Share

A STUPID BRUCE.

A STUPID BRUCE.

BRUCE dan Delta melangkah melewati bingkai pintu. Keduanya berjalan dengan sedikit tergesa, mereka nyaris menabrak orang-orang yang hendak masuk dan keluar dari club malam sialan itu. Bruce berkali-kali menggerutu saat sepasang kekasih tidak sengaja menyenggol bahunya. Jika bukan karena Eva, ia mungkin tidak akan mau membawa dirinya masuk ke tempat seperti ini. Bukannya ia membenci kebisingan yang disebabkan oleh musik yang menggema di seluruh ruangan, ia hanya tidak suka bau alkohol, rokok, musik yang terlalu keras dan seksualitas. Yang artinya Bruce memang membenci semua itu. Hanya saja, ia tidak mau mengungkapkan hal tersebut kepada siapa pun. Termasuk Delta yang kini berhenti dan memindai ke seluruh ruangan, mencari Si Kembar.

“Aku tidak bisa melihat mereka dari sini. Di mana mereka sebenarnya?” gerutu Delta pada Bruce.

Bruce berdeham singkat. “Sama, aku juga.”

Mendengar ucapannya, Delta mulai bereaksi. “Kau sedang tidak berbohong padaku, bukan?”

Bruce menggeleng dengan cepat, layaknya seorang anak kecil yang menjawab pertanyaan ibunya tanpa dosa. “Tidak.”

Delta mendengus cukup keras. “Di mana kau!” katanya lebih kepada diri sendiri.

“Kau?” ulang Bruce pura-pura tidak tahu apa yang saat ini tengah dipikirkan oleh Delta. “Kita sedang mencari mereka. Kuharap kau tidak melupakan bagian yang itu.”

“Sama sekali tidak.” jawab Delta sinis. Ia sedang tidak ingin berdebat denga Bruce meskipun ia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu. “Ayo kita cari mereka lebih dalam.”

Keduanya lalu membawa kaki mereka meleati lorong demi lorong. Mengabaikan meja bartender yang hanya diisi beberapa orang. Untuk laki-laki brengsek seperti Delta, mudah saja baginya untuk bertemu dengan orang-orang yang dikenalinya dan menanyakan tentang Eva dan Ava. Delta tidak menyebutkan apa baju yang mereka pakai, tetapi ia merasa kata-kata sepasang gadis kembar sudah cukup untuk menggambarkan siapa yang mereka cari.

Lima belas menit berlalu, pencarian mereka tidak ada hasilnya. Bruce dan Delta mulai kesal. Mereka merasa dipermainkan oleh seseorang. Mencari sepasang gadis kembar di tengah lautan manusia bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, bukan?  Delta berhenti di sebuah sudut yang nyaris tidak dilalui oleh siapa pun. Mengamati sekali lagi sebelum akhirnya mendesah pelan. “Aku tidak bisa menemukannya.”

“Mereka.” ralat Bruce. Sama seperti Delta, ia juga hanya fokus pada Eva, tetapi ia tidak mau terlihat sejelas itu oleh temannya.

“Ya. Mereka.” sahut Delta seraya memutar bola mata. “Mungkin mereka berada di salah satu ruangan vvip dan yah, kita berdua tidak bisa memeriksa satu per satu. Itu… cukup menegangkan dan kuharap kau tidak akan melakukan hal itu. Apa kaau mengerti apa yang kukatakan, Bruce?” tanya Delta takut kalau-kalau Bruce menghambur untuk memeriksa satu per satu ruangan yang seharusnya tidak dibuka.

Bruce mendengus. “Aku tahu dan aku tidak akan membuat kekacauan di sini.” ia lalu bersandar di tembok, mengamati ke segala sisi. Diikuti Delta.

Lama mereka berdiam. Masih memantau keadaan sekitar seraya menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing. Bruce tengah memikirkan Eva dan tentu saja ia tahu apa yang saat ini ada di kepala Delta. Sayangnya, ia tidak ingin berbagi informasi tersebut dengan siapa pun. Termasuk kalian yang saat ini tengah membaca kisah ini.

