[Mas, sedang apa?]
Sesampainya di rumah sore itu, kutuliskan pesan ke ponsel suamiku. Hal kedua yang juga jarang kulakukan selama ini. Aku mengiriminya pesan basa-basi di sela kesibukan kantornya.
[Masih di kantor, Han. Ada apa?]
[Hari ini Mas pulang jam berapa? Makan malam di rumah kan?]
[Iya, agak maleman mungkin, jam 6 an.]
Kalimatnya masih sedikit agak kaku. Mungkin dia sedikit aneh karena tiba-tiba aku mengiriminya pesan tidak biasa.
[Mas pengen dimasakin apa untuk makan malam nanti?]
[Apa aja, Han. Yang penting enak.]
[Mau rendang kesukaan Mas?]
[Boleh.]
[Oke, nanti aku masakin special buat Mas. Jangan telat ya Sayang pulangnya. Love you.]
[Iya, Sayang. Love you, too.]
Aku tersenyum mendengar jawaban terakhirnya. Itu pertama kalinya dia menuliskan pesan dengan kata-kata 'Sayang' dan 'Cinta' padaku semenjak kami menikah. Dan mulai sekarang, aku akan membiasakan itu semua.
.
.
.
Aku sedang membantu Mbok Jum menyiapkan rendang untuk makan malam kami ketika tiba-tiba ponselku bergetar.
[Sayang, udah siap rendangnya?]
Wow, Mas Reyfan mengirimiku pesan, dan ternyata dia sudah mengikuti permainanku.
[Sebentar lagi, Mas. Sudah mau pulang ya?]
[Enggak Sayang, Mas mau bilang kayaknya hari ini Mas pulangnya malem soalnya bos besar mendadak ngajak meeting. Nggak papa kan?]
Aku menelan ludah usai membaca pesannya. Tapi tak apa, aku harus tetap bersikap wajar saja.
[Oh ya? Nggak papa. Nanti aku bisa hangatkan rendangnya lagi kalau Mas pulang. Memangnya mau pulang jam berapa, Mas?]
[Belum tau, mungkin sampai larut. Kamu tidur aja dulu kalau ngantuk, Sayang.]
Dadaku benar-benar sesak. Hari ini dia sudah mulai berani pamit untuk pulang telat. Kita lihat saja nanti Mas, siapa yang akan menang dalam permainan ini. Sekarang mungkin kamu bisa tertawa telah berhasil membodohi istrimu yang belum bisa berbuat apa-apa ini. Tapi nanti kamu akan melihat betapa kuatnya wanita yang sudah tersakiti.
.
.
.
"Belum tidur?" Dia nampak sangat kaget saat memasuki rumah dan melihatku duduk di kursi memandanginya dari sudut remang-remang di kamar tamu rumah kami.
"Nungguin Mas pulang," kataku berusaha membuatnya sedikit bersalah. Kuraih tas kerja dan sepatu yang baru saja dilepasnya, lalu mengikutinya berjalan ke dalam kamar.
"Harusnya tidur saja, Sayang. Ini sudah malam, nanti kamu bisa sakit."
"Sepertinya Mas lupa kebiasaanku ya? Tidak bisa tidur sebelum suamiku pulang?" kataku sedikit menggodanya.
"Ooh, iya ya? Kenapa aku jadi tidak memperhatikan?" Dia tersenyum, mengecup sebentar dahiku lalu berpamitan mandi. Malam ini aku akan mulai melancarkan aksiku. Karena aku merasa semuanya sudah semakin jelas sekarang.
Selepas maghrib tadi, Adam mengirimiku pesan berisi sebuah video suamiku yang sedang berada di depan kampus, membukakan pintu mobilnya untuk seorang gadis belia yang kutaksir usianya sekitar 20 tahunan. Dia gadis yang cantik, tinggi, langsing, dengan wajah yang sangat menggemaskan.
