A STUPID BRUCE.
BRUCE dan Delta melangkah melewati bingkai pintu. Keduanya berjalan dengan sedikit tergesa, mereka nyaris menabrak orang-orang yang hendak masuk dan keluar dari club malam sialan itu. Bruce berkali-kali menggerutu saat sepasang kekasih tidak sengaja menyenggol bahunya. Jika bukan karena Eva, ia mungkin tidak akan mau membawa dirinya masuk ke tempat seperti ini. Bukannya ia membenci kebisingan yang disebabkan oleh musik yang menggema di seluruh ruangan, ia hanya tidak suka bau alkohol, rokok, musik yang terlalu keras dan seksualitas. Yang artinya Bruce memang membenci semua itu. Hanya saja, ia tidak mau mengungkapkan hal tersebut kepada siapa pun. Termasuk Delta yang kini berhenti dan memindai ke seluruh ruangan, mencari Si Kembar.
“Aku tidak bisa melihat mereka dari sini. Di mana mereka sebenarnya?” gerutu Delta pada Bruce.
Bruce berdeham singkat. “Sama, aku juga.”
Mendengar ucapannya, Delta mulai bereaksi. “Kau sedang tidak berbohong padaku, bukan?”
Bruce menggeleng dengan cepat, layaknya seorang anak kecil yang menjawab pertanyaan ibunya tanpa dosa. “Tidak.”
Delta mendengus cukup keras. “Di mana kau!” katanya lebih kepada diri sendiri.
“Kau?” ulang Bruce pura-pura tidak tahu apa yang saat ini tengah dipikirkan oleh Delta. “Kita sedang mencari mereka. Kuharap kau tidak melupakan bagian yang itu.”
“Sama sekali tidak.” jawab Delta sinis. Ia sedang tidak ingin berdebat denga Bruce meskipun ia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu. “Ayo kita cari mereka lebih dalam.”
Keduanya lalu membawa kaki mereka meleati lorong demi lorong. Mengabaikan meja bartender yang hanya diisi beberapa orang. Untuk laki-laki brengsek seperti Delta, mudah saja baginya untuk bertemu dengan orang-orang yang dikenalinya dan menanyakan tentang Eva dan Ava. Delta tidak menyebutkan apa baju yang mereka pakai, tetapi ia merasa kata-kata sepasang gadis kembar sudah cukup untuk menggambarkan siapa yang mereka cari.
Lima belas menit berlalu, pencarian mereka tidak ada hasilnya. Bruce dan Delta mulai kesal. Mereka merasa dipermainkan oleh seseorang. Mencari sepasang gadis kembar di tengah lautan manusia bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, bukan? Delta berhenti di sebuah sudut yang nyaris tidak dilalui oleh siapa pun. Mengamati sekali lagi sebelum akhirnya mendesah pelan. “Aku tidak bisa menemukannya.”
“Mereka.” ralat Bruce. Sama seperti Delta, ia juga hanya fokus pada Eva, tetapi ia tidak mau terlihat sejelas itu oleh temannya.
“Ya. Mereka.” sahut Delta seraya memutar bola mata. “Mungkin mereka berada di salah satu ruangan vvip dan yah, kita berdua tidak bisa memeriksa satu per satu. Itu… cukup menegangkan dan kuharap kau tidak akan melakukan hal itu. Apa kaau mengerti apa yang kukatakan, Bruce?” tanya Delta takut kalau-kalau Bruce menghambur untuk memeriksa satu per satu ruangan yang seharusnya tidak dibuka.
Bruce mendengus. “Aku tahu dan aku tidak akan membuat kekacauan di sini.” ia lalu bersandar di tembok, mengamati ke segala sisi. Diikuti Delta.
Lama mereka berdiam. Masih memantau keadaan sekitar seraya menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing. Bruce tengah memikirkan Eva dan tentu saja ia tahu apa yang saat ini ada di kepala Delta. Sayangnya, ia tidak ingin berbagi informasi tersebut dengan siapa pun. Termasuk kalian yang saat ini tengah membaca kisah ini.