Bruce masih tidak percaya, setelah perbincangannya dengan Eva yang terasa sehangat susu di pagi hari, ia kembali mendapati Eva menghindar darinya. Ia kembali diacuhkan gadis itu. Dalam benaknya, ia mulai memikirkan seandainya saja dulu ia tidak melukai Eva, mungkin saat ini mereka masih bersama. Dengan semua pemikiran-pemikiran itu, tiba-tiba terbesit di benaknya; seandainya saja ia bisa memutar waktu. Atau seandainya saja ia punya mesin waktu. Mungkin ia akan kembali ke masa lalu dan tidak bertindak begitu bodohnya. Atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bukannya membiarkan kekeliruan terus menggantung di antara mereka selama sepuluh tahun terakhir.

“Apa yang kau pikirkan?”  di sisinya, tiba-tiba Delta bertanya.

“Tidak ada.”

“Tidakkah kau merasa kita berdua rumit?”

Bruce mengangkat sebelah alisnya. “Sama sekali tidak. Di sini, hanya aku yang rumit sementara kau sama sekali tidak rumit.”

“Itukah yang kaupikirkan?”

“Kau tahu apa yang terjadi padaku, Delta Montano.”

“Dan menurutmu tidak ada yang pernah terjadi padaku, Bruce Smith?” tanya Delta dengan dagu terangkat tinggi.

Baik. Pembicaraan ini tidak seharusnya terjadi. Bruce dan Delta punya masalah masing-masing yang harus mereka hadapi. Dan saat ini, yang dibutuhkan dari keduanya hanyalah kerjasama yang solid untuk menemukan Ava dan Eva. Karena jika hal itu tidak terjadi, mereka sama-sama tidak tahu apakah sisa pagi ini keduanya bisa benar-benar memejamkan mata. Bruce sudah pasti tidak. Tapi dengan Delta, mungkin pria itu bisa melakukannya dengan mudah. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Bruce dengan nada murung.

“Aku akan menunggu di sini, sampai salah satu di antara mereka muncul. Kalau kau berniat untuk pulang, pergilah sebelum terlambat.”

“Aku juga akan tinggal.” Sahut Bruce dengan suara tegas.

“Kalau begitu, sebaiknya kita menunggu di,” Delta melongok melewati kepala Bruce. “meja bartender.”

“Ide bagus.” Sahut Bruce tanpa basa-basi. Setidaknya, dalam suasana seperti sekarang, ia punya seorang teman yang bernasib sama. Tempat itu jauh lebih sepi di banding saat pertama kali mereka masuk. Bruce memilih salah satu kursi kosong di antara sekian banyak kursi tak berpenghuni. Ia duduk di sana, tanpa melakukan sesuatu. Hanya duduk seperti orang bodoh.

Delta menatapnya dengan tatapan pilu. “Astaga, Smith. Kau benar-benar membuatku malu.”

Bruce menelengkan kepala, sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Delta. “Malu?” ulangnya.

“Kau hanya duduk di sana seperti idiot yang tidak pernah masuk ke sebuah club malam mahal. Duduk. Hanya duduk.”

“Apa ada yang salah dengan caraku duduk? Dan aku sama sekali tidak memalukan!”

“Ya. Kau sangat memalukan.” Delta memutar bola matanya. Ia lalu memanggil bartender dan memesan dua minuman. Dua anggur paling enak yang pernah disajikan di sana. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangannya pada Bruce. “Nah, begitu cara kerjanya. Duduk, panggil pria yang berdiri di sana dan pesan minuman.” Katanya memberi instruksi pada Bruce. “Dasar pria kuno!” gerutu Delta. “Kau sama sekali tidak berubah. Jangan terus-menerus bersembunyi di pulau sialan itu kalau kau tidak mau ketinggalan jaman dan semakin kuno!” tambahnya.

