Share

PIN PONSEL

Minggu pagi, kulihat dia bangun lebih awal. Saat aku mulai membuka mata, dia sudah rapi dengan pakaian olahraga dan sneakernya. 

    "Mau kemana, Mas?" tanyaku dengan suara masih serak khas bangun tidur.

    "Jogging. Mau ikut?" tanyanya sambil merapikan rambut tebal dan hitamnya.

    "Nggak ah. Belum shalat subuh," sahutku cepat, lalu segera bangkit dan menuju kamar mandi. 

    Mungkin ini keberuntunganku, karena usai shalat subuh ternyata kulihat ponsel mas Reyfan tergeletak begitu saja di atas nakas. Aku berjingkat mendekat, tiba-tiba timbul keinginan untuk memeriksa apakah ponsel itu masih diberi PIN atau tidak. 

    Perlahan kuraih benda pipih itu dan lagi-lagi aku harus kecewa karna ternyata ponselnya masih dikunci. Dengan dahi berkerut, aku berusaha menebak sebenarnya berapa PIN yang dipakainya. Tapi nyatanya tak ada satu hal pun yang terlintas di kepalaku saat ini. Karena jengkel, akhirnya kuletakkan kembali ponsel tersebut di tempatnya semula. Namun baru saja ingin kulangkahkan kaki keluar kamar, tiba-tiba ponsel itu berbunyi.

Beep!!

Refleks aku menoleh dan sedikit terkejut melihat layarnya menyala. Lebih terkejut lagi karena sepagi ini ada yang berkirim pesan padanya dengan nada begitu mesra.

    [Sayang, jadi jogging? Aku kangen.] 

'Shasha' adalah nama pengirim yang tertulis di layar.

    Glekk!! Aku menelan ludah, pahit. Sayang sekali ponsel itu terkunci. Jika saja tidak, mungkin aku sudah ngamuk pada perempuan yang pagi-pagi buta begini sudah menggoda suami orang. Dalam hati aku bertanya, mungkinkah perempuan ini sama dengan yang tempo hari dikirimi pesan suamiku dan justru malah terkirim padaku? Entahlah. 

    "Ada apa, Han?" 

Oops! Aku tertangkap basah. Mas Reyfan tiba-tiba sudah muncul dari pintu kamar yang memang sedari tadi terbuka. Dan ponselnya sedang nangkring di tanganku dengan indahnya saat ini.

    "Eh, Mas. Kok sudah balik? Cepet amat joggingnya?" Aku berusaha tidak menampakkan kekagetan.

    Dia berjalan mendekatiku, wajahnya yang sudah mulai berpeluh terlihat berkilat terkena cahaya lampu kamar yang masih menyala. Matanya menatap lekat padaku seolah ingin mencari tahu. 

    "Ponselnya ketinggalan ya, Sayang?" tanyaku sambil mengulurkan ponsel yang masih ku pegang. 

    "I-ya, baru inget kemarin Ruslan ngajakin jogging bareng. Aku mau telpon dia dulu," katanya sedikit gugup. 

    "Ooh." Ruslan adalah tetangga kompleks kami yang lumayan dekat dengannya. Aku membulatkan mulut seolah mengerti. Dikiranya aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya? "Oiya Mas. ngomong-ngomong, ponselnya sekarang dikunci ya? Tadi aku mau lihat kontak ibu, mau aku telpon tapi kontak di ponselku nggak sengaja terhapus," kataku berbohong.

    "Eeh ... iya. Memang dari dulu aku kunci kan ponselku." 

    "Oooh, ya maaf nggak tau, aku kan nggak pernah buka-buka ponselmu." 

Perlahan aku mendekatinya yang sekarang kulihat sedang membuka layar ponsel. Diam-diam kuperhatikan wajahnya dari dekat yang sedikit kaget, namun tak ditampakkannya. Aku tahu wajahnya seperti itu pasti karena pesan yang di kirimkan perempuan tadi padanya. Mungkin saat ini dia sedang bertanya-tanya apakah aku sudah membaca pesan itu atau belum. "Jadi berapa dong PIN nya?" Aku mencoba memecah konsentrasinya. 

    "Eh, apa? PIN? ponselku?" Dia terlihat sangat gugup. 

    "Iya, Sayang. Nggak ada apa-apa kan di ponsel, Mas? Nggak ada yang disembunyikan 'kan?" cerocosku dengan banyak pertanyaan, lalu mendekatinya sambil mengelus lengannya manja.

    "Enggak .. apa memangnya yang perlu disembunyikan?" Aku tahu dia berusaha meyakinkan, meskipun saat ini wajahnya tak bisa menyembunyikan kegugupan. 

    "Oke, kalau begitu berapa pin nya?"

    "Standard aja kok, 1234, masa nggak ngerti sih?" Nada kalimatnya terdengar sedikit jengkel sekarang. Dia berkata bahkan tanpa sedikitpun menatap ke arahku. 

    "Iya deh. Nanti aku pinjam kalau Mas udah selesai ya? Aku mau telpon ibu. Aku ke bawah dulu." pamitku.

Lalu aku melangkah meninggalkannya setelah mengecup lembut pipi kanannya. Aku mau lihat Mas apakah ada yang berubah dengan ponselmu setelah ini?

.

.

.

    Sarapan sudah siap, dan Keenan, anak semata wayangku pun sudah wangi. Selesai memandikannya aku meminta tolong Mbok Jum untuk menyuapinya, sedangkan aku bermaksud kembali ke kamar ingin segera membersihkan diri. Sebenarnya, juga ingin melihat apa yang sedang dilakukan Mas Reyfan karena sedari tadi aku belum melihatnya lagi turun dari lantai atas. 

    "Mas," kataku sengaja mengagetkannya. Dia menoleh dengan wajah kagetnya. Suamiku itu sedang duduk di pinggir ranjang memegang ponselnya, masih mengenakan pakaian olahraga dan sepatunya lengkap. Ngapain aja dia dari tadi? Dahiku berkerut.

    "Ngapain sih, Sayang? Nggak jadi jogging?" 

    "Eh, enggak, tiba-tiba males. Ruslan dihubungi nggak bisa," katanya.

    "Oooh, ya udah aku mandi dulu ya, habis ini kita sarapan." 

    Aku bergegas ke kamar mandi kami yang berada di dalam kamar. Melirik sekilas wajah suamiku yang nampak tidak tenang, sebelum akhirnya aku menghilang di balik pintu kamar mandi. 

    Saat akhirnya aku selesaikan mandiku, kulihat Mas Reyfan sudah tak ada. Entah kemana dia, tapi ponselnya tergeletak begitu saja di atas nakas. Dia meninggalkannya?

    Aku mengambil benda pipih itu setelah selesai berganti pakaian dan memoleskan make up tipis ke wajahku yang sudah terlihat segar. Aku sudah bersiap mengetikkan angka 1234 di layar ponsel, namun aku sedikit kaget karena ternyata ponsel itu kini tak terkunci lagi. Dia menonaktifkan PIN, dan refleks saja senyum di bibirku mengembang. 

    Segera saja kubuka layar ponsel yang kini tak lagi ber-PIN itu dan langsung menuju ke aplikasi hijau yang merupakan sumber kecurigaanku padanya. Menscroll layar dari atas sampai bawah dan aku sungguh tak heran saat pesan dari wanita bernama 'Shasha' tadi tak bisa kutemukan lagi di deretan chat whatsappnya. Tentu saja, dia pasti sudah menghapusnya. Aku tersenyum kecut.

    Sejurus kemudian aku sudah berselancar di chat pesan SMS, log panggilan, dan galeri. Semuanya bersih. Jadi, kamu sudah menghapus semuanya Mas? Kamu menghilangkan jejak? Aku sudah menduganya, itulah sebabnya kenapa dari tadi kamu tidak turun ke lantai bawah dan melanjutkan joggingmu. Setidaknya, ini semakin menguatkan bukti bahwa kamu memang sedang menyembunyikan bangkai dalam rumah tangga kita.

    Saat akhirnya kuputuskan turun ke lantai bawah untuk sarapan, kubawa serta ponselnya. Dan kukembangkan senyum manisku padanya yang sedang menggoda Keenan yang sedang disuapi mbok Jum. Rupanya dia sudah melepas sepatu dan kaos olahraganya. 

    "Mandi gih, Mas. Ayo sarapan. Aku lapar," kataku manja sambil mengulurkan ponsel padanya. Wajahnya terlihat lega saat menerima ponsel itu. Dan aku tahu alasannya, karena aku saat ini sedang tersenyum sangat manis padanya. Sama sekali tak kutampakkan kemarahan ataupun kecurigaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status