Bruce masih tidak percaya, setelah perbincangannya dengan Eva yang terasa sehangat susu di pagi hari, ia kembali mendapati Eva menghindar darinya. Ia kembali diacuhkan gadis itu. Dalam benaknya, ia mulai memikirkan seandainya saja dulu ia tidak melukai Eva, mungkin saat ini mereka masih bersama. Dengan semua pemikiran-pemikiran itu, tiba-tiba terbesit di benaknya; seandainya saja ia bisa memutar waktu. Atau seandainya saja ia punya mesin waktu. Mungkin ia akan kembali ke masa lalu dan tidak bertindak begitu bodohnya. Atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bukannya membiarkan kekeliruan terus menggantung di antara mereka selama sepuluh tahun terakhir.
“Apa yang kau pikirkan?” di sisinya, tiba-tiba Delta bertanya.
“Tidak ada.”
“Tidakkah kau merasa kita berdua rumit?”
Bruce mengangkat sebelah alisnya. “Sama sekali tidak. Di sini, hanya aku yang rumit sementara kau sama sekali tidak rumit.”
“Itukah yang kaupikirkan?”
“Kau tahu apa yang terjadi padaku, Delta Montano.”
“Dan menurutmu tidak ada yang pernah terjadi padaku, Bruce Smith?” tanya Delta dengan dagu terangkat tinggi.
Baik. Pembicaraan ini tidak seharusnya terjadi. Bruce dan Delta punya masalah masing-masing yang harus mereka hadapi. Dan saat ini, yang dibutuhkan dari keduanya hanyalah kerjasama yang solid untuk menemukan Ava dan Eva. Karena jika hal itu tidak terjadi, mereka sama-sama tidak tahu apakah sisa pagi ini keduanya bisa benar-benar memejamkan mata. Bruce sudah pasti tidak. Tapi dengan Delta, mungkin pria itu bisa melakukannya dengan mudah. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Bruce dengan nada murung.
“Aku akan menunggu di sini, sampai salah satu di antara mereka muncul. Kalau kau berniat untuk pulang, pergilah sebelum terlambat.”
“Aku juga akan tinggal.” Sahut Bruce dengan suara tegas.
“Kalau begitu, sebaiknya kita menunggu di,” Delta melongok melewati kepala Bruce. “meja bartender.”
“Ide bagus.” Sahut Bruce tanpa basa-basi. Setidaknya, dalam suasana seperti sekarang, ia punya seorang teman yang bernasib sama. Tempat itu jauh lebih sepi di banding saat pertama kali mereka masuk. Bruce memilih salah satu kursi kosong di antara sekian banyak kursi tak berpenghuni. Ia duduk di sana, tanpa melakukan sesuatu. Hanya duduk seperti orang bodoh.
Delta menatapnya dengan tatapan pilu. “Astaga, Smith. Kau benar-benar membuatku malu.”
Bruce menelengkan kepala, sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Delta. “Malu?” ulangnya.
“Kau hanya duduk di sana seperti idiot yang tidak pernah masuk ke sebuah club malam mahal. Duduk. Hanya duduk.”
“Apa ada yang salah dengan caraku duduk? Dan aku sama sekali tidak memalukan!”
“Ya. Kau sangat memalukan.” Delta memutar bola matanya. Ia lalu memanggil bartender dan memesan dua minuman. Dua anggur paling enak yang pernah disajikan di sana. Setelah itu, ia kembali mengalihkan pandangannya pada Bruce. “Nah, begitu cara kerjanya. Duduk, panggil pria yang berdiri di sana dan pesan minuman.” Katanya memberi instruksi pada Bruce. “Dasar pria kuno!” gerutu Delta. “Kau sama sekali tidak berubah. Jangan terus-menerus bersembunyi di pulau sialan itu kalau kau tidak mau ketinggalan jaman dan semakin kuno!” tambahnya.