Bruce melipat kedua tangan di depan dada, hendak melempar sindiran sarkastik kepada Delta. Namun, ia urung melakukannya. Sepanjang hidupnya, Bruce sudah terlalu sering mendengar sindiran dari Montano bersaudara. Ia sudah kekal dengan semua itu. Jadi, dia hanya duduk di sana. Menatap Delta dengan tatapan Elang hingga membuat pria itu salah tingkah.

“Baiklah. Kau tidak kuno.” Delta mengangkat kedua tangannya. “Dan jangan tatap aku seperti itu.” ucap pria itu lagi.

Lima menit berselang, Bruce masih terdiam, mengetuk-etukkan telunjuk di atas meja. Seorang pria datang dengan membawa dua gelas minuman pesanan Bruce dan Delta. Pria itu memberi mereka anggur terbaik dan langsung berbalik setelah tugasnya selesai. Di sisinya, Delta langsung berkata, “Minumlah.”

Bruce menggeleng. “Tidak. Aku tidak haus…” katanya dengan nada frustasi di dalamnya.

“Aku tahu kau tidak haus, Bruce. Tapi tolong, untuk sekali ini saja. Jangan membuatku malu.”

Helaan napas kasar terdengar saat Bruce kembali menatap Delta. Ia sama sekali tidak butuh anggur. Satu-satunya yang ia butuhkan saat ini adalah melihat keberadaan Eva. Itu saja. Tidak lebih. “Nikmati minumanmu dan jangan pedulikan aku.”

“Baiklah. Terserah kau saja.” Sahut Delta lalu menyesap anggurnya. Mereka kembali terdiam, Delta melihat sang bartender tidak melakukan apa-apa karena tidak ada pelanggan yang harus dilayani. Ia memanggil pria itu untuk mendekat. “Hay, Bung. Kemarilah!” katanya pelan.

Pria itu mendongak dari ponselnya dan berjalan menghampiri Delta. “Ada yang bisa kubantu?”

Delta mengangguk. “Apa kau melihat seorang gadis masuk kemari sendirian dan bertemu dengan teman-temannya di sini?” Ia melempar pandangan kea rah Bruce. “Bruce, apa yang Eva pakai malam ini?”

“Gaun merah menyala, berlian di lehernya dan sepatu hak tinggi. Kurang lebih itulah yang kulihat.” Jelas Bruce singkat. Bruce ingin mendeskripsikan penampilan Eva malam ini. Dengan bahu terbuka, kulit bak sutra yang pasti sangat lembut hingga membuatnya nyaris meletakkan kedua tangan di sana dan membelainya. Bibir sensual yang selalu mengucapkan kata-kata pedas, serta aroma khas parfum Chanel seharga 5.000 dollar. Namun, ia tidak akan melakukan hal bodoh itu karena tidak mau Eva menjadi objek fantasi bagi kedua pria yang saat ini tengah memandanginya.

“Eva?” tanya sang bartender dengan suara lirih.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Delta dan Bruce secara bersamaan.

Bartender itu tertawa kaku. “Astaga, tentu saja aku mengenalnya. Selain menjadi model yang nyaris dikenal oleh sebagian masyarakat, Eva juga salah satu pelanggan tetap di sini. Dia sering datang kemari bersama teman-temannya. Aku sangat mengenalnya.”

“Oh…” Bruce dan Delta lagi-lagi berkata secara bersamaan.

Bartender tersebut tidak membuka mulutnya lagi ketika Bruce dan Delta tidak bertanya. Ia hanya berdiri di sana, menunggu pertanyaan selanjutnya.

“Apa dia datang bersama gadis yang memiliki wajah serupa dengannya? Maksudku… kembarannya?” tanya Delta hati-hati.

Bartender itu menggeleng. “Dia datang seorang diri. Lalu ada laki-laki yang mengajaknya berbincang. Aku baru pertama kali melihat laki-laki itu datang kemari dan mereka pergi bersama setelah bercakap-cakap selama kurang lebih sepuluh menit.” Jelasnya.

