Share

PONSEL RAHASIA

    "Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah. 

    Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang.

    "Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya.

    Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu.

    "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas.

    Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kantor. Entahlah, apakah dia benar-benar sudah insyaf atau belum, aku sendiri kurang yakin. 

    "Keenan lagi apa, tadi kok Papa lihat lari-lari di halaman?" seloroh sang Papa. 

    "Kejar-kejar kucing, Pah," jawab anak itu dengan bahasa khas anak kecilnya. Mas Reyfan semakin gemas sampai mencubit hidung anak semata wayangnya tanpa ampun.

    "Habis ngapain, Sayang?" tanyanya padaku setelah menurunkan Keenan dari gendongannya.

    "Nggak ngapa-ngapain Mas, cuma ngobrol aja sama Mbok Jum." Dia segera menggandeng tangan mengajakku duduk.

    Sikap Mas Reyfan memang kurasakan semakin lembut dari hari ke hari. Namun perasaanku sendiri tak bisa dibohongi, sepertinya rasa cinta yang pernah kupunyai terhadapnya sudah semakin pudar akibat apa yang telah dia lakukan. Meskipun begitu, aku masih tetap berusaha bersikap normal karena aku tak ingin rencana yang telah kususun rapi gagal berantakan. 

    Uang 50 juta yang pernah kuminta sekarang sudah ada di tabunganku. Tinggal mencari cara untuk memutarnya menjadi sebuah usaha yang bisa kujadikan peganganku untuk mandiri nantinya. Sementara itu, rumah masih dalam proses balik atas namaku. Dan sepanjang menunggu waktu itu, aku akan terus bersikap selayaknya istri yang tak pernah tersakiti oleh suaminya.

    "Oiya, Sayang. Aku lupa. Aku tadi beliin mainan buat Keenan. Masih di mobil, tolong ambilin ya, di jok belakang." katanya sambil melepas sepatunya. Aku mengangguk dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja bersebelahan dengan ponsel Mas Reyfan.

    Aku segera bergegas keluar menuju garasi dimana mobil hatchback suamiku terparkir. Sesuai perintah, aku langsung membuka pintu kursi belakang mobil. Dan benar saja ada kardus mainan lumayan besar yang teronggok di sana. Tanganku segera meraihnya, dan dengan susah payah berusaha mengeluarkan kardus itu. Namun sebelum berhasil mengeluarkan benda yang lumayan besar itu tiba-tiba ada sesuatu yang berbunyi di dalam mobil. Aku kaget, sepertinya itu bunyi itu dari sebuah ponsel.

    Refleks kurogoh saku dasterku. Oh tidak, itu bukan ponselku, karena aku tidak mengantongi ponsel saat ini. Lalu ponsel siapa? Aku ingat bahwa ponsel mas Reyfan  tadi ada di atas meja dan diletakkan bersebelahan dengan kunci mobilnya. Mendadak perasaanku jadi tidak enak. 

    Kuletakkan kembali kardus mainan Keenan di tempatnya semula, lalu aku mencoba mencari-cari sumber suara deringan itu. Dimana? Sepertinya tidak disekitar jok depan atau belakang. Suara itu terdengar sangat kecil seperti teredam olah sesuatu. Ponsel siapa yang berdering itu? Mungkinkah Mas Reyfan menyimpan ponsel di dalam mobilnya? Tapi untuk apa?

    "Ada kan, Sayang?!" Aku kaget mendengar suara teriakannya dari dalam rumah. 

    "Iya Mas, ada. Sebentar. Susah keluarnya," sahutku. 

    Rasa penasaranku belum hilang, namun suara ponsel itu sudah tak lagi terdengar. 

    Karena tak ingin Mas Reyfan jadi curiga, aku pun segera mengeluarkan kardus mainan Keenan dan membawanya masuk. Tapi aku bertekad akan menemukan ponsel itu nanti. Karena aku begitu yakin, aku tidak salah dengar. Itu suara ponsel yang sepertinya sengaja disembunyikan di dalam mobil. Walaupun aku belum tahu di sebelah mana. 

.

.

.

    Malam harinya, aku menunggu Mas Reyfan terlelap. Aku berencana untuk menggeledah isi mobilnya. Masih sangat yakin ada sesuatu di dalam sana yang tidak aku ketahui. 