Bruce melipat kedua tangan di depan dada, hendak melempar sindiran sarkastik kepada Delta. Namun, ia urung melakukannya. Sepanjang hidupnya, Bruce sudah terlalu sering mendengar sindiran dari Montano bersaudara. Ia sudah kekal dengan semua itu. Jadi, dia hanya duduk di sana. Menatap Delta dengan tatapan Elang hingga membuat pria itu salah tingkah.
“Baiklah. Kau tidak kuno.” Delta mengangkat kedua tangannya. “Dan jangan tatap aku seperti itu.” ucap pria itu lagi.
Lima menit berselang, Bruce masih terdiam, mengetuk-etukkan telunjuk di atas meja. Seorang pria datang dengan membawa dua gelas minuman pesanan Bruce dan Delta. Pria itu memberi mereka anggur terbaik dan langsung berbalik setelah tugasnya selesai. Di sisinya, Delta langsung berkata, “Minumlah.”
Bruce menggeleng. “Tidak. Aku tidak haus…” katanya dengan nada frustasi di dalamnya.
“Aku tahu kau tidak haus, Bruce. Tapi tolong, untuk sekali ini saja. Jangan membuatku malu.”
Helaan napas kasar terdengar saat Bruce kembali menatap Delta. Ia sama sekali tidak butuh anggur. Satu-satunya yang ia butuhkan saat ini adalah melihat keberadaan Eva. Itu saja. Tidak lebih. “Nikmati minumanmu dan jangan pedulikan aku.”
“Baiklah. Terserah kau saja.” Sahut Delta lalu menyesap anggurnya. Mereka kembali terdiam, Delta melihat sang bartender tidak melakukan apa-apa karena tidak ada pelanggan yang harus dilayani. Ia memanggil pria itu untuk mendekat. “Hay, Bung. Kemarilah!” katanya pelan.
Pria itu mendongak dari ponselnya dan berjalan menghampiri Delta. “Ada yang bisa kubantu?”
Delta mengangguk. “Apa kau melihat seorang gadis masuk kemari sendirian dan bertemu dengan teman-temannya di sini?” Ia melempar pandangan kea rah Bruce. “Bruce, apa yang Eva pakai malam ini?”
“Gaun merah menyala, berlian di lehernya dan sepatu hak tinggi. Kurang lebih itulah yang kulihat.” Jelas Bruce singkat. Bruce ingin mendeskripsikan penampilan Eva malam ini. Dengan bahu terbuka, kulit bak sutra yang pasti sangat lembut hingga membuatnya nyaris meletakkan kedua tangan di sana dan membelainya. Bibir sensual yang selalu mengucapkan kata-kata pedas, serta aroma khas parfum Chanel seharga 5.000 dollar. Namun, ia tidak akan melakukan hal bodoh itu karena tidak mau Eva menjadi objek fantasi bagi kedua pria yang saat ini tengah memandanginya.
“Eva?” tanya sang bartender dengan suara lirih.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Delta dan Bruce secara bersamaan.
Bartender itu tertawa kaku. “Astaga, tentu saja aku mengenalnya. Selain menjadi model yang nyaris dikenal oleh sebagian masyarakat, Eva juga salah satu pelanggan tetap di sini. Dia sering datang kemari bersama teman-temannya. Aku sangat mengenalnya.”
“Oh…” Bruce dan Delta lagi-lagi berkata secara bersamaan.
Bartender tersebut tidak membuka mulutnya lagi ketika Bruce dan Delta tidak bertanya. Ia hanya berdiri di sana, menunggu pertanyaan selanjutnya.
“Apa dia datang bersama gadis yang memiliki wajah serupa dengannya? Maksudku… kembarannya?” tanya Delta hati-hati.
Bartender itu menggeleng. “Dia datang seorang diri. Lalu ada laki-laki yang mengajaknya berbincang. Aku baru pertama kali melihat laki-laki itu datang kemari dan mereka pergi bersama setelah bercakap-cakap selama kurang lebih sepuluh menit.” Jelasnya.
“Eva benar-benar sendirian? Maksudku tidak ada…” Sekilas terbesit kelegaan yang cukup besar di manik mata Delta. Bruce dan bartender muda itu melihatnya dengan jelas.
“Tidak ada. Hanya Eva.” Sahut sang bartender.
Delta merasa introgasinya selesai saat itu juga. Ia tidak bisa menanyai siapa laki-laki yang bersama Eva karena pria itu baru datang ke club itu pertama kali dan kemungkinan bartender muda itu tidak mengenalnya. Jadi, ia mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan beberapa lembar uang kepada pria muda itu lalu mengucapkan terima kasih.
Bartender itu berbalik setelah mengucapkan, “Sama-sama.”
Delta mengambil napas panjang dan mengembuskannya. “Kurasa, Eva berbohong.” Katanya pada Bruce. “Dia kemari untuk menghindarimu dan pergi dengan laki-laki lain. Maaf, kawan. Kurasa aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Aku pun tidak tahu siapa laki-laki yang saat ini bersama Eva. Dan… pencarianku selesai.” katanya sambil meringis.
Bruce nyaris melempar tinjunya kepada Delta. Sialan! Semula ia berpikir kalau posisi keduanya sama. Namun ternyata ia tidak seberuntung Delta, Eva pergi ke tempat itu sendirian. Tanpa saudara kembarnya. Dan ini adalah berita buruk ke sekian yang harus ia terima selama sepekan ini. Tidak bisakah ia mendapatkan sesuatu yang lebih baik agar akhir pekannya tidak berakhir seburuk ini?
“Bruce, aku tahu kau kecewa. Tapi, tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Bagaimana kalau kita pulang dan bergegas pergi tidur? Kurasa kau sudah sangat kelelahan hari ini.” Delta menepuk bahunya singkat. Pria itu benar, yang mereka butuhkan saat ini adalah tidur. Karena percuma saja jika mereka berada di sana sampai club itu tutup. Eva tidak akan kembali.
Yang Bruce lakukan selanjutnya adalah turun dari kursinya lalu berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti Delta. Hari ini Bruce memang menyerah, tetapi esok ia akan kembali mengejar Eva. Tidak ada kata terlambat untuknya, terlebih untuk gadis yang dulu selalu berlari ke arahnya saat dunia gadis itu tidak seperti yang diharapkannya. Bruce bertekad akan membuat Eva kembali berlari ke pelukannya kelak. Itu adalah janji. Janji yang ia ucapkan untuk dirinya sendiri.
**
Alex berjalan perlahan dengan membawa seorang gadis yang baru saja ditemuinya menuju sebuah Ferrari berwarna hitam metalik yang tengah terparkir rapi di basement club. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan gadis itu di dalam club. Eva tampak lelah dan mengantuk. Itulah kesan pertama yang ia lihat dari pertemuan mereka. Meski begitu, Alex sama sekali tidak keberatan jika harus mengantar Eva pulang. Namun sebelum itu, ia harus menghubungi Delta dan Volta yang sudah membawanya ke tempat itu. Kedua sepupunya itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan kesabaran. Mereka berdua lah yang merencanakan untuk pergi ke club setelah jamuan makan malam bersama klien. Dan sekarang, keduanya meninggalkan Alex dan membiarkannya terdampar di sebuah tempat yang belum pernah didatanginya.
Begitu sampai di dekat mobilnya, Alex segera melepas tangan Eva dan membuka pintu untuk wanita itu. “Silakan.” Katanya lembut. Setelah melihat Eva masuk, Alex kembali menutup pintu mobil dan mengitari setengah mobilnya lalu masuk ke kursi kemudi.
“Terima kasih, Alex. Kau tidak perlu memperlakukanku seperti itu.” goda Eva.
Alex terkekeh geli, “Kuharap kau tidak tersinggung. Tapi kukira itulah yang dilakukan kebanyakan pemuda di kota ini.”
“Tidak semua.” Sahut Eva dengan nada tak kalah ringan. “Tapi mungkin ada beberapa.”
“Oh, syukurlah kalau begitu. Aku sempat berpikir kalau tingkahku bisa saja membuatmu jijik.”
“Tidak, tidak. Sama sekali tidak.” Eva menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Alex lekat-lekat. “Kau tidak berasal dari kota ini.” Tanyanya.
