Share

AFTER PARTY.

AFTER PARTY.

Dentingan gelas kaca serta suara alunan musik di ruangan besar itu menjadi penanda bahwa pesta telah dimulai. Usai acara fashion show yang dihadiri model-model ternama serta perancang busana dan tamu undangan yang berasal dari kalangan atas, ratusan orang mulai asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berdiri di tengah kegelapan bersama pasangannya, melakukan hal-hal menyenangkan seraya menikmati wine. Ada yang berjingkak-jingkrak menikmati alunan music. Ada pula yang hanya menjadi penonton, memandangi orang-orang itu dengan lesu seolah dunia hampir kiamat. Eva contohnya.

“Eva!” seorang pria meneriakkan namanya. Eva menoleh, mendapati Sean dan kekasihnya di tengah kerumunan orang. Sesekali Stella-kekasih Sean menciumi bibir Sean tanpa  malu. Wanita itu setengah mabuk sehingga tidak memperhatikan orang-orang di sekitarnya. “Kemarilah! Apa yang kau lakukan di sana?” seru Sean penuh empati.

Eva mendengus. Ia sudah mulai bosan dengan acara semacam ini. Satu-satunya yang membuatnya bertahan di sini adalah nama baiknya sebagai model ternama. Jika ia meninggalkan pesta ini, orang-orang akan berpikir ia tidak mau bergaul dengan yang lain. “Nikmati malammu!” Eva mengacungkan jempolnya. Sean balik mengacungkan salah satu jempolnya. Pria itu sedikit kesulitan karena Stella lebih dulu menariknya dan membawa Sean menjauh dari keramaian. Eva tahu betul apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Apalagi memangnya kalau bukan berdansa di atas ranjang?

Tiba-tiba seorang pria duduk di sisinya. Eva sedikit terperanjat karena hal itu. Wanita itu menoleh sekilas pada sang pria lalu kembali memusatkan pandangannya pada ponselnya.

“Selamat malam, Nona.” Sapa pria misterius itu.

“Selamat malam, Tuan.” Sahut Eva ramah. Sebelumnya, ia memang belum pernah bertemu dengan pria ini. Namun Eva yakin betul kalau pria itu adalah salah satu pemilik brand fashion ternama di Paris. Eva pernah melihat wajahnya di salah satu majalah fashion.

“Sendirian?” tanya pria itu lagi. Pria misterius itu memakai setelah hitam yang tampak cocok dengan rambutnya yang juga berwarna hitam. Jas hitam serta celana yang melekat pas di tubuh pria itu menambah kesan maskulin yang tentu saja akan membuat wanita seperti Eva jatuh cinta.

“Temanku baru saja pergi.” Dusta Eva. Ia tidak mungkin membohongi pria itu, pura-pura memiliki teman kencan padahal ia memang sendirian di sana.

“Namaku Gale,” pria misterius itu mengulurkan tangannya. “Dan kau? Kau pasti Eva.”

Eva menerima uluran tangan itu dan menjabatnya untuk beberapa saat. Ia sempat menarik tangannya tetapi Gale justru menggengamnya semakin erat. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Eva berusaha untuk mengabaikan rasa gugupnya.

“Tidak. Siapa pun yang di sini pasti mengenalimu.”

“Kau berlebihan, Mr-“

“Panggil aku Gale.”

“Gale.” Ulang Eva. Pria seusianya seharusnya lebih pantas dipanggil Pak atau Paman. Namun, Gale justru menolaknya. Eva ingin sekali pergi dari hadapan Gale. Ia sangat muak melihat pria itu terus-menerus memandangi dirinya seperti singa kelaparan. Jika sebagian besar wanita seusianya mengincar pria seperti Gale, Eva justru sebaliknya. Ia menghindari pria hidung belang seperti Gale. Eva sadar betul perilaku Gale pasti tidak jauh berbeda dengan pria-pria yang ia temui setiap harinya.

“Begitu lebih baik.” Gale mengulas senyum malaikatnya. Ia menggeser duduknya hingga nyaris mengikis jarak di antara dirinya dan model cantik bernama Eva itu. “Aku tertarik menjadikanmu salah satu modelku. Aku sangat yakin rancangan busana musim panas akan cocok dan menarik jika kau yang memakainya.”

“Untuk yang satu itu,” Eva meneguk wine di gelasnya. “Kau bisa menghubungi managerku langsung.”

“Pasti,” Gale mengambil wine dari tangan Eva. Ia lalu meneguknya hingga tandas. “Tapi, kurasa tidak ada salahnya jika aku memintamu juga untuk bergabung dengan perusahaanku.”

