Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri.
Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya.
Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman.
Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunjung, tanpa diminta pemilik tempat itu langsung membawakan minuman berkadar alkohol yang biasa ia minum.
“Apa harus di jam seperti ini kau datang kemari? Ini bahkan masih pagi, Al,” ujar Dion.
Dion sahabat Aldebaran sejak zaman sekolah dulu. Dia mengelola sebuah bar mini yang terletak di pusat kota.
“Kau tahu aku tidak menerima pelanggan yang datang minum di jam begini. Bukankah kau ada syuting hari ini?!” Dion mencerca dengan tatapan tegas.
“Aku butuh pengalihan! Hari ini aku tidak bisa syuting.” Aldebaran menuangkan setengah gelas minuman berkadar alkohol itu lalu meneguk dengan cepat.
Lagi, Aldebaran menuangkan ke dalam gelas. Dia meneguk tanpa memedulikan tatapan menusuk dari Dion yang mulai hilang kesabaran.
Dion bahkan tidak bisa mencegahnya. Sekali Aldebaran meneguk minuman, dia tidak akan berhenti hingga merasakan sensasi panas yang menerjang tubuhnya.
Wajah Monika kembali memenuhi isi kepalanya. Dia menggelengkan kuat, menepis bayangan sialan itu yang terus mengusiknya.
“Apa lagi masalahmu sekarang?” Dion menahan tangan Aldebaran yang hendak menuangkan lagi minuman ke dalam gelas.
“Wanita jalang itu kembali!” Aldebaran menggeser tangan Dion dan meminum dengan satu kali tegukan.
“Maksudmu Monika?” Alis Dion menekuk tajam.
“Jangan sebut nama wanita itu! Aku bahkan tidak sudi mendengarnya!” Aldebaran mengeraskan suaranya.
Beberapa pengunjung yang datang sekedar untuk bersantai, menoleh kaget ke arahnya.
Dion melempar senyum canggung, merasa tidak enak dengan pengunjung lain.
“Kau jangan membuat keributan, Al. Lebih baik kau pulang saja, saat ini suasana hatimu sedang tidak baik. Apa perlu aku menelepon Firman untuk menjemputmu? Kau bahkan tidak bisa menyetir sendiri.”
Wajah Aldebaran mulai memanas, garis-garis merah mengitari iris oranye kecokelatan miliknya. Dia tidak mampu mengontrol diri, tatapannya liar—mengarah ke sembarang arah. Dion memegang tulang hidungnya, mengembuskan napas panjang.
“Kau sangat merepotkan, Al. Apa yang harus kulakukan dengan sikap keras kepalamu?!” Dion berusaha menahan tubuh Aldebaran yang hampir terjatuh.
Getaran ponsel mengalihkan atensi Aldebaran, dia melihat nama yang terpampang di layar menjelma menjadi bentuk tidak beraturan. Senyumnya tersungging, berusaha menggeser tombol berwarna hijau.
Dion menggelengkan kepala, melihat tingkah Aldebaran yang bahkan menjawab panggilan saja dia tidak bisa. Dion menarik ponsel dari tangan Aldebaran—menjawab panggilan.
“Kau di mana, Pak?”
Dion kembali melihat nama yang tertera di layar, “Asisten baru”.
“Apa dia memperkerjakan orang baru?” Dion berkata sendiri. Dia kembali menempelkan ponsel pada telinganya.
“Ini dengan siapa, ya?” tanya Dion.
“Ini Rara, apa ini bukan Pak Al?”
“Bukan, aku Dion temannya Al. Al sedang tidak bisa menerima telepon. Bisakah kau mengirim seseorang untuk menjemputnya pulang?”
“Aku tidak tahu harus mengirim siapa? Aku disuruh Pak Firman untuk meneleponnya.”
“Kalau begitu kau saja yang kemari menjemputnya!”
Tidak ada jawaban, Rara terdiam sejenak. Dia tampak berpikir. Dion melihat lagi layar ponsel Aldebaran, panggilan masih terhubung.
“Halo! Nona Rara? Apa kau mendengar suaraku?” Dion mengernyitkan alis. Memastikan.
Terdengar helaan napas dari seberang sana. Sepertinya, Rara tidak punya pilihan lain.
“Baik, Pak. Kirimkan alamatnya lewat pesan.”
Rara memutuskan panggilan. Dion segera mengirim alamat pada Rara dan menaruh kembali ponsel Aldebaran di atas meja.
Dion berdecak. “Kau benar-benar menyusahkanku, Al!”
Tak lama kemudian, Rara baru saja sampai. Dia memandang tempat yang sangat asing baginya.
“Apa ini tempatnya?” Rara melihat beberapa orang berdatangan dan pergi.
Rara mengambil langkah cepat dan masuk ke dalam. Dia menyapu pandangan. Beberapa pengunjung hanya menoleh sekilas ke arahnya, ada yang berbisik mengenai cara berpakaiannya berbanding terbalik dengan parasnya yang cantik—tidak ada kesan girly, sangat mencerminkan gadis tomboi.
Dion yang baru saja melayani pelanggan, segera menghampirinya.
“Apa kau Nona Rara?” tanyanya.