Alex menggeleng seraya tersenyum tipis. “Tidak. Apa ada yang salah dari diriku?”
Eva ikut menggeleng. “Tidak juga. Kukira kau penduduk asli sini.”
“Aku kemari karena ada pekerjaan yang harus kuurus. Dan kebetulan dua sepupuku juga ada di sini. Kami bertemu dan mereka mengajakku pergi ke club. Tapi, seperti yang kaulihat, mereka entah pergi kemana. Meninggalkanku sendirian.” Katanya sambil terkekeh. Alex bisa melihat dengan jelas ekspresi kasihan dari sorot mata Eva. Jadi, ia menambahkan, “Oh, ayolah. Jangan menatapku seperti itu. Aku baik-baik saja. Percayalah.”
Eva tidak bisa menahan tawanya. “Tidak, tidak. Aku hanya tidak habis pikir pada kedua sepupumu. Mereka keterlaluan.” Komentarnya.
Alex mengedikkan bahu, acuh. “Begitulah. Tapi bagaimana pun mereka, keduanya adalah sepupu terbaik yang pernah kumiliki. Ngomong-ngomong, bolehkan aku menghubungi mereka sebelum mengantarmu?”
“Kau tidak perlu meminta ijin padaku.”
“Baiklah, tunggu sebentar. Aku hanya akan mengatakan kepada mereka kalau aku sudah dalam perjalanan pulang.” Katanya demi norma kesopanan. Setelah melihat Eva mengangguk dan bersandar nyaman di kursinya, Alex segera mencari nomor Delta dan menghubungi pria itu, tetapi tidak ada jawaban. Ia lalu beralih ke nomor Volta, tetap tidak ada jawaban. Tidak puas hanya dengan melakukan tiga kali panggilan, ia mencoba lagi dan lagi. Sampai akhirnya ia menyerah dan berpaling menghadap Eva. Dan… betapa terkejutnya dia mendapati gadis itu sudah tertidur pulas. Alex hanya bisa melongo, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Selama sesaat, ia hanya memandangi wajah Eva yang sepertinya tidak asing untuknya. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkannya pada seseorang, entah siapa. Alex mencoba mengingat-ingat apa pun yang dilihatnya dari Eva, tetapi tidak menemukan sesuatu. Akhirnya ia menyerah. Ia menyentuh bahu Eva, mencoba membangunkan gadis itu dan bertanya kemana ia harus mengantarnya pulang. Namun, saat tidak Eva respon apa pun dari gadis itu.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia membawa mobilnya keluar dari kawasan club. Sambil menyetir, ia akan memikirkan kemana ia harus mengantar gadis itu. Tidak ada tas, ponsel atau petunjuk lain yang memberinya petunjuk tentang tempat tinggal Eva. Alex melirik Eva sekilas dan terpesona…
Astaga… apa-apaan ini? Ia bukan lagi pemuda yang bisa dengan mudahnya jatuh hati pada gadis yang baru ditemuinya. Kau pria dewasa. Ingat itu, Alex.
Alex mengambil napas sekali dan mengembuskannya. Baiklah, ia akan membawa Eva ke hotelnya. Dan pagi ini, sepertinya ia harus rela memberikan ranjangnya dengan gadis yang baru saja ditemuinya. Atau setidaknya mereka mungkin bisa berbagi ranjang?
