Share

11 || Perubahan Sikap

Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara.

Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain.

“Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran.

Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hanya bisa berjalan santai ketika berada di perusahaan, dia tidak bisa bergerak leluasa di luar sana karena profesinya sebagai aktor terkenal. Sudah pasti dia akan dikerumuni para penggemar fanatiknya.

“Hai, Jihan!” sapa Angga yang baru saja keluar dari ruangannya.

“Pak Angga!” sahut Rara semringah.

“Kau tunggu di ruangan Angga, jangan pergi ke mana pun. Ini perintah!”

Rara memandang kikuk ke arah Angga. Angga merespons dengan anggukan kepala.

Setelah Rara pergi, Angga menahan tangan Aldebaran yang akan beranjak masuk. Dia menatap Aldebaran dengan penuh selidik.

“Kenapa kau membawa Jihan datang ke perusahaan? Kau bahkan tidak pernah membawa asisten pribadimu yang sebelumnya ke sini. Mengapa Jihan berbeda?”

Aldebaran menyentak dengan dingin. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu!”

Angga kembali menahan langkah Aldebaran. Kali ini Aldebaran menatap tidak suka.

“Apa masalahmu? Kau tidak perlu ikut campur urusanku!”

“Apa kau menyukainya, Al?” Angga menatap lekat kedua iris amber itu. Dia mencari jawaban dalam matanya.

Aldebaran membuang napas kasar. “Urusi hidupmu sendiri, tidak usah mengurusi hidupku!”

“Aku peduli padamu, Al. Jangan kau jadikan Jihan sebagai pelarianmu. Jika benar kau menyukainya, lakukan dengan cara yang benar!”

Rahang Aldebaran mengeras, satu tangannya mengepal. “Jaga ucapanmu. Kau tidak pantas mengaturku!”

“Apa karena aku bukan saudara kandungmu?” Angga menyentuh bahu Aldebaran dengan lembut.

Aldebaran tidak menjawab, dia menepis tangan Angga dan berjalan masuk ke dalam.

***

Berselang dua puluh menit, Aldebaran keluar dari ruangan rapat. Dia malas jika berlama-lama dalam ruangan itu. Hanya karena dia salah satu pemegang saham tertinggi, Aldebaran tidak bisa menolak perintah Mahesa.

Langkah kakinya menuju ruangan Angga. Di sana Aldebaran mendapati Rara yang tengah tertidur dengan menyandarkan kepala pada punggung sofa. Dia kelelahan ditambah lagi dengan udara ruangan kerja Angga yang sejuk membuat rasa kantuk datang menyapa.

Aldebaran mengamati wajah cantik Rara yang tertidur. Sangat pulas. Sedetik kemudian, Aldebaran berdeham keras seketika membuat Rara terlonjak.

“Ma-maf, Pak. Aku tertidur.” Rara merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Jihan!” ucap Angga yang baru saja masuk ke ruangan.

“Pak Angga!” Rara mengulas senyum seraya bangkit dari duduknya.

“Kau sudah mau pulang?” tanyanya lagi. Angga melirik ke arah Aldebaran yang membalas tatapan tidak suka padanya.

Rara menoleh ke arah Aldebaran menunggu jawaban atas pertanyaan Angga.

“Tugasmu sudah selesai. Kau boleh pergi.” Aldebaran melangkah keluar dengan acuh.

Antara senang dan bahagia, Rara menahan diri di depan Angga.

“Aku pulang dulu, Pak!” Rara berseru girang.

“Jihan!” sergah Angga kembali menahan langkah Rara.

“Iya, Pak.”

“Kau punya waktu hari ini? Aku ingin meminta bantuanmu!”

Hari ini aku mau bertemu Ivan, batin Rara. Dia menatap sejenak wajah Angga, tampak jelas wajahnya penuh harap.

“Bantuan apa, Pak?” Rara memutuskan menemui Ivan nanti.

“Mmm ... aku mau memberi hadiah ulang tahun untuk ibuku. Dia sudah punya semua yang diinginkannya, hanya saja aku ingin memberikan sesuatu yang belum dimiliki ibuku. Bisa kau membantuku untuk mencari hadiah yang tepat?”

Aldebaran sedikit mendengar percakapan mereka. Dia kembali melanjutkan langkah dengan raut yang tidak terbaca.

“Berarti ulang tahun ibunya Pak Al?”

“Iya, tapi bukan ibu kandung Al. Kami berdua saudara tiri. Ibu kandung Al sudah meninggal sejak dia berusia lima belas tahun.”

“Pantas saja dia bersikap arogan, mungkin karena .... eh, maaf Pak. Aku suka bicara kelepasan.” Rara menggaruk tengkuknya merasa kikuk sendiri.

“Kapan ulang tahunnya, Pak?”

“Besok. Apa kau bisa membantuku? Jika kau tidak keberatan.”

“Besok? Sama dengan ulang tahunku juga!”

Rara kelepasan lagi. Entah mengapa, setiap berbicara dengan Angga, dia tidak merasa canggung.

“Maaf, Pak. Aku melakukannya lagi.”

Angga tertawa renyah. “Santai saja, aku bukan orang yang serius.”

“Aku akan merapikan berkas sebentar, kau tunggu aku di lobi. Bisa kan?”

Rara mengangguk. “Baik, Pak!”

***

Angga memarkirkan mobilnya. Mereka baru saja sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi pengunjung. Rara memandang bangunan bertingkat itu dengan takjub. Ini kali kedua dia datang setelah yang pertama saat membelikan pakaian Aldebaran.

“Kita akan beli apa, Pak?” tanya Rara yang lebih dulu melepas sabuk pengaman.

“Jihan panggil Angga saja, tidak perlu pakai Pak. Aku masih muda, kesannya seperti om-om. Apalagi jalan sama kamu yang seperti anak SMA begini.”

“Biar lebih sopan, Pak. Aku juga besok sudah masuk sembilan belas tahun. Masa iya terlihat seperti anak SMA,” sahut Rara mengulas senyum.

“Itu karena kau memiliki wajah yang imut," goda Angga.

Rara menggaruk kepalanya. “Pak Angga, eh apa aku panggil Kakak saja ya, aku merasa tidak enak jika hanya menyebut nama.”

“Terserah, asal jangan Pak Angga.”

Rara menahan pergerakannya yang hendak membuka pintu. Dia mengurungkan niatnya setelah mengamati kembali pakaian mereka yang jauh berbeda.

“Ada apa, Jihan?” Angga menutup kembali pintu mobilnya yang sempat terbuka lebih dulu.

Rara masih mengamati pakaiannya. Dia menoleh ke arah Angga yang merasa bingung dengan tingkah Rara.

“Pakaian kita berbeda, Kak. Aku pasti akan jadi pusat perhatian di dalam sana. Apalagi jalan dengan Kak Angga yang tampan begini,” tutur Rara dengan menunduk memegang ujung kaosnya.

Angga menghela napas. Memang benar, pakaian Angga sangat formal bila dibandingkan dengan Rara yang memakai jeans dan kaos oblong. Belum lagi rambutnya yang diikat asal-asalan. Namun, aura Rara masih tetap sama, cantik.

“Kau keluar dulu. Aku ada pakaian cadangan di belakang, biar aku ganti sebentar.”

“Apa tidak masalah, Kak? Aku sungguh tidak bermaksud apa pun, hanya saja, aku tidak enak dengan Kak Angga yang—“

“Tidak perlu merasa begitu. Bukankah kita sudah cukup akrab?”

Senyum Rara terukir, dia mengangguk cepat lalu segera turun.

Lima menit kemudian, Angga sudah keluar dengan pakaian outfit simple. Terlihat cocok dengan bentuk tubuhnya, seakan pakaian itu sudah dibuat untuknya.

“Wah, Kak Angga sangat tampan memakai pakaian apa pun.” Rara mengangkat dua ibu jari.

Angga tersenyum. “Ayo, sambil jalan!”

Dari kejauhan, orang yang diperintahkan David terus mengikuti mereka. Dia bahkan sempat mengambil gambar mereka beberapa kali.

Rara terus tertawa sepanjang tapak kaki menuju bagian dalam pusat perbelanjaan. Tanpa diketahui, ada orang lain lagi yang sejak tadi mengikuti mereka dari belakang. Mobilnya terparkir tak jauh dari posisi mobil Angga. Dia menaikkan kaca mobil lalu beranjak pergi dari sana. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status