Share

14 || Keajaiban yang Membingungkan

Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.  

Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.

“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.

“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”

Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”

“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—“

“Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan ‘pak’? Tolong periksa dia, Dok.”

Rara benar-benar tidak tahan ingin mengatakan kalau dia bukan Aldebaran. Rara menatap kesal melihat pantulan wajah Aldebaran di cermin.

Dion membawa Rara duduk. Dokter Said segera memeriksa keadaannya.

“Sepertinya tidak ada yang salah dengan keadaannya. Mungkin saja pengaruh dari benturan keras pada kepalanya sehingga dia bisa saja mengalami gangguan daya ingat. Saya akan memberikan resep obat, jika tidak membaik sebaiknya periksakan di Rumah Sakit,” terangnya.

“Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan pemeriksaan dan obat, Dok. Mungkin itu pengaruh kecelakaan,” sahut Rara. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Sebaiknya menghindar dari masalah untuk sementara, sampai dia tahu apa sebenarnya yang terjadi.

“Tetapi kau tetap harus diperiksa, Al!” desak Dion merasa cemas.

“Tidak masalah Pak Dion. Pak Al baru saja sadar jadi biarkan dia beristirahat saja!” timpal Dokter Said.

Dion lagi-lagi menghela napas, dia mengantar Dokter Said keluar.

Rara memijat pangkal hidung. Dia harus keluar dari rumah Aldebaran agar bisa menemukan jawaban atas masalah ini. Rara melihat ke sekeliling, kamar Aldebaran sangat luas dan mewah. Dia harus berganti pakaian untuk bisa keluar.

Rara membuka lemari pakaiannya. Matanya berbinar takjub melihat pakaian bermerek dan mahal yang tersusun rapi. Pria arogan itu benar-benar perfeksionis. Berbagai setelan jas juga outfit simple membuat Rara bingung harus memakai yang mana.

Rara mengingat model pakaian yang biasa dipakai Aldebaran lalu mengeluarkan dari lemari. Rara mematut dirinya di cermin. Dia merasa ragu harus melepas pakaian yang dikenakan, secara otomatis Rara akan melihat setiap lekuk tubuh indah milik Aldebaran.

Rara menjauh dari cermin, dia perlahan melepas pakaian dengan hati-hati. Tiba-tiba, Dion mendadak muncul membuat Rara terlonjak.

“Apa yang kaulakukan?!” teriak Rara.

Dion menatap bingung, melihat Aldebaran menyilangkan kedua tangan menutup bagian dada.

“Al, apa yang kaulakukan?” Dion bertanya balik. Masih tidak habis pikir dengan tingkah Aldebaran yang tiba-tiba berubah.

Rara menurunkan tangannya. Sikapnya tadi refleks sebagai naluri seorang perempuan yang mencoba melindungi diri. Rara lupa saat ini dia berada dalam tubuh Aldebaran. Sepertinya, Rara harus berusaha menyesuaikan diri jika tidak ingin berakhir di rumah sakit jiwa.

“Bukan apa-apa Pak eh maksud aku Dion!” Rara menegaskan suaranya.

“Ada polisi mencarimu di bawah. Mereka ingin menyampaikan sesuatu,” kata Dion.

“Aku akan turun setelah mengganti pakaian. Kau temani mereka dulu.”

Dion mengangguk pelan dan beranjak keluar. Rara menarik napas lega. Dia harus bisa bersikap sebagai Aldebaran.

Rara menapak pelan sambil mengedarkan pandangannya. Rumah Aldebaran sangat besar. Matanya menelisik setiap sudut dari koridor yang panjang. Kamar Aldebaran terletak di paling ujung koridor, jarak antara ruangan lainnya dengan kamar Aldebaran sedikit jauh. Apalagi dia tipe orang yang suka dengan ketenangan. Dari belokan, Rara melihat sebuah pintu berukiran mewah. Sepertinya itu salah satu kamar penghuni rumah. Ada juga berbagai lukisan mahal yang terpajang rapi.

Rara menuruni tangga, di sana ada dua orang petugas polisi yang sudah menunggu bersama Dion.

