Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar.
“Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas.
Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu.
Dia pasti Monika, batin Rara menerka.
“Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara.
Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan.
“Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu.
“Sekali ini saja, biarkan aku menjelaskan semuanya!”
“Aku tidak membutuhkan penjelasan apa pun darimu, Nyonya Monika David Bailey!” sentak Aldebaran dengan penuh penekanan.
Aldebaran kembali melanjutkan langkahnya. Wajahnya memanas, asap kemarahan sudah mengepul. Dia membuka pintu mobil lalu mendorong tubuh Rara masuk ke dalam dengan kasar. Hampir saja kepala Rara terbentur dashboard.
Rara meringis kesal. Dia memperbaiki posisi duduk dan memasang sabuk pengaman.
Aldebaran segera memutar menuju pintu kemudi, lalu menutup pintu dengan keras tanpa memedulikan Monika yang terus mengetuk kaca mobil.
Aldebaran menginjak pedal gas dan membiarkan Monika sendirian di tempat.
Aldebaran melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Rara hanya berpegang erat, dia merasa takut. Aldebaran tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Kenapa harus semarah itu? Rara bahkan kena imbasnya.
“Pak Al, pelankan mobilnya. Kita sedang berada di jalan raya. Tolong tenangkan dirimu, Pak. Aku masih muda, Pak. Belum mau mati!” teriak Rara takut.
Aldebaran tidak menggubris, dia menambah kecepatan mobilnya. Rara sangat ketakutan, jantungnya seakan mencelos melihat Aldebaran yang sama sekali tidak bisa dibujuk. Dia terus menyalip beberapa kendaraan di depan. Sebagian pengendara lain memekik klakson karena ulah Aldebaran yang hampir membuat kecelakaan lalu lintas.
Rara hanya bisa berdoa, berharap ibunya akan baik-baik saja jika terjadi apa-apa padanya.
“Pak Al, aku mohon, hentikan mobilnya!” teriak Rara lagi.
Dari kejauhan, lampu lalu lintas sudah berwarna hijau dan sebentar lagi akan berganti warna. Aldebaran makin menggila, dia menyalipkan mobilnya hingga tubuh Rara meliuk-liuk. Rara mencengkeram sabuk pengaman. Kedua matanya terpejam menerima hasil akhir dari ujung perjalanannya. Dia pasrah. Menyerahkan hidup pada yang Mahakuasa.
Seakan melayang, nyaris sepersekian detik. Mobil Aldebaran lolos dengan selamat. Suara rem berdecit, Aldebaran berhenti mendadak tepat di bahu jalan. Mereka benar-benar beruntung. Beberapa kendaraan yang melintas, melayangkan sumpah serapah padanya. Aldebaran tidak mengindahkan. Napasnya memburu, seluruh puncak kemarahan ia lampiaskan tanpa memperhitungkan risiko yang berakibat fatal.
Rara masih mencoba menenangkan diri, dia melirik takut ke arah Aldebaran yang kemarahannya mulai menyusut—reda dengan perlahan-lahan.
Jantung Rara berpacu cepat, masih terasa takut walau dia mengembuskan napas berulang-ulang. Situasi menegangkan pertama kali baginya. Rara membuka pintu, kakinya gemetaran tidak kuat berpijak. Rasa mual mulai menjalar di kerongkongan. Perutnya yang kosong membuat Rara makin lemas.
“Apa yang kaulakukan di situ? Cepat masuk!” perintah Aldebaran.
Rara mengangkat lima jari ke udara. “Satu menit saja, Pak. Aku hanya perlu udara segar sebentar!”
Rara membuka botol kemasan air mineral yang masih dia pegang sejak tadi. Dengan tergesa-gesa Rara meneguk hingga hampir habis. Rara mendesah lega, merasa lebih baik. Mendadak, dia menyadari air yang baru saja diminumnya itu milik Aldebaran. Rara lantas berdiri dengan sigap. Dia segera masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang.
“Maaf, Pak. Aku tidak sengaja meminumnya.”
Aldebaran tidak menanggapi. Dia kembali menjalankan mobilnya.
“Pak Al tidak akan melakukan hal seperti tadi ‘kan?” Tangan Rara refleks menyentuh punggung tangan Aldebaran.
