Share

TERTANGKAP BASAH

Entah sudah berapa bulan aku tak mengunjungi rumah ini, aku lupa. Tapi, aku memang tidak begitu dekat dengan Mbak Ratri. Padahal, dia adalah satu satunya satu-satunya kakak ipar yang kupunya. 

    Mas Reyfan adalah anak kedua dari 3 bersaudara, Mbak Ratri, dia, dan satu lagi adik lelakinya, Irwan. Irwan sendiri masih duduk di bangku kuliah. Dengan Irwan, aku pun tak dekat, mungkin karena dia laki-laki. 

    Sementara dengan Mbak Ratri, dari awal pernikahanku dengan Mas Reyfan, kutahu dia sosok yang sedikit tertutup. Dulu ketika masih sama-sama sering berkunjung ke rumah orang tua Mas Reyfan, kami masih agak lumayan  sering ngobrol walaupun hanya basa-basi. 

    Tapi setelah satu tahun kemudian suami mbak Ratri pergi dan kakak iparku itu menjanda, kami jarang berinteraksi. Mbak Ratri pun seperti menjadi lebih tertutup dari sebelumnya. Kami jarang bertemu lagi di rumah mertuaku. 

    Kuingat terakhir kali aku berkunjung ke rumah ini setahun yang lalu saat Mas Reyfan mengajakku mengantarkan oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota.

.

.

.

    Rumah ini lumayan besar. Dan Mba Ratri mendapatkannya dari mantan suaminya yang memang kaya. Kabarnya, lelaki itu meninggalkan kakak iparku karena tak kunjung mandapatkan keturunan. Entahlah, aku pun tak begitu paham dengan kehidupan rumah tangga mereka. 

    Saat aku turun dari mobil setelah memarkirkannya di tempat yang lumayan teduh di pinggir jalan dekat rumah besar itu, aku merasa sedikit heran, karena ada seorang lelaki tiba-tiba keluar dari dalam rumah. Mungkin usianya sepantaran dengan suamiku. Dia keluar dari rumah mbak Ratri dan langsung menuju sebuah mobil yang terparkir di halaman, kemudian tancap gas meninggalkan tempat itu.

    Mbak Ratri yang melihatku datang ternyata sudah menungguku di teras dengan senyum iritnya. 

    "Hani? Tumben ada apa?" tanyanya sambil mencium pipi kanan dan kiriku. 

    "Cuma mampir kok mba. Mbak Ratri sehat?" tanyaku basa-basi. Dia mengangguk dan aku menyerahkan seplastik kue yang tadi sempat kubeli dari toko yang kebetulan kulewati.

    "Kok repot-repot kamu bawa oleh-oleh segala, Han."

    "Enggak kok Mbak, tadi cuma kebetulan lewat aja." Sekilas kulihat dia melirik ke arah mobil yang kuparkir agak jauh dari rumahnya.

    "Mobil baru ya?" tanyanya penuh selidik. Aku tertawa berusaha mengajaknya bercanda.

    "Hadiah ulang tahun perkawinan dari mas Reyfan, Mbak."

    "Wah, hebat ya Reyfan sekarang," 

    Entah kenapa aku seperti mendengar nada kurang suka dalam kalimatnya itu, walaupun bibirnya masih nampak tersenyum saat mengucapkannya. Tak lama Mbak Ratri pun mengajakku masuk. 

.

.

.

    Saat sampai di dalam, betapa aku terkejut melihat ada yang ganjil di rumah itu. Di ruang tengah yang memang tak bersekat dengan ruang tamu, ada 2 orang gadis sedang menonton TV sambil ngobrol dengan sangat asik. Saat melihatku dan mbak Ratri masuk, mereka hanya tersenyum sekilas dan menganggukkan kepalanya sedikit ke arahku.

    Mungkin mbak Ratri melihat keherananku hingga akhirnya dia menjelaskan tanpa kuminta.

    "Itu anak-anak kost," katanya.

    "Kost?" Dahiku mengernyit.

    "Iya, sepi Han.di rumah sebesar ini sendirian. Jadi aku bikin  kamar-kamarnya untuk kost anak-nak kuliah. Sekalian buat teman aku ngobrol," katanya. Dan aku begitu terkejut. 

    "Kost cewek, Mbak?" tanyaku masih penasaran sambil mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

    "Ya iyalah Han, masa cowok. Gimana kata orang-orang nanti."

Untuk pertama kalinya semenjak aku datang, mbak Ratri terkekeh. 

    Dengan rasa sungguh penasaran, diam-diam kuperhatikan kedua gadis belia itu saat Mbak Ratri ke dalam mengambilkanku minuman. Aku mencoba mengingat-ingat diantara keduanya mana gadisnya suamiku, yang bernama Shasha itu. Tapi sepertinya bukan salah satu diantara mereka. 

    "Berapa orang Mbak yang kost disini?" tanyaku lagi masih sangat penasaran. Mbak Ratri membawakanku segelas jus instan dan sepiring kecil puding. 