“Iya, Pak. Aku Rara, asistennya Pak Al. Di mana dia?”
Dion menatap Rara dari atas sampai bawah. Dia tidak habis pikir dengan isi kepala Aldebaran yang memperkerjakan gadis tomboi seperti Rara. Namun, dia tidak menampik, wajah Rara sangat cantik. Mungkin itu sebabnya Aldebaran menjadikan Rara asisten pribadinya.
“Pak!” Rara melambaikan lima jarinya di depan wajah Dion.
“Eh, maaf. Itu, Al ada di sebalah sana.”
Pandangan Rara mengikuti arah tunjuk Dion. Aldebaran sudah tertidur di atas meja. Rara mengulas senyum singkat sebelum melangkah pergi.
Rara mengendus bau alkohol yang menyengat. Dia menutup hidungnya, tidak tahan dengan aroma yang menelisik indera penciumannya. Rara menyentuh tangan Aldebaran, memastikan pria itu masih bergerak atau sudah tidak sadarkan diri.
“Bagaimana aku bisa membawanya? Tubuhnya lebih besar dibanding aku yang ramping ini. Menyusahkan saja pria ini!” gerutu Rara berusaha mengangkat tubuh Aldebaran.
Rara tidak kuat, Aldebaran terlalu berat. Rara menoleh ke arah Dion yang masih sibuk melayani pelanggan. Tempat ini sangat berkelas, ruangan yang didominasi dengan material kayu, rak minuman yang dibingkai dengan emas dan tembaga yang berkelas menambah kesan elegan. Rara mendongak melihat langit-langit berupa kaca bening, sungguh pemandangan yang baru dijumpai Rara pertama kali, suasana yang mewah dan maskulin sangat cocok untuk orang yang ingin memanjakan diri dengan alkohol, salah satunya pria arogan ini. Rara berdecak kesal. Dia melambaikan tangan pada Dion agar bisa membantunya.
“Maaf, tadi aku harus menangani beberapa pelanggan dulu. Aku akan membawanya ke mobil. Apa kau bisa menyetir?”
Rara mengangguk. Dion hanya memandang takjub. Apa yang tidak bisa dilakukan gadis ini. Aldebaran tidak salah memilih asisten. Tentu saja, Rara belajar mengendarai mobil dari Ivan setahun yang lalu. Rara ingin menjadi sopir angkut dulu, hanya saja usianya belum cukup umur untuk mendapatkan SIM. Saat dia sudah lancar mengendarai mobil, Nirmala malah melarangnya bekerja sebagai sopir angkut karena takut akan keselamatan Rara mengingat dia seorang gadis. Rara tidak bisa membantah, dia tidak ingin ibunya khawatir. Akhirnya, Rara hanya bekerja serabutan untuk membiayai uang sekolah dan kebutuhan hidup mereka.
Dion meregangkan tubuhnya, dia hampir kewalahan membawa Aldebaran.
“Kau membuat punggung dan bahuku sakit, Al,” keluh Dion setelah membaringkannya di kursi belakang.
“Apa kau bisa menanganinya sampai ke apartemen?”
“Aku sudah menghubungi Pak Firman untuk segera menuju apartemennya.”
“Baguslah! Hati-hati di jalan.” Dion menepuk bahu Rara yang hendak masuk ke mobil.
“Aku pergi, Pak.”
Dion melambaikan tangan, memandang mobil Aldebaran yang perlahan hilang dalam pandangan. []
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang
Rara menatap langit-langit kamar Aldebaran. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Rara mengedarkan pandangannya, berharap semua ini adalah mimpi.Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Rara. Rara menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rara lantas bangkit dan mengganti posisi duduk dengan cepat. Rupanya Angga. Dia menghampiri Rara yang terlihat sedikit canggung. Wajar saja, Rara baru bertemu lagi dengan Angga setelah terakhir kali saat Angga mengantarnya pulang.“Bagaimana keadaanmu, Al?”“Aku baik, Kak. Kau tidak perlu khawatir,” jawab Rara berusaha terlihat santai.Angga menatap kaget. “Kau tidak hilang ingatan ‘kan? Kau tidak pernah memanggilku ‘kak’ sebelumnya.”Ya ampun, aku lupa kalau Pak Al tidak memanggilnya kakak, batin Rara.Rara menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ak
Lima menit berlalu begitu saja. Rara dan Monika sama-sama terdiam. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sungguh pemandangan aneh bagi Dion melihat Aldebaran tidak seperti biasanya jika bertemu dengan Monika. Dia sesekali memerhatikan Aldebaran dari balik konter Bartender. Rara benar-benar terjebak. Dia bingung harus berkata apa, mengingat terakhir kali bertemu, sikap Aldebaran begitu marah pada Monika. Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung, sedikit mengangkat dagu layaknya bersikap arogan seperti yang dilakukan Aldebaran. “Sampai kapan kau akan diam saja seperti itu?” Rara membuka percakapan lebih dulu. Monika berdeham pelan, nyaris tak terdengar. Dia mengaitkan anak rambut di belakang telinga seraya memperbaiki posisi duduk. “Aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana hatimu, Al. Terakhir kita bertemu, kau terlihat sangat marah pada