“Pindahkan tanganmu! Aku bahkan tidak membawa hand sanitizer.” Guratan tidak suka tercetak jelas di wajah Aldebaran.
Rara melepaskan tangannya. Dia merutuk kesal dalam hati.
“Hari ini kau pulang saja!” kata Aldebaran lagi. Pandangannya lurus ke depan. Mobilnya melaju sedang. Rara hanya mengangguk, dia memilih diam tidak ingin berkata apa pun. Suasana hati Aldebaran sedang tidak baik. Gara-gara wanita bernama Monika, nyawanya hampir melayang. Wanita itu sangat meresahkan. Dia pasti melakukan kesalahan besar sehingga Aldebaran semarah tadi.
Aldebaran menepikan mobilnya di halte bus. Rara segera turun. Belum sempat Rara mengucapkan sepatah kata, mobil Aldebaran sudah lebih dulu pergi.
“Dasar pria arogan. Aku mau ucapkan terima kasih.” Rara berdecak. “Dibalik sikapnya yang angkuh, dia memiliki hati yang rapuh. Wanita itu pasti sangat menyakitinya.”
Langkah Rara menuju kursi yang tampak kosong. Dari kejauhan seseorang mengambil gambarnya dengan diam-diam. Orang itu segera pergi begitu mendapatkan yang dia inginkan.
***
Rara baru saja sampai di rumah. Sebelumnya, dia singgah di apotek terdekat membeli obat untuk Nirmala dan membeli mie instan juga beberapa butir telur. Rara berusaha menghemat pengeluarannya sampai tanggal penerimaan gajinya.
“Assalamualaikum, Ibu. Rara pulang!”
Nirmala yang berada di dapur, berjalan perlahan untuk menyambutnya.
“Rara sudah pulang? Ibu kira sore nanti.” Nirmala lantas duduk di kursi tua yang sudah lapuk.
Rara mengulum bibir. Dia lupa kalau belum memberitahukan Nirmala mengenai pekerjaannya. Rara sudah harus berkata jujur hari ini.
Rara mendekat, duduk bersimpuh di kaki ibunya. Rara memegang kedua tangan Nirmala seraya menarik napas dalam.
“Sebenarnya Rara tidak jujur sepenuhnya sama Ibu.” Rara menatap lekat kedua iris cokelat bening milik Nirmala.
“Apa ada yang Rara sembunyikan dari ibu?”
Rara mengangguk pelan. Dia mencium punggung tangan Nirmala dengan lembut. Menelungkupkan wajahnya dengan rasa bersalah yang membuncah.
“Rara tidak lagi bekerja di perusahaan yang menerima Rara. Rara dipecat atas kesalahan kecil dan ....”
“Rara dipecat?” Nirmala menyela. Tatapannya terlihat sendu. Rara mendongak, menatap wajah Nirmala.
“Tapi Ibu tidak usah khawatir. Rara diperkerjakan kembali oleh orang yang sudah memecat Rara menjadi asisten pribadinya.” Rara menjelaskan, berharap Nirmala bisa menerima itu. Dia sangat takut jika pengakuannya membuat kesehatan Nirmala terganggu, mengingat kondisi jantung Nirmala yang tidak baik.
Senyum Nirmala tersimpul hangat. Tangannya mengusap rambut Rara dengan lembut.
“Rara sudah berjuang keras. Pekerjaan apa saja Rara lakukan hanya untuk mencari makan. Sekalipun menjadi asisten pribadi, ibu tetap mendukung pekerjaan yang Rara lakukan, asalkan mendapat uang yang halal,” tutur Nirmala memeluk anak semata wayangnya itu.
“Terima kasih, Bu. Rara lega sudah memberitahukan pada Ibu. Sebelumnya, Rara takut karena memikirkan kondisi jantung Ibu. Tapi sekarang Rara akan berjuang keras mengumpulkan uang agar Ibu bisa di operasi,” pungkas Rara memeluk Nirmala.
“Rara juga jangan bekerja terlalu keras, ibu tidak ingin kalau Rara sampai sakit.”
Rara menggeleng. Dia makin mengeratkan pelukannya. “Rara cuma punya Ibu dan Rara akan terus berjuang agar Ibu bisa sembuh.
Nirmala terenyuh—mengusap punggung Rara dengan senyum yang terukir. []
Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak