Mobil ambulance memasuki pekarangan rumah sakit. Petugas kesehatan menurunkan dua orang yang terluka akibat kecelakaan.
Tim medis segera mengambil alih dan membawa masuk ke dalam ruang IGD.
Seorang pria bertubuh tambun bersama dua orang pria lainnya tengah menanti dengan cemas.
“Tolong selamatkan dia!” kata pria itu.
Dia sejak tadi terus mondar-mandir sambil melihat ke arah pintu yang masih menutup rapat.
Tak lama setelah itu, pintu ruang IGD terbuka, seorang dokter keluar dengan melepas masker yang menutupi mulutnya.
“Dok, bagaimana keadaannya?” tanya pria bertubuh tambun itu dengan cemas.
“Dia tidak apa-apa! Dia juga tidak mengalami luka serius, hanya beberapa memar di tubuh setelah mendapat perawatan pasti akan sembuh!”
“Syukurlah!” Pria itu mendesah lega.
"Apa saya bisa membawanya pulang dan dirawat di rumah? Dia tidak suka jika dirawat di rumah sakit."
"Baiklah, setelah memastikan keadaanya stabil, besok sudah bisa rawat jalan di rumah."
“Tapi, orang lain yang dibawa bersamanya itu mengalami koma,” kata dokter lagi.
“Dokter tangani saja pengobatannya, masalah biaya nanti saya yang bertanggung jawab!”
Dua hari kemudian, kedua mata itu akhirnya membuka perlahan. Terasa berat dan samar. Pandangannya menatap diam langit-langit kamar.
Apa aku di Surga? Benarkah ini di Surga?
Perlahan, iris amber itu terbuka sempurna. Desain interior dari pencahayaan yang muncul dari bagian dalam plafon kamar tidur dan sisi kanan kiri dinding dekat headboard
tempat tidur.Dia perlahan bangun dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan bingung.
Plafon kamar tidur terlihat sangat serasi dengan furnitur dan dekorasi yang compact: dari tempat tidur, sofa, lampu tidur, dan karpet bulu.
Dia menggeleng, menepuk-nepuk kedua pipi.
"Ini bukan mimpi! Ini juga tidak mungkin di Surga. Lalu, aku di mana?"
Tiba-tiba, suara derik pintu terdengar. Seorang pelayan masuk dengan handuk kecil di tangan kanannya.
"Tuan sudah sadar?" Pelayan itu berlari mendekat. Memastikan.
Pelayan itu segera berlari keluar. Entah pergi ke mana.
"Tuan? Siapa yang dia panggil tuan? Aku? Ah, tidak mungkin!" ucapnya bingung.
Napasnya tertahan, melihat kedua tangan kekar yang tidak lain dari biasanya. Pandangannya mengarah pada kedua kaki. Bukan seperti kakinya. Dadanya naik turun, merasa ada yang aneh. Pandangannya kembali memperhatikan sekeliling, lalu manik mata itu berhenti pada cermin yang menggantung tak jauh dari pintu.
Dia segera turun dari ranjang. Seakan terbang, tubuhnya sangat ringan. Mana mungkin berat badan turun dalam sekejap, tidak masuk akal!
"AAAARRRGGHH!!!!!"
Dia menjerit histeris memandang wajahnya yang berubah.
"Si-siapa ini? Ke-kenapa wajahku berubah menjadi pri...a!"
Matanya membulat, memegang area dada yang tampak rata. Lalu, mengarah pada satu-satunya di bagian bawah perut yang menonjol ke depan.
"AAAARRRGGHH!!! A-apa ini? Bagaimana ini bisa berubah?!" teriaknya syok.
"Aldebaran! Kau baik-baik saja?" Seseorang dengan napas tersengal berlari mendekat ke arahnya.
"Kau panggil siapa? Aldebaran?" Dia menatap tidak percaya.
Orang yang berdiri di hadapannya menatap heran. "Kau tidak amnesia 'kan?"
Tubuhnya mendadak lemas, dia yang disebut Aldebaran terduduk lemas di lantai.
"Apa aku seorang pria? Bagaimana itu mungkin?!" []
Sang surya mulai menampakkan diri di ujung bentang cakrawala. Perlahan rona jingga membias kala fajar menyingkap awan menerangi pagi. Sayup-sayup terdengar kicauan burung gereja menari-nari di puncak pohon.
Seorang wanita sedang duduk di sebuah bangku, pinggiran danau. Pandangannya mengamati beberapa kawanan burung berputar-putar di atas permukaan danau. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ke arahnya. Wanita itu mendongak melihat seseorang di hadapannya menyodorkan setangkai mawar putih. Dia bersimpuh, menatap kedua netra bening miliknya yang tampak teduh. “Maaf karena membuatmu menunggu lama.” Wanita itu tersenyum, lalu menerimanya. “Bukankah sudah biasa!” “CUT!” Lelaki paruh baya yang duduk tak jauh dari posisi mereka lantas bangkit dari tempat duduknya. “Bagus Aldebaran! Aktingmu sempurna!” puji lelaki berkumis tebal yang berprofesi sebagai sutradara. Pria dengan gaya rambut samping klimis itu menyunggingkan senyum. Kemudian ia berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan untuknya. “Syuting hari ini kita bre
Rara menarik napas lelah. Dia meluruskan kakinya. Aldebaran benar-benar menguras tenaganya hari ini. Rara harus membersihkan setiap sudut apartemen milik Aldebaran. Pria arogan itu bukan menjadikannya asisten pribadi, melainkan asisten rumah tangga. Tiga jam yang lalu .... Rara berlari menyusuri trotoar, dia berpacu dengan waktu. Angkutan umum yang dinaiki Rara, tiba-tiba mogok. Rara terpaksa mengambil jalan pintas untuk segera sampai, beruntungnya apartemen yang ditinggali Aldebaran sudah dekat. Rara mengatur napasnya yang tersengal, dia memegang kedua lutut lalu melirik jam di pergelangan tangan. Lima belas menit lagi. Dia tidak boleh terlambat, telat sedikit saja Rara akan kehilangan pekerjaannya. Dengan cepat Rara berlari masuk ke dalam. Rara segera menekan tombol lift. Dia berharap cemas menunggu pintu itu terbuka, terasa seakan nyawanya di ujung tanduk. Pekerjaan ini sangat penting baginya.
Rara saat ini sedang berada di dalam mobil Aldebaran. Dia tengah duduk diam sambil sesekali menoleh ke arah pria arogan itu. Suasana canggung menyelimuti, entah bagaimana dengan Aldebaran. Rara menimbang sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.“Apa aku terlihat seperti sopir pribadimu?!” tegas Aldebaran masih dengan atensinya lurus ke depan. “Aku tidak suka basa-basi,” lanjutnya lagi.Rara menggigit bibir bawahnya. Aldebaran memang sangat tanggap. Dia bisa menebak gerak-gerik Rara. Rara sedikit membalikan badan ke arahnya.“Kita kau ke mana? Dan pekerjaan yang Pak Al maksud itu apa?” tanya Rara sedikit ragu-ragu.Tidak ada jawaban. Aldebaran memutar kemudi, lalu mengambil jalan lain. Alis Rara berkerut, ini jalan menuju rumahnya. Rara menoleh lagi, tidak ada penjelasan sedikit pun. Sebenarnya apa yang mau dilakukan Aldebaran. Dia ingin kembali bertanya—mengurungkan niat, menatap wajah A
Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan.“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.“Iya, Pak.”“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”
Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia
Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku
Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju