OUR PARENTS.
BRUCE menatap gadis anggun berambut pirang yang saat ini duduk di atas punggung Romeo. Dia, Eva dan Romeo sama-sama tidak percaya kalau kemenangan mereka ternyata hanya akan bertahan beberapa menit saja. Semula Bruce yakin bisa membawa Andrew kembali ke rumahnya di New York dan mempermalukan pria itu. Atau bahkan menyiksa Andrew sebelum mengembalikan pria itu kepada keluarganya. Sayang, sepertinya kali ini Dewi Fortuna tidak memihak kelompoknya. Terlebih saat gadis itu berkata, “Aku telah membunuh Christoper. Kurasa melenyapkannya tidak akan butuh waktu lama. Aku hanya perlu menarik pelatuk ini dan… kalian semua tahu apa yang akan terjadi.”
Pernyataan yang terlalu terang-terangan itu menimbulkan kepanikan yang cukup besar di dalam kepala Bruce. Jika memang itu yang terjadi, dan sepertinya ucapan gadis itu bukanlah sebuah kebohongan. Gadis tanpa itu berkata jujur, terlihat dari keyakin
A PRANK.BRUCE masih menggenggam erat tangan Eva saat mereka hampir sampai di townhouse. Yang akan mereka hadapi setelah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saat ini hubungan keduanya bukan hanya tentang Peri Hutan dan Pangeran Pongky. Lebih dari itu, ada keluarga yang setia memisahkan mereka Bruce dan Eva dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah perjodohan. Tenggorokan Bruce tercekat mengingat fakta itu. Ia masih tidak percaya di era seperti sekarang masih saja ada orangtua kolot seperti ayah dan ibunya. Benar-benar menyebalkan!Eva beringsut dari duduknya. “Kau melamun.” Gumam wanita itu.Antara iya dan tidak. Bruce tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok yang amat sangat ia puja di sisinya. Namun di sisi lain, ia juga memikirkan perjodohan sialan itu. Haruskah ia mengatakan kepada Eva apa yang sebenarnya direncakan oleh keluarganya?“Pongky…” Eva memaksa
Namanya Bruce Spencer Smith. Usianya 25 tahun, tampan, menawan, mapan, kharismatik, dan ribuan julukan baik lainnya. Namun sayang, di balik semua prestasinya, Bruce justru hidup di dalam sebuah kutukan. “Ingat, Bruce, kau hanya akan jatuh cinta sekali. Dan satu-satunya orang yang akan kau cintai adalah aku.” Sialnya, Bruce tidak menginginkan kutukan itu terus menghantuinya meskipun ia sangat mencintai Sang peri baik hati yang telah mengutuk hidupnya.Demon Princess
AFTER PARTY.Dentingan gelas kaca serta suara alunan musik di ruangan besar itu menjadi penanda bahwa pesta telah dimulai. Usai acara fashion show yang dihadiri model-model ternama serta perancang busana dan tamu undangan yang berasal dari kalangan atas, ratusan orang mulai asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berdiri di tengah kegelapan bersama pasangannya, melakukan hal-hal menyenangkan seraya menikmati wine. Ada yang berjingkak-jingkrak menikmati alunan music. Ada pula yang hanya menjadi penonton, memandangi orang-orang itu dengan lesu seolah dunia hampir kiamat. Eva contohnya.
WE WILL MARRIED.Bruce meminta kedua bodyguardnya untuk menghalau wartawan yang mulai berkerumun di sekitar dirinya dan Eva. Malam ini akan menjadi malam panjang bagi mereka semua. Kenapa demikian? Karena setelah malam ini, media pasti akan gencar menyebar berita mengenai kedekatan dirinya dan model cantik bernama Eva yang kini masih berada di pelukakannya.Eva terlihat lebih santai di banding sebelumnya. Setelah orang-orang Bruce berhasil menyingkirkan wartawan, wanita itu kini berjalan seolah tanpa beban. Kini ia dan Bruce berada di koridor yang letaknya tidak jauh dari ruangan pesta. Mereka hampir sampai di basecamp. Tiba-tiba Eva berkata, “Kau boleh pergi.”Bruce melongo. Pergi? “Apa maksudmu?” tanyanya.“Apa aku kurang jelas?” wanita itu mendengus pelan. “Kau dan dua pengawalmu boleh pergi sekarang.”“Kau mengusir
PONGKY.BRUCE sengaja membawa Eva dengan mobilnya sementara mobil wanita itu dibawa oleh kedua pengawalnya. Setelah malam ini, mungkin ia akan memiliki kesempatan lagi untuk bersama wanita itu. Selama sepuluh tahun terakhir, sudah berbagai macam cara ia lakukan untuk kembali bertemu dengan Eva. Namun tak satu pun membuahkan hasil. Eva selalu punya ribuan cara untuk menghindarinya. Harus diakui semua itu memang sepenuhnya salahnya. Dulu ia ter
ALEX.BRUCE baru saja akan membawa mobilnya keluar dari halaman gedung tempat di mana ia menurunkan Eva saat seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendelanya. Matanya memicing dan mengamati sosok di luar jendela. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali siapa sosok itu. Bruce menurunkan kaca jendela mobilnya lalu menegakkan punggung. “Oh, sial! Apakah ini benar-benar kau, Bruce?” suara pria itu terdengar sedikit serat tetapi Bruce masih bisa mengenalinya dengan baik.
A STUPID BRUCE.BRUCE dan Delta melangkah melewati bingkai pintu. Keduanya berjalan dengan sedikit tergesa, mereka nyaris menabrak orang-orang yang hendak masuk dan keluar dari club malam sialan itu. Bruce berkali-kali menggerutu saat sepasang kekasih tidak sengaja menyenggol bahunya. Jika bukan karena Eva, ia mungkin tidak akan mau membawa dirinya masuk ke tempat seperti ini. Bukannya ia membenci kebisingan yang disebabkan oleh musik yang menggema di seluruh ruangan, ia hanya tidak suka bau alkohol, rokok, musik yang terlalu keras dan seksualitas. Yang artinya Bruce memang membenci semua itu. Hanya saja, ia tidak mau mengungkapkan hal tersebut kepada siapa pun. Termasuk Delta yang kini berhenti dan memindai ke seluruh ruangan, mencari Si Kembar.“Aku tidak bisa melihat mereka dari sini. Di mana mereka sebenarnya?” gerutu Delta pada Bruce.Bruce berdeham singkat. “Sama, aku juga.”Mendengar ucapann
EVA terbangun karena sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kaca hingga membuatnya terpaksa harus mengambil bantal dan menutup wajah dengan bantal tersebut. Selama sesaat, rasanya tidak ada yang berbeda dari tidurnya. Ia bangun di jam-jam normal, yaitu setelah matahari naik. Itulah yang selalu ia lakukan setelah berpesta selama semalam suntuk. Sejauh ini, tidak ada yang keberatan dengan rutinitasnya itu. Dan memang, faktanya ia tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang cukup nyaman hingga tidak ada yang bisa mengusik tidurnya. Namun, sebuah suara gemericik air memaksanya untuk membuka mata lebih lebar dan menyingkirkan bantal dari kepalanya. Ia terperanjat, selama sesaat merasa kebingungan.Dengan perasaan campur aduk, ia menelan salivanya kasar. Eva mengamati sekitar dan menemukan fakta baru bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar hotel. Jendela kaca di satu sisi tembok yang tirainya sudah dibuka menampilkan pemandangan kota yang cukup sib