Saat tadi kulihat video itu, untuk pertama kalinya hatiku benar-benar terasa teriris dengan kelakuan suamiku. Bagaimana tidak, aku yang rela berkorban meninggalkan semuanya demi mengabdi padanya, justru dikhianatinya seperti ini. Belum cukup juga, dia membohongiku dengan dalih meeting hanya sekedar untuk bisa berduaan dengan seorang gadis muda. Apa sebenarnya yang sedang kamu lakukan ini, Mas? Menghancurkan rumah tanggamu hanya demi kesenangan sesaat?
Mas Reyfan membuyarkan lamunanku dengan pelukannya dari belakang. Aroma sabun mandi segera menyeruak tanpa permisi ke dalam hidungku yang membuatku sejenak melupakan kemarahanku.
"Mas ...." panggilku lirih. Berusaha membuatnya merasa betapa aku sedang menginginkannya malam ini.
"Ya?" Dia menopang kepalanya dengan sebelah tangan, menatapku yang sedang berbaring di sampingnya.
"Kenapa akhir-akhir ini aku merasa kamu akan meninggalkan aku dan Keenan ya?"
"Kenapa berpikir begitu?"
"Nggak tau, tiba-tiba saja kepikiran begitu."
"Itu nggak mungkin, Sayang. Kamu dan Keenan adalah segalanya buatku."
"Mas janji nggak akan ninggalin aku dan Keenan?"
"Janji, Sayang. Asal kamu juga janji."
"Janji apa?"
"Kamu akan selalu jadi istri yang baik."
Apa menurutmu aku kurang baik, Mas? Aku menahan senyuman pahit yang hampir saja membuat keromantisan yang kubuat malam ini hilang.
"Baiklah aku janji. Tapi Mas juga harus janji akan jadi suami yang baik juga. Gimana?"
"Tentu saja. Memangnya Mas kurang baik apa, Sayang?"
"Sudah baik, hanya saja ..."
"Hanya saja kenapa?"
"Masih kurang baik sedikit lagi." Aku tersenyum menggodanya.
"Kurang baiknya dimana? Coba katakan!"
Sepertinya dia sudah mulai gemas dengan cara bicaraku yang sangat menggoda malam itu. Belum lagi penampilanku yang memang sengaja kupersiapkan untuk menyambutnya. Aku yang biasanya tak begitu mempedulikan penampilan, hari ini mulai menunjukkan taringku dalam bersolek. Salahku juga mungkin karena selama ini tidak terlalu memperhatikan apa yang aku miliki.
"Tahun depan kan Keenan sudah masuk playgroup, Mas."
"Iya, terus?"
"Aku pengen antar jemput Keenan sekolah."
"Lalu?"
"Aku butuh mobil donk."
"Mobil? Yakin? Kan kamu nggak bisa nyetir, Sayang?
"Makanya Mas beliin aku mobil sekarang, biar bisa belajar nyetir dulu," kataku manja sambil ku elus pipi dengan rahang kerasnya. Sedetik pun tak pernah kulepas senyum manis ini dari bibirku. Aku yakin, malam ini aku pasti terlihat sangat menarik baginya.
"Gimana, Mas?" Aku berbisik di telinganya, lagi-lagi dengan nada menggoda. Ya Tuhan, sebenarnya sangat ingin aku muntah ketika kuingat dengan siapa tadi dia menghabiskan waktu bersama. Tapi aku tak akan pergi meninggalkannya dengan tangan hampa.
Dia nampak memicingkan mata, menatapku dengan senyuman yang aku tahu pasti dia menginginkanku juga malam ini. Hingga akhirnya dia pun berkata.
"Oke, Mas akan siapkan apapun yang kamu butuhkan, Sayang."
"Beneran, Mas?" tanyaku setengah memekik. Rencana pertamaku hampir berhasil.
"Makasih, Sayang." Aku mengecup kedua pipinya dengan gemas. "Aku tahu kamu akan selalu mengabulkan keinginanku, Mas."
"Tidak ada yang tidak buat kamu, Honey."
.
.
.