EVA terbangun karena sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kaca hingga membuatnya terpaksa harus mengambil bantal dan menutup wajah dengan bantal tersebut. Selama sesaat, rasanya tidak ada yang berbeda dari tidurnya. Ia bangun di jam-jam normal, yaitu setelah matahari naik. Itulah yang selalu ia lakukan setelah berpesta selama semalam suntuk. Sejauh ini, tidak ada yang keberatan dengan rutinitasnya itu. Dan memang, faktanya ia tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang cukup nyaman hingga tidak ada yang bisa mengusik tidurnya. Namun, sebuah suara gemericik air memaksanya untuk membuka mata lebih lebar dan menyingkirkan bantal dari kepalanya. Ia terperanjat, selama sesaat merasa kebingungan.Dengan perasaan campur aduk, ia menelan salivanya kasar. Eva mengamati sekitar dan menemukan fakta baru bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar hotel. Jendela kaca di satu sisi tembok yang tirainya sudah dibuka menampilkan pemandangan kota yang cukup sib
SORRY, I’M BUSY.EVA mengambil napas dalam-dalam sembari bersandar di pintu. Ia tidak habis pikir akan menemui Bruce di apartementnya. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika pria itu menuduhnya tidur dengan sembarang pria! Apa Bruce tidak tahu kalau dirinya tidak mungkin melakukan hal itu? Jika ayah dan ibunya tahu, mereka berdua tidak akan segan-segan mencabut kebebasannya di dunia modeling dan akan mengurungnya sampai ada seseorang yang meminangnya. Eva meringis membayangkan semua itu. Selama belasan tahun ia bekerja keras demi menjadi dirinya yang sekarang dan ia tidak mau usahanya sia-sia karena ia tidur dengan laki-laki yang baru saja ditemuinya. Astaga, ia tidak sebodoh itu! Siapa pun yang mengenalnya akan langsung menyadari semua itu, tapi memang dasar Bruce. Laki-laki itu tidak pernah mengenal dirinya. Jadi, wajar saja jika Bruce berpikir demikian.Lama ia berdiri di sana. Setengah hatinya berharap Bruce menggedor pint
MY REVENGE!MALAM harinya Eva dan Payton masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponsel mereka dan meminta orang-orang jangan terlalu banyak berasumsi mengenai hubungan Eva dan Bruce. Saat ini, mereka berdua masih tidak tahu apa maksud Bruce mengatakan semua itu kepada media. Karena itulah mereka tidak mau gegabah mengambil keputusan. Eva mengesampingkan egonya untuk tidak menyanggah berita tersebut meski sebenarnya ia ingin sekali melakukannya. Setelah Bruce menyelesaikan wawancaranya dengan media di depan apartement Eva pagi ini, pria itu sama sekali tidak mau menerima panggilannya dan justru memblokir nomornya. Hal itu membuat keduanya frustasi.“Eva, ayahmu menghubungiku lagi!” seru Payton dari dapur. Malam ini mereka terpaksa memasak sendiri dan menikmati makanan yang tersisa di kulkas Eva. Rasanya 2x24 jam tidak akan cukup untuk membalas semua pesan dan panggilan yang masuk. Payton juga terpaksa menjadwal ulang pemot
DATE!BRUCE tersenyum puas saat menatap ponselnya. Selama ini tidak ada yang pernah membuat dirinya merasa bahagia seperti sekarang. Akhirnya, setelah tiga hari memutus komunikasi dengan Eva, ia kembali membuka blokir nomor wanita itu. Yang terjadi sebenarnya adalah Bruce tidak benar-benar memblokir nomor Eva. Ia selalu bisa menerima panggilan atau pesan apa pun yang Eva kirim kepadanya. Ia meminta Romeo mengakali ponsel dan nomornya. Semua itu mudah dilakukan di tangan yang tepat. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada Eva. Ini satu-satunya yang ia punya untuk membawa gadis itu kembali ke kehidupannya.Ia selalu menganggap pesan-pesan yang dikirim Eva adalah sebuah hiburan yang sangat menarik di tengah kesibukannya bekerja. Eva yang merengek dengan cara elegan membuatnya ingin tertawa dan tersanjung di saat yang bersamaan. Meski begitu, masih ada yang mengganjal di benaknya. Bruce masih tidak bisa mengenyahkan bayang-bayang laki-laki yang tempo hari tidu
