Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi.
Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai.
"Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin.
"Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup."
"Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah."
Rara tersenyum h
Mobil ambulance memasuki pekarangan rumah sakit. Petugas kesehatan menurunkan dua orang yang terluka akibat kecelakaan. Tim medis segera mengambil alih dan membawa masuk ke dalam ruang IGD. Seorang pria bertubuh tambun bersama dua orang pria lainnya tengah menanti dengan cemas.
Sang surya mulai menampakkan diri di ujung bentang cakrawala. Perlahan rona jingga membias kala fajar menyingkap awan menerangi pagi. Sayup-sayup terdengar kicauan burung gereja menari-nari di puncak pohon.
Seorang wanita sedang duduk di sebuah bangku, pinggiran danau. Pandangannya mengamati beberapa kawanan burung berputar-putar di atas permukaan danau. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ke arahnya. Wanita itu mendongak melihat seseorang di hadapannya menyodorkan setangkai mawar putih. Dia bersimpuh, menatap kedua netra bening miliknya yang tampak teduh. “Maaf karena membuatmu menunggu lama.” Wanita itu tersenyum, lalu menerimanya. “Bukankah sudah biasa!” “CUT!” Lelaki paruh baya yang duduk tak jauh dari posisi mereka lantas bangkit dari tempat duduknya. “Bagus Aldebaran! Aktingmu sempurna!” puji lelaki berkumis tebal yang berprofesi sebagai sutradara. Pria dengan gaya rambut samping klimis itu menyunggingkan senyum. Kemudian ia berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan untuknya. “Syuting hari ini kita bre
Rara menarik napas lelah. Dia meluruskan kakinya. Aldebaran benar-benar menguras tenaganya hari ini. Rara harus membersihkan setiap sudut apartemen milik Aldebaran. Pria arogan itu bukan menjadikannya asisten pribadi, melainkan asisten rumah tangga. Tiga jam yang lalu .... Rara berlari menyusuri trotoar, dia berpacu dengan waktu. Angkutan umum yang dinaiki Rara, tiba-tiba mogok. Rara terpaksa mengambil jalan pintas untuk segera sampai, beruntungnya apartemen yang ditinggali Aldebaran sudah dekat. Rara mengatur napasnya yang tersengal, dia memegang kedua lutut lalu melirik jam di pergelangan tangan. Lima belas menit lagi. Dia tidak boleh terlambat, telat sedikit saja Rara akan kehilangan pekerjaannya. Dengan cepat Rara berlari masuk ke dalam. Rara segera menekan tombol lift. Dia berharap cemas menunggu pintu itu terbuka, terasa seakan nyawanya di ujung tanduk. Pekerjaan ini sangat penting baginya.
Rara saat ini sedang berada di dalam mobil Aldebaran. Dia tengah duduk diam sambil sesekali menoleh ke arah pria arogan itu. Suasana canggung menyelimuti, entah bagaimana dengan Aldebaran. Rara menimbang sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.“Apa aku terlihat seperti sopir pribadimu?!” tegas Aldebaran masih dengan atensinya lurus ke depan. “Aku tidak suka basa-basi,” lanjutnya lagi.Rara menggigit bibir bawahnya. Aldebaran memang sangat tanggap. Dia bisa menebak gerak-gerik Rara. Rara sedikit membalikan badan ke arahnya.“Kita kau ke mana? Dan pekerjaan yang Pak Al maksud itu apa?” tanya Rara sedikit ragu-ragu.Tidak ada jawaban. Aldebaran memutar kemudi, lalu mengambil jalan lain. Alis Rara berkerut, ini jalan menuju rumahnya. Rara menoleh lagi, tidak ada penjelasan sedikit pun. Sebenarnya apa yang mau dilakukan Aldebaran. Dia ingin kembali bertanya—mengurungkan niat, menatap wajah A
Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan.“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.“Iya, Pak.”“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”
Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia
Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku