati Gwen hanya satu. Segera pulang ke rumah, membuat surat pengunduran dirinya dengan cepat.
Ia tidak bisa diam saja ketika diancam dengan cara tidak terhormat seperti ini. Gwen sadar, dia hina karena memiliki sebuah hubungan dengan pria beristri. Tapi harga dirinya masih ada. Siapa pun tidak berhak menghinanya.
Bersambung.
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Eric dan Gwen saling melepas diri. Tapi Eric tidak membiarkan Gwen merasa malu karena perbuatan mereka. Dia kembali mendekap Gwen dengan lembut.“Eric ... a-aku ....” Gwen terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia hanya memegang erat lengan Eric yang memeluknya.“Tak apa, Gwen. Anggap ini sebuah kehangatan yang kuberikan dari rasa nyaman selama lima belas tahun bersama.” Eric mencium dengan pelan dan hati-hati di puncak kepala Gwen.“Jangan tinggalkan aku karena hal ini, hanya kau sahabat pria pertama yang paling kusayangi,” gumam Gwen. Perlahan air matanya menetes.“Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Lagi-lagi Eric memberi kehangatan di hati Gwen dengan mencium keningnya. “Ayo, kita ke kamarku. Kuberi kau pakaian ganti,” ajak Eric.Kedua mata Gwen membulat, dengan menggigil dia menatap Eric penuh curiga. Eric yang juga menggigil, langsung merangkul Gwen dengan tawa, menyer
Eric menggeleng. Meski sempat keheranan dengan pertanyaan balik dari Gwen, dia tetap bersedia menjawab dengan jujur. “Aku tidak menyesali semua yang telah terjadi semalam. Malah aku bersedia mengulanginya lagi sekarang.”Wajah Gwen bersemu merah di pagi hari yang cukup dingin ini. Dia bersembunyi di dada Eric yang putih dan kurus. Membenamkannya di sana. Ada sisa wangi parfum maskulin yang melekat di kulit Eric, membuat Gwen betah mengendusnya.“Lalu kau? Apa kau menyesalinya?” tanya Eric lagi, dia penasaran, bahkan rasanya berdebar menunggu jawaban dari wanita dalam dekapannya ini. Juga berharap, agar Gwen tidak mendengar degup jantungnya saat ini.“Tidak. Jujur, kukira aku akan menyesal. Ternyata tidak, karena aku menyukai perasaan ini.” Gwen berkata dengan jujur dan polosnya.Wajah Eric bersemu. Tentu saja Gwen tidak menyadari apa lagi melihatnya. Cepat-cepat Eric mendekap tubuh Gwen dengan lebih erat lagi.
Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Jupiter dan Inez, tidak lah terlalu sulit. Karena Misca ikut ambil bagian dalam hal ini. Ibu setengah abad lebih itu, mempersiapkan dengan teliti dan sebaik mungkin pesta pernikahan Putra sulungnya.Meski banyak kalangan yang terkejut akan pernikahan mendadak ini, pesta mereka berakhir dengan meriah. Penuh kegembiraan palsu dari Jupiter maupun Inez.Bahkan ketiga sahabat pengantin—Alexi, Eric, dan Gwen—ikut hadir meramaikan pesta, meski mereka tak pernah tahu rencana rapi di balik pernikahan dua sejoli yang kerap terlihat seperti kucing dan tikus itu.Di benak masing-masing sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung. Tapi mereka memilih bungkam dan tak ingin ambil pusing mengenai hal itu.Terutama Gwen yang mengetahui segalanya. Dia justru merasa mungkin ini pilihan yang tepat. Jadi Gwen hanya perlu berlega hati akan keputusan yang telah diambil ol
“Aakhh!” Jupiter berteriak ketika melihat dirinya tidak mengenakan apa pun bersama Inez di atas ranjang, pagi harinya, setelah melewati malam menyenangkan.“Jangan berisik!” Inez balas berteriak. “Kau lupa kita sudah menikah?”“Ada sesuatu yang salah, ini tidak benar!” Tidak peduli pada ucapan fakta dari Inez, Jupiter menyibak sedikit selimutnya untuk mencari-cari sesuatu.Mulutnya kembali mengeluarkan teriakan, kali ini karena bercak darah di atas seprei merah muda yang mereka tiduri bersama.“Apa yang telah kulakukan?” Begitu frustrasi, Jupiter menjambak rambutnya berulang kali.“Tentu saja malam pertama suami istri. Apa kau ingin menyangkal dan menjadi korban di sini?” Dengan sikap tidak peduli, Inez mengeluarkan dirinya dari balik selimut, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.“Hei, hei ... apa yang kau lakukan? Pakai bajumu!” teriak Jupiter sembari mengalihkan pandan
Eric terkejut ketika Delila Restaurant miliknya dikunjungi oleh Gwen. Wanita cantik itu ibarat tamu istimewa untuk Eric.“Hei, Gwen,” sapa Eric. Sejak insiden keran air di wastafel yang patah, Eric begitu suka jika mereka saling bersentuhan.Bermodal karena persahabatan yang terjalin cukup lama, Eric—akhir-akhir ini—jika bertemu Gwen, pasti akan memeluk dan mengusap-ngusap punggungnya dengan sayang.Tidak terkecuali sore ini. Gwen hampir kewalahan dan bingung melihat Eric memeluknya dengan erat.“Sahabatku yang paling cantik, kau mau pesan apa?” Eric berbasi-basi, tapi tangannya sudah mengacak rambut Gwen.Separuh dari pengunjung Delila Restaurant, melihat Eric dan Gwen yang bertingkah layaknya pasangan tengah di mabuk asmara.Siapa yang akan percaya bahwa mereka hanya sahabat lima belas tahun selama ini? Yah, meski ada hal luar biasa lain yang terjadi, baik Eric maupun