    "Nggak banyak kok, cuma 6 orang. Itupun kadang datang dan pergi. Ganti-ganti, nggak tentu," jelasnya.

    "Mereka anak kuliahan kah? Sepertinya masih muda-muda?"

    "Iya, rata-rata kuliah." 

    "Oooh, cantik cantik ya anak jaman sekarang," pujiku basa-basi dan diiyakan dengan anggukan oleh kakak iparku itu.

    "Keenan apa kabar?" Tiba-tiba mbak Ratri mengarahkanku pada pembicaraan lain. Sepertinya dia memang terlihat tidak terlalu suka aku menanyakan banyak hal tentang anak-anak kost nya itu. 

    "Sehat Mbak, alhamdulillah. Tahun depan rencana aku masukkan sekolah kalau jadi. Soalnya aku suka kasihan, masih terlalu kecil kalau harus sekolah." 

    "Oh syukur kalau gitu." Aneh, karena aku merasa kakak iparku ini tidak sedang fokus dengan pembicaraan kami. Dia justru nampak seperti sedang sibuk dengan ponselnya yang dari tadi tak pernah dilepasnya dari genggaman.

    "Eemm Mbak nggak pernah ketemuan sama Mas Reyfan ya?"

    Aku mencoba memancing. Kuperhatikan wajah Mba Ratri seperti sedang menimbang sesuatu.

    "Kadang sih Reyfan kesini.  Kalau ibu nyuruh dia nganterin apa gitu, dia kesini." Kalimatnya terdengar tak terlalu yakin. Tapi aku berpura-pura mengangguk mengerti.

    "Ooh," aku jadi merasa sedikit bersalah mendengar itu karena selama ini aku tidak pernah berpikir untuk mengunjungi iparku ini. "Aku sebenarnya beberapa kali ngajak Mas Reyfan kesini Mbak, tapi Mas Reyfannya sibuk, nggak sempat terus," kataku beralibi, hanya agar terkesan kalau aku pun memperhatikannya. 

    "Nggak papa, santai saja. Mbak sudah banyak teman kok disini, jadi nggak sepi, Han." Mbak Ratri menjawabku sekenanya. Dia terlihat masih saja sibuk dengan ponsel di tangannya. Beberapa kali dia berbicara sambil mengetikkan sesuatu di layar, seperti sedang melakukan chat dengan seseorang. 

    Mengabaikan Mbak Ratri, aku mulai berpikir bagaimana caranya aku mengetahui keberadaan gadis itu di rumah ini. Karena setelah melihat anak-anak kost itu, aku semakin yakin kalau gadis belia yang disembunyikan suamiku itu memang tinggal disini. Tapi dimana dia? Kenapa tak nampak?

    "Anak-anak kost lainnya pada kemana, Mbak?" Iseng kulontarkan pertanyaan yang tak kusangka membuat wajah mbak Ratri nampak terkejut. 

    "Itu ... oh ... pada masuk kuliah tadi."

    "Oh." Mulutku kubuat membulat walaupun rasaku agak heran. Jarak kampus terdekat dari rumah ini yang kutahu lumayan jauh.Biasanya mahasiswa akan memilih rumah kost yang tak terlalu jauh dari kampusnya. Tapi, kenapa mereka justru memilih kost di sini? Tak ingin kakak iparku melihat rasa penasaranku, aku segera menyibukkan diri dengan berpura-pura menikmati puding yang tadi disuguhkannya. 

    Ada sekitar setengah jam mungkin aku berada di rumah Mbak Ratri, namun tak jua kutemukan wajah gadis bernama Shasha itu disana. Jika aku bertanya, justru nanti akan membuat Mbak Ratri curiga. Hingga akhirnya kuputuskan untuk berpamitan saja. Tapi aku merencanakan untuk kembali lagi kesini lain kali. 

    Mbak Ratri bangkit bermaksud mengantarku keluar. Tapi baru saja kulangkahkan satu kakiku keluar dari pintu kamar tamu, tiba-tiba sebuah mobil hatchback berwarna merah memasuki halaman rumah. Dan wajahku sontak merah padam karena aku sangat hafal dengan pemilik mobil tersebut. Sejenak aku menghentikan langkah, menoleh ke arah Mbak Ratri yang ternyata wajahnya terlihat sedang tak baik. Dia panik.

    Tanpa menghiraukannya lagi aku segera  berjalan menyeberangi teras, dan aku tak heran ketika dari dalam mobil itu aku melihat seorang pria dan gadis belia keluar bersamaan lalu berjalan beriringan menuju rumah. Sepertinya keduanya belum menyadari keberadanku yang sudah menunggu di ambang teras rumah, hingga akhirnya ketika laki-laki itu mendongak, wajahnya mendadak pucat saat matanya bertatapan denganku. 

    "Hani?!!" Dia terpekik kaget. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status