Dan akhirnya rencana pertamaku pun berhasil. Seminggu setelah pergumulan panas kami layaknya sepasang insan yang sedang dimabuk cinta, Mas Reyfan membelikanku sebuah mobil sesuai keinginanku. Mobil jenis sedan keluaran terbaru.
Entah, dari mana dia punya uang sebanyak itu. Yang kutahu gajinya memang besar sebagai kepala departemen pemasaran di perusahaannya. Walaupun selama ini jatah bulanan yang dia berikan padaku memang hanya bernilai cukup, tak lebih juga tak kurang. Tapi sungguh, aku sama sekali tak ingin tau dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli mobil itu. Yang jelas mobil itu sudah dibeli cash dan atas namaku. Itu sudah cukup bagiku.
Minggu pagi, kulihat dia bangun lebih awal. Saat aku mulai membuka mata, dia sudah rapi dengan pakaian olahraga dan sneakernya. "Mau kemana, Mas?" tanyaku dengan suara masih serak khas bangun tidur. "Jogging. Mau ikut?" tanyanya sambil merapikan rambut tebal dan hitamnya. "Nggak ah. Belum shalat subuh," sahutku cepat, lalu segera bangkit dan menuju kamar mandi. Mungkin ini keberuntunganku, karena usai shalat subuh ternyata kulihat ponsel mas Reyfan tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku berjingkat mendekat, tiba-tiba timbul keinginan untuk memeriksa apakah ponsel itu masih diberi PIN atau tidak. Perlahan kuraih benda pipih itu dan lagi-lagi aku harus kecewa karna ternyata ponselnya masih dikunci. Dengan dahi berkerut, aku berusaha menebak sebenarnya berapa PIN yang dipakainya. Tapi nyatanya tak ada satu hal pun yang terlintas di kepalaku saat ini. Karena jengkel, akhirnya kuletakkan kembali ponsel tersebut di tempatnya semula. Namun baru saja ingin kulang
Aku menepikan mobil hati-hati di pinggir jalan yang tak terlalu ramai dan memarkirkannya mobil dengan sempurna. Pak Hasan, lelaki paruh baya yang sejak 5 hari yang lalu menjadi trainer menyetirku mengacungkan 2 jempolnya ke arahku. "Good job, Bu Hani!" ucapnya. "Saya sudah siap diajak plesiran keliling Jawa nih kalau kayak gini. Tinggal nunggu Surat Ijin Mengemudinya jadi aja, Bu. Siap tancap gas!" lanjutnya terkekeh. Aku pun tersenyum puas. Aku memang berlatih sangat keras beberapa hari ini demi mencapai tujuanku, melepaskan ketergantungan dari suami tercintaku yang sudah mulai berulah. "Terima kasih ya, Pak," kataku tulus pada trainer senior di sebuah lembaga kursus mengemudi itu. "Jadi hari ini terakhir saya ketemu Pak Hasan dong ya?" candaku padanya. "Ya jangan terakhir lah, Bu. Kesannya kok jadi kayak saya mau meninggal saja," orang tua itu terkekeh. "O iya ya." Kutepuk dahiku dan ikut meramaikan kekehannya. "Kalau gitu gimana kalau kita mak
[Hai Hani, sedang apa?] Pesan w******p dari Adam siang itu membuyarkan konsentrasiku yang sedang berselancar di internet mencari informasi peluang usaha. Karena sedang tak minat mengetik, segera saja kutekan nomor kontaknya untuk melakukan panggilan. "Hai, Dam. Apa kabar?" tanyaku. Sepertinya sudah beberapa hari kami memang tak saling bertegur sapa lagi. Tepatnya sejak dia mengirimkam video suamiku dengan si gadis belia di kampusnya waktu itu. "Baik, kamu sendiri?" "Baik juga, Alhamdulillah. Ada apa, Dam? Tumben chat? Ada yang penting kah?" "Nggak ada, Han. Cuma pengen tau kabar kamu aja. Bisa ketemu nggak?" tanyanya membuatku sedikit kaget. "Sekarang?" "Iya, kalau kamu nggak sibuk sih," ucapnya ragu. "Gimana ya, Dam, tapi suamiku sedang keluar kota tuh. Atau, gimana kalau kita ketemuan di rumah Bapak aja lagi?" usulku. Tapi sepertinya dia tidak begitu antusias dengan ajakanku. "Ooh gitu. Kalau gitu lain kali sesempatnya aja, Han. Aku cuma mau