Eva meneguk salivanya kasar. Ia tahu arah pembiacaraan pria itu. Gale berusia sekitar tiga puluh lima atau mungkin empat puluh tahun. Seroang pengusaha sukses di kalangannnya. Dari tampangnya, pria itu memang tidak terlihat seperti pria berusia lanjut. Wajah yang justru tampak lebih mempesona di usianya. Matang dan berpengalaman. Dan yang terpenting, Gale memiliki banyak uang. Wanita mana pun pasti akan dengan senang hari membuka selangkangannya untuk Gale. “Aku tidak tahu apakah aku bisa atau tidak. Hanya managerku yang tahu semua jadwal yang harus kuselesaikan. Jadi maaf aku tidak bisa memastikannya.” Ucap Eva dengan nada dibuat selembut mungkin.

Gale mendekatkan wajahnya ke wajah Eva. Pria itu berniat mencium Eva, itulah yang selalu ia lakukan pada semua model atau aktris yang menurutnya menarik. Dan mereka selalu memberikan kehangatan kepada Gale. Saat ini, yang ia inginkan adalah Eva. Meski usia Eva tidak muda lagi, Gale yakin wanita itu pasti sangat ahli dalam permainan ranjang. “Aku tidak keberatan jika harus menunggu sampai jadwalmu kosong.”

Eva mengangguk takzim. Udara di sekitarnya mulai memanas. Ia tidak suka situasi seperti ini. Jika sudah seperti ini, ia butuh salah satu teman prianya untuk menyelamatkannya. Namun, Eva sama sekali tidak melihat ada pria yang bisa diajak bekerjasama dengannya. Eva menegakkan punggung, “Kau bisa menghubungi manajerku untuk bertanya mengenai semua jadwalku.”

“Akan segera kuurus. Kau mau minum lagi?” tanya Gale seraya menuang segelas wine lagi.

“Tidak,” tolak Eva halus. Minum dengan gelas bekas Gale? Yang benar saja? “Aku tidak terlalu suka minuman beralkohol.”

“Aku justru berpikir sebaliknya. Kupikir kau menghabiskan sisa malam setelah acara seperti ini dengan minum,”

“Tidak juga.” Eva mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Dua pria berbadan mengawasinya dengan tatapan elang. Eva yakin kedua pria itu adalah bodyguard. Entah siapa yang mengajak bodyguard ke acara semacam ini. Di mana kalian? Keluh Eva dalam hati. Ia tidak menemukan satu pun pria yang dikenalintya

“Mencari seseorang?” suara Gale menyadarkan Eva dari fokusnya mencari penyelamat hidup.

“Ya. Aku menunggu temanku. Aku takut dia mencariku,”

“Aku akan menemanimu di sini sampai temanmu itu datang,” Gale merangkul pundak Eva. Sekarang, benar-benar tidak ada jarak di antara keduanya.

“Aku suka aromamu,”

Sungguh bualan yang teramat biasa. Eva bersumpah akan menendang Gale jika ia berani macam-macam. “Parfum yang kupakai bisa dibeli siapa saja.”

“Tidak masalah,” Gale menarik pinggang Eva sehingga dadanya dan dada Eva bertabrakan. Eva geram. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Hanya bisa mendesah pelan dan berdoa semoga seseorang membawanya pergi dari sini.

**

Bruce baru saja ingin melangkahkan kakinya dari gedung megah itu. Namun urung karena ia melihat seseorang yang sangat dikenalinya. Salah satu model yang sejak beberapa saat lalu menarik perhatiannya. Pandangan Bruce terhenti tatkala ia melihat sang model duduk tenang di salah satu kursi di sudut ruangan. Bruce menyuruh dua bodyguardnya untuk menyediakan kursi di meja bartender. Ia duduk di kursi itu, membelakangi sang model yang tampak tengah menunggu seseorang.

“Ada yang datang,” ucap salah satu bodyguardnya.

“Gale Hamilton. Pemilik Gale’s Style.” Bodyguard lain meninmpali.

“Apa yang dia lakukan di sana?” Bruce mengambil sloki dan menuang wine.

“Anda harus melihatnya sendiri.” sahut salah satu bodyguardnya.

“Merayu Nona Eva sepertinya,”

“Terus awasi mereka. Katakan apa saja yang mereka lakukan.”

