Awas Typo:)
Happy Reading ....
***
Wah ..., Regina sungguh tidak percaya dia mendengar kalimat barusan. Pria ini kenapa bisa super dingin? Benarkah keluar dari rahim manusia? Bukan alien dari neptunus seperti di drama-drama korea itu?
"Jadi keluar."
Fuck! Mimik Regina kian terlihat bodoh.
"God," gumam si gadis mendramatisir keadaan. "Aku tidak memintamu tertarik padaku." Setelah itu berucap begini dengan senyum manis. Shit! Regina the real crazy girl.
Lihat Raymond, mimik datarnya sudah sangat terlihat malas. Itu memang benar, dia malas mengurus hal-hal seperti ini. Bagi Raymond semua yang berhubungan dengan kaum hawa pasti menyusahkan.
"Ke mana tujuan Anda?" Pasrah, Raymond memilih menuruti mau Regina dan mempercepat semuanya.
"Rumahmu."
Tapi, jawaban Regina Adinda Putri sungguh mengajak Raymond adu mulut, yang benar saja gadis ini.
"Saya sedang tidak minat mengurusi hal seperti ini, jika Anda tidak ada tujuan, keluar."
"Wahhh!"
Prok, prok, prok.
Regina bertepuk tangan, kegirangan karena dirinya berhasil memancing kalimat lumayan panjang dari Raymond.
"Lagi-lagi, ternyata kamu bisa melisankan kalimat panjang juga. Kirain tidak bisa," ucap Regina membawa tubuh menghadap Raymond yang sudah menahan umpatan.
Hebat, pria datar nan dingin mulai terpancing. Hati-hati, itu warning.
"Keluar."
"Tidak mau hihi."
Regina memang sinting betul, setelah bertepuk tangan kini justru cekikikan. Benar-benar tidak kenal takut.
Diam, hening. Raymond menggenggam stiur dengan satu tangannya, menatap Regina yang membalas tatapan itu tanpa ragu, bahkan senyum si gadis tak luntur walau aura kekesalan Raymond semakin terasa menajam.
"Apa mau Anda?"
"Kamu."
Mantap, sahutan Regina sangat cepat. Dan bagi Raymond sahutan itu seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Kalau sudah begini apa yang akan Raymond lakukan?
*****
Raymond memilih membawa Regina, tapi jangan salah. Niat Raymond hanya satu, menelantarkan gadis ini di pinggir tong sampah.
Entah tong sampah mana masih ia pertimbangankan. Well, saat ini Raymond berusaha fokus menyetir walau jujur ia tidak fokus, kenapa? Bisa-bisanya Regina seperti tak mempunyai sopan santun, membuka dashboard, memegang beberapa barang milik Raymond hingga hal lainnya. Ah! Dosa apa yang kemarin Raymond lakukan sampai dipertemukan dengan Regina?
"Kalau boleh tau-"
"Diam."
Nah, kepala si gadis perawan auto menoleh saat kalimatnya dipotong cepat oleh Raymond yang masih menatap lurus ke depan.
"Kenapa? Ada yang menguping di sini?" tanya Regina polos, salah, lebih tepatnya pura-pura polos, ia tahu Raymond sudah sangat kesal dengannya, dan pria itu berusaha menahan ledakan. Tapi, kalau boleh jujur justru ledakan itu incaran Regina. "Kenapa diam? Aku bertanya Pak Dosen." Memancing dengan nada dibuat-buat, Regina mau tahu sampai mana Raymond bisa bertahan.
Taraaa, ia dilirik.
"Penguntit?"
What?!
"Enak aja! Cantik begini dikatain penguntit, jangan asal mangap kamu ya." Regina auto mengomel, dia bukan penguntit. Dia hanya mencaritahu dari internet, beda, 'kan dengan penguntit?
"Dari mana Anda tahu?" tanya Raymond tidak lagi melirik.
"Ya dicari tahu."
"Itu penguntit."
"Stalker! Sial, berhenti bicara, kamu agak menyebalkan juga," kesal Regina sungguh tidak senang dikatain penguntit.
Raymond tersenyum tipis. Apa? Tersenyum? Bagus, walau itu hanya tipis tapi gerak Regina sangat cepat. Ini masih awal pertemuan dan dia berhasil membuat seorang Raymond Arthur William tersenyum tipis, hebat.
Hening. Regina memilih membuang wajah ke luar jendela, ia sedang berpikir akan berbuat apalagi, suer semua yang Regina lakukan sedari tadi hanya sikap spontannya. Bahkan dia tidak tahu mau apa ke rumah Raymond, itu benar-benar spontan. Oke iya mari tertawakan dia yang gila nan bodoh.
Cittt.
Tiba-tiba mobil berhenti.
"Kenapa berhenti?" pertanyaan bodoh Regina lontarkan.
"Karena ini rumah saya." Tapi Raymond menyahut datar.
Wait-wait, Regina mengintip ke luar jendela. Ah ..., Raymond tinggal di gedung apartemen elit dan sekarang mobil diparkirkan di parkiran lobby.
Si pria keluar.
Brak.
Pintu ditutup. Secepat mungkin Regina ikut keluar dari dalam sana, bagaimana pula dia mau terus di dalam jika yang punya sudah keluar.
Detik Regina keluar langsung saja Raymond kunci mobilnya, lantas pria itu mengambil langkah menuju gedung apartemen.
"Apa yang harus ku lakukan?" gumam Regina menatap punggung Raymond yang sudah melangkah lumayan jauh. "Bodo amat tancap gas aja," ucapnya memutuskan mengejar Raymond. Perihal apa yang terjadi ke depannya itu urusan nomor dua, yang pertama saat ini Regina hanya mau terus mengusik Raymond. "Huh!" Hela napas saat ia berhasil menyamakan langkah dengan si pria.
Raymond diam saja, terus melanjutkan langkahnya. Tidak mau tahu apa yang akan Regina lakukan, tapi ketika itu sudah sangat mengusiknya dapat ia pastikan Regina akan tahu Raymond yang sesungguhnya.
Raymond berhenti melangkah di depan lift, pria itu menekan tombol agar si kotak berjalan itu terbuka.
"Raymond," panggil Regina.
"Seberapa jauh Anda mencaritahu tentang saya?"
Ting.
Pintu lift terbuka, Raymond melangkah masuk, ya Regina mengikuti.
"Itu, lumayan. Kamu terkenal sih, mudah dicari tahu."
Ting.
Pintu lift tertutup, menelan dua anak manusia berbeda jenis kelamin dan usia itu.
Diam, Raymond tak menyahut lagi. Memilih diam menunggu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemennya.
"Aku tadi mau bertanya jadi lupa," gumam Regina tidak berbohong, ia tadi mau menanyakan sesuatu saat memanggil Raymond, namun pertanyaan pria itu membuat ia seketika lupa ingin menanyakan apa.
"Ah! Raymond, benar ya kamu jomblo?" Nah ini dia, ini yang ingin Regina tanyakan.
"Jomblo?"
"Kamu nggak tahu?!" terkejut.
"Tidak."
"Astaga-astaga norak banget! Jomblo saja tidak tahu." Dengan sangat ringan Regina mengatai seorang Raymond. Tapi ya memang benar, masa iya pria itu tidak tahu jomblo. Well, seharusnya Regina ingat, Raymond bukan human +62 alias warga Indonesia.
Ting.
Pintu lift terbuka, Raymond keluar. Tidak ambil peduli akan Regina, tadi ia menyahut karena iseng saja.
"Jomblo itu single, kamu single, 'kan?" Regina tetap mengikuti Raymond yang berjalan menuju pintu apartemennya.
"Jawab, Pak Dosen."
"Tidak, saya mau menikah. Untuk itu menjauhlah," jawab Raymond sudah berdiri di depan pintu apartemen, menoleh menatap Regina yang justru melipat tangan di bawah dada, menyandarkan tubuh ke dinding sisi pintu.
"Masa?" tanya Regina terdengar sangat tidak percaya.
"Saya mau memasukan pin."
"Masukan saja, aku juga tidak akan ingat."
Raymond menatap Regina serius, menelisik apakah gadis ini main-main atau tidak, hebatnya pacaran mata Regina terlihat tidak main-main.
Menghela napas lah Raymond, kembali menoleh menatap ke arah pintu, memasukan pin.
"Kamu benar single atau benar mau menikah?" ulang Regina bertanya.
Cklek.
Pintu terbuka, kepala Raymond menoleh, menatap Regina serius.