“Eva benar-benar sendirian? Maksudku tidak ada…” Sekilas terbesit kelegaan yang cukup besar di manik mata Delta. Bruce dan bartender muda itu melihatnya dengan jelas.

“Tidak ada. Hanya Eva.” Sahut sang bartender.

Delta merasa introgasinya selesai saat itu juga. Ia tidak bisa menanyai siapa laki-laki yang bersama Eva karena pria itu baru datang ke club itu pertama kali dan kemungkinan bartender muda itu tidak mengenalnya. Jadi, ia mengeluarkan dompet dari saku  celananya dan memberikan beberapa lembar uang kepada pria muda itu lalu mengucapkan terima kasih.

Bartender itu berbalik setelah mengucapkan, “Sama-sama.”

Delta mengambil napas panjang dan mengembuskannya. “Kurasa, Eva berbohong.” Katanya pada Bruce. “Dia kemari untuk menghindarimu dan pergi dengan laki-laki lain. Maaf, kawan. Kurasa aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Aku pun tidak tahu siapa laki-laki yang saat ini bersama Eva. Dan… pencarianku selesai.” katanya sambil meringis.

Bruce nyaris melempar tinjunya kepada Delta. Sialan! Semula ia berpikir kalau posisi keduanya sama. Namun ternyata ia tidak seberuntung Delta, Eva pergi ke tempat itu sendirian. Tanpa saudara kembarnya. Dan ini adalah berita buruk ke sekian yang harus ia terima selama sepekan ini. Tidak bisakah ia mendapatkan sesuatu yang lebih baik agar akhir pekannya tidak berakhir seburuk ini?

“Bruce, aku tahu kau kecewa. Tapi, tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Bagaimana kalau kita pulang dan bergegas pergi tidur? Kurasa kau sudah sangat kelelahan hari ini.” Delta menepuk bahunya singkat. Pria itu benar, yang mereka butuhkan saat ini adalah tidur. Karena percuma saja jika mereka berada di sana sampai club itu tutup. Eva tidak akan kembali.

Yang Bruce lakukan selanjutnya adalah turun dari kursinya lalu berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti Delta. Hari ini Bruce memang menyerah, tetapi esok ia akan kembali mengejar Eva. Tidak ada kata terlambat untuknya, terlebih untuk gadis yang dulu selalu berlari ke arahnya saat dunia gadis itu tidak seperti yang diharapkannya. Bruce bertekad akan membuat Eva kembali berlari ke pelukannya kelak. Itu adalah janji. Janji yang ia ucapkan untuk dirinya sendiri.

**

Alex berjalan perlahan dengan membawa seorang gadis yang baru saja ditemuinya menuju sebuah Ferrari berwarna hitam metalik yang tengah terparkir rapi di basement club. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan gadis itu di dalam club. Eva tampak lelah dan mengantuk. Itulah kesan pertama yang ia lihat dari pertemuan mereka. Meski begitu, Alex sama sekali tidak keberatan jika harus mengantar Eva pulang. Namun sebelum itu, ia harus menghubungi Delta dan Volta yang sudah membawanya ke tempat itu. Kedua sepupunya itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan kesabaran. Mereka berdua lah yang merencanakan untuk pergi ke club setelah jamuan makan malam bersama klien. Dan sekarang, keduanya meninggalkan Alex dan membiarkannya terdampar di sebuah tempat yang belum pernah didatanginya.

Begitu sampai di dekat mobilnya, Alex segera melepas tangan Eva dan membuka pintu untuk wanita itu. “Silakan.” Katanya lembut. Setelah melihat Eva masuk, Alex kembali menutup pintu mobil dan mengitari setengah mobilnya lalu masuk ke kursi kemudi.

“Terima kasih, Alex. Kau tidak perlu memperlakukanku seperti itu.” goda Eva.