Lama Bruce mangamati gawainya. Sejak sepuluh tahun terakhir, Eva adalah satu-satunya wanita yang  ia hindari. Bruce masih ingat bagaimana dulu mereka menghabiskan sebagian besar waktu yang mereka miliki untuk sekedar berkeliling kota dan makan es krim di taman. Semua itu terjadi jauh sebelum kenyataan pahit menghantamnya. Dan terpaksa ia harus meninggalkan semua masa-masa indah yang ia dan Eva miliki.

Bruce menahan sesak di dadanya. Sendaianya saja ia punya kesempatan untuk memiliki Eva lagi.

“Sepertinya Gale berniat mencium Nona Eva.” Suara itu berasal dari salah satu bodyguardnya. Punggung Brue menegang seketika. Ia ingin sekali berdiri dan meninju wajah si tua Gale itu.

“Tuan,” Sim, bodyguard yang berdiri di sisi kanannya angkat bicara. “Mungkin anda ingin melihat ini.”

Dan tanpa pikir panjang, Bruce pun berbalik. Ia mendapati Gale memeluk Eva. Saat itu juga emosinya meluap. Bruce berdiri dan berjalan mendekati mereka. sepertinya Eva tidak melihat kehadirannya. Bisa ia lihat jika sebenarnya Eva sama sekali tidak nyaman dengan posisi mereka. Kedua tangan Bruce mengepal di sisi tubuhnya. Langkahnya semakin cepat dan napasnya juga semakin memburu.

Saat tiba di sofa empuk itu, Bruce segera mendaratkan pantatnya di sisi Eva. Baik Eva maupun Gale terkejut dengan kehadirannya. “Masih menungguku?” Tanya Bruce pada Eva. Wanita itu menatapnya heran, Bruce menarik pinggangnya sebelum Eva berhasil melontarkan protes. “Aku menunggumu di luar. Kupikir kau menyusulku.”

Eva mencoba memahami situasi mereka. Mungkin inilah saat yang tepat untuk kabur dari si tua Gale. “Maaf, aku menunggu Stella dan Sean. Mereka mengatakan akan pulang dengan kita.”

“Mungkin sebaiknya kita menunggu di mobil saja.” Sahut Bruce.

“Ide bagus.” Eva tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang berjejer rapi.

Melihat itu, hati Bruce seketika menghangat. Ia lupa kapan terakhir kali ia melihat senyum indah itu. Senyuman yang berhasil mencuri perhatiannya bahkan sejak mereka masih sama-sama memakai popok.

Gale menatap keduanya dengan kesal. Untuk pertama kalinya, misinya mendapatkan gadis incarannya justru digagalkan oleh pria muda seperti Bruce.

“Maaf, Gale. Aku harus pergi. Aku dan kekasihku harus pulang sekarang.” Pamit Eva seraya beranjak dari duduknya.

Bruce memeluk pinggang Eva, mereka berjalan beriringan melewati kerumunan orang yang masih asyik dengan pesta itu. Sesekali Bruce melirik Eva yang tampak sangat menikmati pesta ini. Hingga beberapa saat kemudian, kerumunan paparazzi mulai mendekati mereka dan mengambil fotonya dan Eva.

“Sial!” umpat Eva pelan.

“Jaga bicaramu, Nona.”

“Aku tidak butuh nasihatmu, Tuan.”

Bruce tahu betul apa yang membuat Eva mengumpat. Public figure seperti Eva pasti menjadi incaran empuk para paparazzi. “Memang. Tapi aku yakin kau membutuhkanku untuk kabur dari sini.”

Eva tersenyum miring. “Huh, percaya diri sekali.”

Kerumunan paparazzi itu semakin gencar mengambil gambar mereka. Bukan hanya Eva, Bruce pun mulai risih dengan kehadiran mereka. “Kalau begitu, akan pergi dengan orang-orangku. Kau bisa tinggal di sini kalau kau mau.” Bruce nyaris melepaskan pinggang Eva. Namun dengan  cepat, Eva menahannya seraya tersenyum manis, senyum palsu.

“Jangan tinggalkan aku!” ucap Eva penuh penekanan.

Dalam hati, Bruce bersorak gembira mendengar permintaan Eva. Tidak sia-sia ia menghadiri acara membosankan ini kalau akhirnya ia bisa bertemu dengan manusia yang paling ia inginkan itu. “Mana mungkin aku meninggalkanmu, Peri cantik.”

Eva memutar bola matanya. Astaga! Tidak tahukah Bruce kalau sekarang mereka sudah beranjak dewasa? Bukan  lagi anak-anak yang gemar mempermainkan permainan peri dan pangeran yang dulu menjadi kegemaran  mereka?

Dulu sekali…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status