    Saat jam menunjuk pukul 10 aku sudah membaringkan diriku di kamar. Berharap Mas Reyfan segera menyusulku dan segera tertidur pulas. Tapi sepertinya penantianku masih akan lama, karena sampai satu jam kemudian pria itu tak jua muncul.

    Berulang kali aku menguap, tapi sekuat tenaga kutahan agar diriku tak sampai jatuh tertidur. Hingga akhirnya saat kantuk sudah benar-benar sangat menyiksa, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Mas Reyfan muncul dari sana. Tapi aku bergerak lebih cepat, menutup mata dan pura-pura sudah terlelap. 

    Dengan kantuk yang masih menyerang, kupaksakan untuk tetap terjaga hingga akhirnya setengah jam kemudian kudengar suara dengkuran halus di sampingku. Kulirik dari ekor mata, suamiku tercinta itu nampaknya langsung tertidur pulas.

    Mengendap-endap aku keluar dari kamar setelah meraih kunci mobil hatchbacknya di di atas nakas. Kali ini aku harus menemukan benda itu. 

    Dan saat sampai di bawah, kubuka pintu mobil dengan sangat pelan. Memulai pencarianku dari jok depan, laci dasboard sampai tempat-tempat tersembunyi yang kemungkinan bisa digunakan untuk menyembunyikan sebuah ponsel.  

    Kugunakan lampu ponselku untuk membantu penerangan. Berdoa semoga saja tidak ada satpam kompleks yang sedang lewat, karena akan celaka kalau sampai aku disangka maling. 

    Sampai ke jok belakang pun tak juga kutemukan benda sialan yang sedang kucari itu. Ya Tuhan, dimana kamu sembunyikan benda itu Mas? Wajahku mulai panik. Ini sudah terlalu lama aku mengobrak-abrik mobilnya. Aku takut dia terbangun dan menyadari aku dan kunci mobilnya tak ada di kamar. 

    Di tengah keputus-asaan aku baru ingat ternyata belum memeriksa bagasi belakang mobil. Segera saja kumelangkah berputar ke belakang, membuka pintu bagasi pelan-pelan. Hanya ada sandal, sepatu yang memang biasa Mas Reyfan taruh di sana serta beberapa benda-benda lain yang sudah kuhafal. Tak ada yang mencurigakan. 

    Namun aku masih saja penasaran. Ku obrak abrik benda-benda di bagasi itu sampai akhirnya aku terperanjat melihat sebuah slingbag yang tersembunyi di bawah karpet mobil. Slingbag kecil tanpa isi, sangat tipis. Siapa sangka akan berada di tempat seperti itu?

    Tanpa menunda lagi, kuambil sling bag itu dan tak sia-sia, aku menemukan sebuah ponsel disana. Dan aku sangat yakin ini adalah ponsel yang sama dengan yang aku dengar bunyinya tadi sore saat mengambil kardus mainan Keenan. 

    Beruntungnya karena ternyata ponsel itu tak dikunci. Aku yakin Mas Reyfan sengaja menyembunyikan ponsel ini dimobil karena ada tujuan tertentu. Mungkinkah dia masih berhubungan dengan si ayam kampus bernama Shasha itu?

    Tak mau terus-terusan penasaran, aku segera meluncur ke aplikasi chat di ponsel itu. Dan alangkah terkejutnya aku. Banyak chat dari nama Shasha disana, juga Mbak Ratri, dan nama-nama lainnya lagi yang tak ku kenal. 

    Chat dengan nama Shasha yang paling membuatku penasaran. Mataku begitu perih saat akhirnya aku tahu isinya. Chat-chat mesum itu, dengan gadis bernama Shasha itu, membuatku bergidik, jijik. Ya Tuhan, Mas Reyfan. Apa yang sedang kamu lakukan ini, Mas? Hampir saja tangisku pecah jika saja aku tak segera sadar bahwa aku harus kuat dengan semua kenyataan yang kutemui. Karena ini bukan pertama kalinya untukku.

Kulanjutkan dengan chat dengan nama mbak Ratri. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan. Aku mengira pasti namaku disebut-sebut dalam pembicaraan mereka. Dan ternyata aku salah, salah besar. Karena apa yang kutemukan ternyata sungguh di luar dugaan. Bagian terakhir chat suamiku yang saat ini seolah telah berubah menjadi manusia alim itu ternyata sungguh mencengangkan.

    [Hari minggu Cindy sudah booked? Kalau belum, ada temenku yang mau make dia.]

Degg!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status