“Selamat pagi, Pak Al. Bagaimana keadaan Anda?” tanya salah seorang polisi bernama Anton.

“Baik, Pak. Silakan duduk!”

“Begini Pak Al, kedatangan kami kemari ingin menyampaikan mengenai kecelakaan yang menimpa Pak Al dan seorang gadis bernama Jihan Azzahra,” ucap Pak Anton.

Rara menarik napas berat. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana keadaan tubuhnya di sana.

“Apa ada sesuatu mengenai kejadian itu? Saat itu mobil melaju kencang dan Pak ....”

Lagi-lagi aku hampir keceplosan. Aku harus bersikap sebagai Aldebaran, batin Rara.

Rara berdeham. “Maksudnya mobil itu di luar kendali. Rara tiba-tiba saja berlari dan ....” Rara kembali menahan ucapannya melihat tatapan Dion dengan penuh selidik dilayangkan padanya.

“Apa Anda tidak mengingat kondisi saat itu?”

“Entahlah, kepalaku juga masih sakit. Aku masih belum mengingat sepenuhnya,” elak Rara. Dia kebingungan mencari jawaban yang tepat.

“Kecelakaan mobil Pak Al dikarenakan mengalami rem blong. Kami sudah memeriksa TKP sehingga mengambil kesimpulan itu merupakan tindakan kesengajaan oleh seseorang,” terang Pak Anton.

Rara terdiam, tidak tahu harus bicara apa.

Apa mungkin Pak Al tahu rem mobilnya blong? Rara bertanya bingung dalam hati.

“Saat ini kondisi Al belum cukup stabil Pak. Bapak selidiki saja siapa orang yang berada dibalik insiden itu. Pasti ada seseorang yang tidak menyukai Al mengingat sikapnya yang sedikit arogan,” papar Dion.

“Baik, Pak. Kami akan terus selidiki kasus ini.”

“Bagaimana keadaan gadis itu?” Rara menyela. Dia mendadak teringat Nirmala. “Apakah sudah ada yang memberi tahu ibunya mengenai kecelakaan itu?”

“Ibunya sedang dalam perjalanan menuju kemari. Saat kejadian ibunya sedang berada di luar kota.”

Benar juga, ibu menginap di rumah bibi, batin Rara.

“Sampai saat ini, gadis itu belum sadarkan diri,” kata Pak Anton lagi.

Rara bangkit dari duduknya. “Tolong selidiki kasus ini. Aku harus pergi melihat gadis itu!”

Kedua polisi itu mengangguk lalu beranjak keluar.

“Al, kau harus memeriksakan diri ke dokter. Keadaanmu makin memburuk. Kau bahkan tidak mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Apa kau terlibat masalah dengan seseorang?”

Rara menggeleng. Dia sendiri saja sudah hampir gila memikirkan kondisi dirinya saat ini. Kini, masalah baru datang lagi. Mau tidak mau Rara harus mencari tahu siapa dalang dari kecelakaan itu.

Rara lantas beranjak keluar dan diikuti Dion dari belakang.

Sejak tadi, ada seseorang yang mendengar percakapan mereka di balik tembok. Senyumnya tersungging sinis menatap punggung Aldebaran dengan penuh kebencian.

***

Rara berlari cepat sepanjang koridor rumah sakit. Rasanya seperti melayang dibandingkan dengan tubuh aslinya yang sudah pasti membuatnya cepat lelah. Dion tidak kuat berlari, napasnya tersengal dan beristirahat sebentar.

Pandangan Rara mengedar mencari meja resepsionis. Ini pertama kali dia masuk ke Rumah Sakit mahal itu.

“Pak Al!” panggil seseorang yang mencegah langkahnya.

Rara berbalik, melihat orang yang memanggilnya.

“Bagaimana keadaanmu? Kau kemari untuk pemeriksaan?” tanya seorang dokter muda. Dari id card yang tergantung, tertulis dengan nama dr. Reza.

“Aku baik-baik saja. Apa kau tahu di mana kamar Jihan Azzahra?”

“Dia berada di kamar VVIP lantai tiga.”

“Terima kasih.” Rara kembali mengambil langkah cepat, dia menekan tombol lift dan disusul Dion yang hampir saja tertinggal.