Alex terkekeh geli, “Kuharap kau tidak tersinggung. Tapi kukira itulah yang dilakukan kebanyakan pemuda di kota ini.”

“Tidak semua.” Sahut Eva dengan nada tak kalah ringan. “Tapi mungkin ada beberapa.”

“Oh, syukurlah kalau begitu. Aku sempat berpikir kalau tingkahku bisa saja membuatmu jijik.”

“Tidak, tidak. Sama sekali tidak.” Eva menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Alex lekat-lekat. “Kau tidak berasal dari kota ini.”  Tanyanya.

Alex menggeleng seraya tersenyum tipis. “Tidak. Apa ada yang salah dari diriku?”

Eva ikut menggeleng. “Tidak juga. Kukira kau penduduk asli sini.”

“Aku kemari karena ada pekerjaan yang harus kuurus. Dan kebetulan dua sepupuku juga ada di sini. Kami bertemu dan mereka mengajakku pergi ke club. Tapi, seperti yang kaulihat, mereka entah pergi kemana. Meninggalkanku sendirian.” Katanya sambil terkekeh. Alex bisa melihat dengan jelas ekspresi kasihan dari sorot mata Eva. Jadi, ia menambahkan, “Oh, ayolah. Jangan menatapku seperti itu. Aku baik-baik saja. Percayalah.”

Eva tidak bisa menahan tawanya. “Tidak, tidak. Aku hanya tidak habis pikir pada kedua sepupumu. Mereka keterlaluan.” Komentarnya.

Alex mengedikkan bahu, acuh. “Begitulah. Tapi bagaimana pun mereka, keduanya adalah sepupu terbaik yang pernah kumiliki. Ngomong-ngomong, bolehkan aku menghubungi mereka sebelum mengantarmu?”

“Kau tidak perlu meminta ijin padaku.”

“Baiklah, tunggu sebentar. Aku hanya akan mengatakan kepada mereka kalau aku sudah dalam perjalanan pulang.” Katanya demi norma kesopanan. Setelah melihat Eva mengangguk dan bersandar nyaman di kursinya, Alex segera mencari nomor Delta dan menghubungi pria itu, tetapi tidak ada jawaban. Ia lalu beralih ke nomor Volta, tetap tidak ada jawaban. Tidak puas hanya dengan melakukan tiga kali panggilan, ia mencoba lagi dan lagi. Sampai akhirnya ia menyerah dan berpaling menghadap Eva. Dan… betapa terkejutnya dia mendapati gadis itu sudah tertidur pulas. Alex hanya bisa melongo, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Selama sesaat, ia hanya memandangi wajah Eva yang sepertinya tidak asing untuknya. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkannya pada seseorang, entah siapa. Alex mencoba mengingat-ingat apa pun yang dilihatnya dari Eva, tetapi tidak menemukan sesuatu. Akhirnya ia menyerah. Ia menyentuh bahu Eva, mencoba membangunkan gadis itu dan bertanya kemana ia harus mengantarnya pulang. Namun, saat tidak Eva respon apa pun dari gadis itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia membawa mobilnya keluar dari kawasan club. Sambil menyetir, ia akan memikirkan kemana ia harus mengantar gadis itu. Tidak ada tas, ponsel atau petunjuk lain yang memberinya petunjuk tentang tempat tinggal Eva. Alex melirik Eva sekilas dan terpesona…

Astaga… apa-apaan ini? Ia bukan lagi pemuda yang bisa dengan mudahnya jatuh hati pada gadis yang baru ditemuinya. Kau pria dewasa. Ingat itu, Alex.

Alex mengambil napas sekali dan mengembuskannya. Baiklah, ia akan membawa Eva ke hotelnya. Dan pagi ini, sepertinya ia harus rela memberikan ranjangnya dengan gadis yang baru saja ditemuinya. Atau setidaknya mereka mungkin bisa berbagi ranjang?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Frisca Tjia
wah...Alex saudara tiri Eva ya sepertinya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status