Entah sudah berapa bulan aku tak mengunjungi rumah ini, aku lupa. Tapi, aku memang tidak begitu dekat dengan Mbak Ratri. Padahal, dia adalah satu satunya satu-satunya kakak ipar yang kupunya. Mas Reyfan adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Mbak Ratri, dia, dan satu lagi adik lelakinya, Irwan. Irwan sendiri masih duduk di bangku kuliah. Dengan Irwan, aku pun tak dekat, mungkin karena dia laki-laki. Sementara dengan Mbak Ratri, dari awal pernikahanku dengan Mas Reyfan, kutahu dia sosok yang sedikit tertutup. Dulu ketika masih sama-sama sering berkunjung ke rumah orang tua Mas Reyfan, kami masih agak lumayan sering ngobrol walaupun hanya basa-basi. Tapi setelah satu tahun kemudian suami mbak Ratri pergi dan kakak iparku itu menjanda, kami jarang berinteraksi. Mbak Ratri pun seperti menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Kami jarang bertemu lagi di rumah mertuaku. Kuingat terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini setahun yang lalu saat Mas Reyfan mengajakku mengan
"Jadi ini Mas yang kamu bilang ke Bali?" Mataku tajam menatap bergantian dua insan yang terlihat sedang sangat salah tingkah di depanku itu. Benar-benar tak kusangka kejadiannya akan sedramatis ini. Aku bahkan tak mengira akan memergoki suamiku berjalan bersama dengan gadis itu secepat ini. "Han, aku bisa jelaskan," Mas Reyfan bergerak maju mendekatiku. Sementara si gadis nampak terdiam mematung di tempatnya. Wajahnya menunduk lesu seperti seekor cacing yang takut akan diinjak. "Ya sudah, ayo jelaskan!" tantangku. "Ini ... ini nggak seperti yang kamu lihat, Han. Kita bisa duduk dulu kan, kita bicarakan baik-baik," bujuknya. "Bicara aja langsung sekarang! Aku sudah selesai dengan kakakmu, aku sudah mau pulang." Aku menoleh ke arah mbak Ratri yang juga masih mematung di tempatnya semula. Jelas sekali wajah wanita itu menyiratkan kecemasan. "Nggak nyangka ya Mas, kelakuan kamu di belakang aku ternyata kayak gini." Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil ber
Kami berdua duduk berhadapan di meja dapur. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawaran janjinya yang akan menuruti semua keinginanku jika aku mau memaafkannya, mendadak aku jadi antusias untuk segera membahasnya. Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma wangi kopi masing-masing yang merebak dari kedua cangkir di hadapan kami. "Jadi, apa yang kamu inginkan, Han?" Dia memulai pembicaraan. "Kamu masih ingat kan kemarin waktu kita packing pakaianmu saat kamu bilang mau ke Bali, Mas?" tanyaku mengingatkan. "Iya ingat." Dia mengangguk. "Aku mau memulai usaha. Kamu harus siapkan modal buat aku." "Sudah kamu hitung berapa yang kamu butuhkan?" "Siapkan saja 150 juta." "Apa? Itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak ada segitu. Kamu tau sendiri kan kemarin habis dipakai beli mobil kamu." "Memangnya berapa sisa tabungan kamu, Mas?" "Paling tinggal 50 juta aja," "Boleh aku liat?
"Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah. Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang. "Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya. Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu. "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas. Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kan
"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya. "Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik. Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku. "Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya. Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan. "Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?" "Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?" "Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan. "Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada." "Yakin?