“Apa kau sepanik itu mencemaskan asisten pribadimu?”

“Tentu saja aku cemas. Dia sangat penting bagiku, aku takut jika ada apa-apa dengannya dan ....”

Rara menoleh ke arah Dion yang menatap curiga. Rara menggaruk kepalanya.

“Bukan seperti itu maksudku. Aku hanya .... ah sudahlah!” Rara merasa stres sendiri menghadapi Dion yang terus menaruh prasangka padanya.

Rara berlari lebih dulu setelah pintu lift terbuka. Seorang dokter baru saja keluar bersama dua perawat.

“Dok, bagaimana ....”

“Dokter!”

Rara ikut menoleh melihat Nirmala yang sudah berlinang air mata berlari cepat ke arah mereka. Nirmala datang ditemani bibi Rara.

Ibu, ucap Rara dalam hati.

“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dokter? Bagaimana keadaannya? Apa Rara baik-baik saja?”

“Dia mengalami koma. Belum bisa dipastikan kapan pasien akan sadar, mengingat dia korban yang paling parah dalam kecelakaan itu.”

“Apa?” Nirmala tampak terguncang. Tubuhnya mendadak terhuyung dan pingsan.

Rara mengurungkan niatnya yang hendak mengangkat Nirmala. Tangannya mengepal tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat Nirmala dibawa beberapa perawat dengan brankar. Saat ini mereka melihatnya sebagai Aldebaran bukan Rara.

Maafkan aku, ibu. Rara sudah buat ibu cemas.

Rara menahan diri untuk tidak menangis. Dia menoleh ke arah Dion yang sejak tadi memperhatikannya.

Dion tersenyum lalu menepuk-nepuk bahu Aldebaran. Rara terdiam sesaat, dia kembali melihat pantulan wajah Aldebaran di kaca.

“Aku akan kembali, kau masuk saja dulu."

Rara mengambil langkah cepat. Dia menemui dokter spesialis jantung dan meminta untuk melakukan penanganan terhadap Nirmala. Setelah memastikan kondisi Nirmala baik-baik saja, Rara bergegas menyusul Dion.

Pijakannya mendadak lemas saat melihat tubuhnya terbujur tak berdaya dengan peralatan medis yang menempel di badan Rara. Apa Rara benar-benar tidak bisa kembali lagi? Bagaimana dengan Aldebaran? Kalau dia tidak kembali ke tubuhnya, apa Rara akan menjadi Aldebaran selamanya?

Rara mengusap rambut dengan frustasi. Dia hampir kehilangan akal memikirkan semua hal yang mendadak terjadi dan sangat tidak masuk akal itu.

Rara duduk di kursi dan menyentuh tangannya dengan hangat. Rasanya seperti mimpi melihat tubuhnya sendiri.

“Kumohon sadarlah. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini.”

Dion menatap iba. Untuk pertama kali dia melihat Aldebaran mencemaskan orang lain. Dia tidak tahu saja, yang Rara maksud bukan seperti yang ia pikirkan, melainkan Rara mencemaskan tubuhnya jika sampai terjadi sesuatu maka Rara tidak akan bisa kembali.

“Ada satu hal baik darimu yang aku sukai setelah kejadian ini, Al.”

Rara hanya menoleh sendu. Dia tidak punya kekuatan menanggapi ucapan Dion yang pastinya membuatnya bertambah pusing.

“Kau mulai menunjukkan perhatian ke orang lain, dan aku senang walau kau mungkin mengalami amnesia,” ujar Dion.

Rara menghela napas. Kata itu lagi yang terus diulangi Dion. Rara harus membiasakan diri mendengar kata itu.

Rara kembali menatap wajahnya.

Maafkan aku Pak Al, aku menggunakan uangmu untuk menyembuhkan ibuku. Jika nanti kita sudah bertukar tubuh lagi, aku janji akan membayarmu walau harus bekerja seumur hidup menjadi asistenmu. Rara membatin.

Tidak ada pergerakan. Hanya suara alat yang berbunyi bersahutan. Entah di mana jiwa Aldebaran kini berada. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status