Share

SENYUMAN MAUT

Aku menepikan mobil hati-hati di pinggir jalan yang tak terlalu ramai dan memarkirkannya mobil dengan sempurna.

    Pak Hasan, lelaki paruh baya yang sejak 5 hari yang lalu menjadi trainer menyetirku mengacungkan 2 jempolnya ke arahku.

    "Good job, Bu Hani!" ucapnya. "Saya sudah siap diajak plesiran keliling Jawa nih kalau kayak gini. Tinggal nunggu Surat Ijin Mengemudinya jadi aja, Bu. Siap tancap gas!" lanjutnya terkekeh. 

    Aku pun tersenyum puas. Aku memang berlatih sangat keras beberapa hari ini demi mencapai tujuanku, melepaskan ketergantungan dari suami tercintaku yang sudah mulai berulah. 

    "Terima kasih ya, Pak," kataku tulus pada trainer senior di sebuah lembaga kursus mengemudi itu. "Jadi hari ini terakhir saya ketemu Pak Hasan dong ya?" candaku padanya. 

    "Ya jangan terakhir lah, Bu. Kesannya kok jadi kayak saya mau meninggal saja," orang tua itu terkekeh. 

    "O iya ya." Kutepuk dahiku dan ikut meramaikan kekehannya. 

    "Kalau gitu gimana kalau kita makan siang dulu Pak? Hitung-hitung ucapan terima kasih saya karena Bapak sudah sabar banget ngajarin saya." 

    "Oh boleh, Bu. Kebetulan, saya juga sudah lapar." Orang tua itu segera memakai kembali seatbelt yang tadi sempat dilepasnya. Dan aku pun melajukan mobil menuju ke restoran terdekat. 

    Kami memilih tempat duduk di dekat jendela restoran sambil menikmati lalu lalang kendaraan di jalanan kota. 

    "Cara nyetir Bu Hani terus terang bikin saya terkesan lho. Cara nikung, belok, nanjak untuk ukuran orang yang awam banget itu sangat lihai, Bu. Keren!" puji orang tua berkacamata itu, membuatku sedikit malu. 

    "Ah Bapak bisa saja. Saya masih grogi lho Pak ini." 

    "Saya serius lho Bu ini mujinya. Selama ngajarin pemula yang perempuan belum pernah secepat ini mahirnya."

    "Mungkin karena tekad saya gede kali ya Pak?" ucapku sambil terkekeh lagi. 

    "Memang pengen banget Bu bisa nyetir?"

    "Iya, Pak, soalnya anak sudah mau masuk sekolah, sedangkan suami bekerja. Jadi saya harus mandiri," jelasku.

    "Bener banget itu, Bu. Perempuan sekarang memang dituntut harus mandiri. Kalau nggak ya susah. Kayak istri saya nih Bu, biarpun usianya udah nggak muda lagi, tapi semangat kerjanya luar biasa. Saya yang kerjaannya hanya freelance kayak gini nih,  rasanya bersyukur memiliki istri kayak dia."

    "Oya? Istri Bapak memang kerja dimana?"

    "Di rumah, Bu, anak saya ada 5 orang. Semuanya masih membutuhkan biaya. Kalau bukan istri saya yang ulet, nggak tau deh saya bisa nyekolahin anak-anak saya sampai sekarang apa enggak."

    "Memangnya istri Pak Hasan kerja apa Pak di rumah?"

    "Dia pedagang online, Bu. Dulu awalnya saya hanya kasih dia modal 1 juta. Eh nggak nyangka dia bisa kembangin sampai sekarang omset dia sudah puluhan juta per bulannya."

    "Wah Alhamdulillah, hebat ya Pak?" ucapku tulus.

    "Iya, padahal kalau di rumah dia sambil ngurus kelima anak saya. Saya kadang juga bantuin sih kalau sedang off melatih. Tapi ya tetep saja dia ini bagi saya luar biasa."

    Aku termenung. Menatap orang tua di depanku dengan pandangan takjub. Bahagianya punya lelaki yang sangat bangga dan menghargai istri seperti Pak Hasan ini. Tetiba hatiku bertanya, pernah nggak ya Mas Reyfan memujiku di depan perempuan lain?

    "Istri Pak Hasan pasti bahagia sekali punya suami Bapak," gumamku.

    "Ah biasa saja, Bu Hani. Saya malah justru yang beruntung memiliki istri seperti itu. Dia jarang mengeluh meskipun kerjaannya banyak."

    "Hebat banget!" Sepertinya mataku berkaca-kaca mengucapkan kalimat itu. Di usianya yang separuh baya, mereka masih sempat untuk saling memuji pasangannya, berbangga, dan saling merasa beruntung memiliki satu sama lain. Seandainya kehidupanku dengan Mas Reyfan juga seindah itu. 

.

.

.

    Sepanjang perjalanan usai makan siang dengan Pak Hasan, pikiranku jadi terbuka. Terbersit keinginan untuk memaafkan, dan membicarakan ini secara baik-baik dengan Mas Reyfan. Tapi, mungkinkah dengan cara ini dia takkan mengulangi lagi hal yang sama? Bagaimana jika dia malah menjadi tambah tenang mencurangiku karena merasa aku tak lagi mencurigainya? Ah, sepertinya aku belum sanggup. Harus kupastikan dulu sebenarnya apa saja yang telah dia lakukan di belakangku. Apakah dia hanya bermain dengan gadis muda itu, atau ada hal lainnya lagi yang belum kutau?

    "Wah, cara parkir kamu keren, Sayang." 

    Aku kaget melihat Mas Reyfan ternyata sudah ada di belakangku saat aku keluar dari pintu mobil. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling sejenak. Oh pantas, mobil hatchback dia terparkir di pinggir jalan agak jauh dari rumah kami. 

    "Siang gini kok sudah ada di rumah, Mas?" tanyaku keheranan, mengerutkan dahi.

    "Iya, Mas mau siap-siap. Ada acara kantor mendadak ke Bali, Sayang."

    "Ke Bali?"

    "Iya." Dia mengangguk pasti.

    "Semendadak ini?"

    "He em." Dia mengangguk lagi. "Yuk!" ajaknya. Mataku sontak membulat.

    "Kemana? Aku diajak?" tanyaku antusias. Tapi dia justru terbahak.

    "Enggak dong, bantuin packing aku. Yuuk?" ajaknya lagi. Aku mendelik ke arahnya. Kirain mau diajak?

    "Serius Mas mau ke Bali?" tanyaku masih tak percaya di sela-sela kesibukanku merapikan pakaiannya ke koper.

    "Iya. Bos juga mendadak bilangnya tadi pagi."

    "Berapa hari?"

    "Cuma 2 hari kok."

    "Oh, ya sudah deh. Berarti bajunya kebanyakan. Yang ini sama ini nggak usah aja," kataku sambil mengeluarkan kembali beberapa pakaiannya dari koper. "By the way, jangan lupa oleh-olehnya lho."

    "Iya, beres lah itu."

    "Eh, oya Mas, ngomong-ngomomg kok aku jadi kepikiran pengen usaha ya, Mas?"

    "Usaha? Usaha apaan?" Dahinya mengernyit.

    "Ya usaha. Belum tau sih, nanti kupikirkan."

    "Memangnya kenapa sih? Masih belum cukup uang belanjanya ya?"

    "Bukan gitu sih, pengen ada kesibukan aja. Bosen di rumah terus. Tapi kalau uang bulanan mau ditambahin, boleh juga tuh," ucapku menggoda.

    "Serius? Pengen nambah berapa?"

    "Seikhlasnya aja deh. Tapi yang penting sih aku pengen usaha, Mas."

    "Ya pikirin dulu dong usahanya apa. Jangan usaha ntar gagal kan buang-buang duit jadinya."

    "Ya deh, nanti aku pikirin dulu. Tapi mas suntikin modalnya, ya kan?"

    "Lihat dulu dong nanti berapa butuhnya."

    "Lah, masak perhitungan gitu sama istri. Tinggal bilang 'iya' aja gitu kek. Ayolah. Ya, Sayang?" Aku mendekatinya, lalu memeluk pinggangnya erat sambil mendongakkan kepala tepat menatap ke bola matanya yang juga sontak jadi menatapku. Tak lupa kuhadiahkan senyum indah yang sangat menggoda. 

    "Ya deh, kita bicarakan nanti sepulang dari Bali. Ok?"

    "Oke Boss." Mataku pun berbinar dengan cerahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status