LIKE IT USED TO BE.BERENDAM adalah salah satu hal kesukaan Eva. Dengan aroma mawar dari buble bath, air hangat yang menyapu seluruh tubuhnya dan segelas wine serta alunan musik dengan ditemani pemandangan langit cerah serta bintang-bintang dan bulan yang seolah tengah bercengkerama melengkapi kebahagiaannya malam ini. Tentunya, setelah kencan pertamanya dengan Alex. Kencan yang datang tanpa sebuah rencana besar. Sekali lagi, senyumnya mengembang membayangkan betapa pria itu… sangat sempurna.Alex. Pria dengan perawakan tinggi, rambut gelap sempurna, hidung layaknya perosotan dan tubuh kekar seperti Dewa Romawi. Eva merasa senang saat berada di dekat pria itu. Apalagi, Alex yang datang dari negeri antah berantah sepertinya belum menyadari siapa dirinya. Itu artinya, mereka memang dipertemukan karena sesuatu. Ia sama sekali tidak mengenal Alex dan begitu juga dengan pria itu. Alex datang bukan karena na
THE PANTIES.EVA membuka matanya perlahan saat merasakan sesuatu yang cukup berat menindih perutnya. Ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh benda itu dan saat kedua matanya benar-benar terbuka, betapa terkejutnya ia mendapati laki-laki yang sangat dibencinya tengah memeluknya begitu erat. Tanpa banyak bicara, Eva beringsut menjauh dari Bruce, ia lupa tentang kejadian semalam. Satu hal yang pasti, instingnya selalu mengatakan ia harus menjaga jarak dari pria bernama Bruce Spencer Smith-pria yang selalu membuat harinya buruk.“Hai, ada apa?” Bruce menahan dirinya, berkata dengan nada paling lembut yang pernah ia dengar. Di satu sisi, Eva merasa saat ini ia tengah benar-benar bermimpi. Jarang sekali ia mendengar Bruce berkata selembut itu. Namun, sinar mentari yang menerobos masuk melalui kaca jendela kamarnyaa mengingatkan Eva kalau saat ini ia sedang tidak dalam keadaan tidur. “Aku tahu kau marah padaku. Tapi tolong
A DEAL.“KITA HARUS BICARA”. Tiga kata itulah yang Eva ingat sejak pertama kali Bruce mengacaukan hidupnya. Bruce masih berdiri di belakangnya, memandangi dirinya yang tengah memilih baju mana yang akan ia pakai siang ini. “Bruce, tolong beri aku waktu lima menit untuk memakai baju. Setelah itu kita bisa bicara.” Pintanya pada pria paling mneyebalkan yang pernah Eva temui.Bruce mengedikkan bahu. Eva sempat berpikir kalau Bruce akan menolak mentah-mentah permintaan itu. Sampai pria itu berbalik sambil berkata, “Baiklah. Aku akan mandi dulu kalau begitu. Aku tunggu di kamarmu untuk sarapan bersama.”Sepeninggal Bruce, Eva segera mengambil sepasang Victoria Secreet yang tergantung rapi di rak-rak khusus pakaian dalam. Hari ini ia memilih warna hitam. Kebanyakan laki-laki menyukai warna itu. Dan meskipun Bruce tidak melihat pakaian dalamya, Eva merasa Bruc
SECRET RELATIONSHIP.ALEX. Ulang Bruce di benaknya. Ternyata, itulah nama pria itu. Alex. Bruce kembali mengucapkan satu kata itu, kali ini sambil memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Tenang, Bruce. Tenang. Hanya pria biasa yang sedang mencoba menarik perhatian Eva. Seperti pria-pria sebelumnya. Pria-pria pada umumnya yang memuji gadismu. Ini bukan apa-apa, jangan terlalu dipikirkan.“Bruce, apa kau baik-baik saja?” tanya Eva dengan suara rendah.Jawaban yang sebenarnya adalah, Bruce sedang tidak baik-baik saja. Setelah mendengar nama itu, rasanya Bruce ingin sekali meledakkan sesuatu. Atau mengirim seekor gajah ke antariksa lalu meluncurkan gajah itu tepat di atas kepala pria bernama Alex yang dengan lancang mengencani gadisnya. Namun, demi mendapatkan simpati dari Eva, ia pura-pura bersikap bijak. Ah, sungguh usahanya kali ini tidak boleh berakhir sia-sia. Bruce berdeham, “Ya, aku baik-baik saja.&