"Apapun status saya, yang perlu Anda tahu. Saya tidak tertarik dengan kaum hawa." Selesai. Raymond masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Regina yang semakin tertantang dibuatnya.
.
.
To Be Continued
Terbit: -04/Februari-2k21
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu gay?!" Boom! Tubuh Raymond berbalik menatap ke arah belakang tubuhnya. Apa-apaan ini?! Regina ikut masuk ke dalam? Demi upin ipin si perawan semakin gila. "Tidak dan keluar," jawab juga usir Raymond menatap Regina penuh peringatan. Kepala gadis itu menggeleng, tanda ia tidak mau keluar. "Terus kalau nggak gay apa? Kenapa tidak tertarik dengan kaum hawa? Kamu masih perjaka ya?" Serobot terus, Regina tidak tahu diri. Raymond diam, ia kehabisan cara lembut. Apa harus ia pakai cara kasar? Tapi dia tidak pernah mau mengkasari kaum hawa, karena apa? Jika ia mengkasari kaum hawa sama saja ia juga mengkasari mamanya secara tak langsung. "Saya mohon, keluar." Untuk itu dengan segenap kekesalan yang tertahan Raymond melisankan satu kata, mohon! O-wow sekali Regina bisa membuat seorang Raymond berada di posisi ini. "Jawab pertanyaanku lalu aku keluar." Oke deal, Raymond akan menurut untuk kesekian kalinya. Tadi ia sudah gagal menelantarkan gadi
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Akan Raymond ingat bahwa gadis bar bar tahu caranya mati dengan bermartabat. Kalimat itu pasti memiliki makna yang luas, mendalam. Jadi yang modelannya seperti Regina tak bisa Raymond anggap remeh. "Dor!" "Shit." Tuh kan! Baru juga Raymond membuka pintu apartemennya sebab ingin berangkat kerja eh sudah muncul saja yang seharian kemarin mengganggunya. Ini masih pukul delapan pagi, jangan bilang Regina subuh waktu Melbourne sudah berangkat menuju apartemen Raymond. Tapi ya, itu memang benar. Bahkan Regina sudah berdiri di depan kamar apartemen Raymond sejak empat puluh lima menit yang lalu, eh tidak berdiri tapi duduk. "Calon suami mau berangkat kerja ya? Oh my god tampan sekali," ucap Regina menyatukan kesepuluh jarinya, menatap Raymond dengan mata yang berkedip-kedip ala puppy eyes. Raymond diam, tidak ada membuka suara. Agaknya mendiamkan jalan terbaik bukan? Semoga ia tidak salah pilih jalan. Mengambil langkah, Raymond sadar ia diikuti.
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond memulai bab ini dengan mengadahkan tangan ke depan wajah Regina, meminta kunci mobilnya setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit tempat Raymond bekerja. Gadis itu yang masih pasang senyum manis menjatuhkan kunci mobil ke atas telapak tangan mengadah Raymond. "Pergilah," ucap pria itu membalikan tubuh, menyimpan kunci mobil ke dalam saku celana. Regina mengejar, ambil posisi di depan Raymond. "Aku cuti, mau sama kamu seharian," ucap gadis itu berjalan mundur di depan si pria yang baru saja mendengar kabar duka. Bersama Raymond seharian? Bagus, segera galikan kuburan untuk mister William yang terhormat. "Saya mau bekerja." "Aku akan duduk diam hanya menatap." Senyum Regina masih terpasang baik, dan langkah pun masih sama. Dia mundur, Raymond maju. "Seharusnya Anda tahu pekerjaan psikiater." Tep. Tangan kanan Raymond terjulur tiba-tiba menahan tubuh Regina, tidak, bahkan menariknya. "Jalan dengan benar." Lalu berucap sepert
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina menepati janjinya, tidak akan membuat ulah, hanya diam dan melihat Raymond yang sedari pagi masih sibuk dengan laptop. Entah berbuat apa Regina tidak tahu yang pasti bagian dari pekerjaan si pria. Lantas apa kegiatan Regina selama hampir empat jam sudah berlalu? Mengerjakan tugas! Yaps, biar dia ambil cuti kerja tapi yang namanya kuliah dan tugas mana mungkin bisa gadis itu tinggalkan. Apalagi dia bagian dari mahasiswi pengejar beasiswa, sudah pasti hidupnya tak jauh-jauh dari tugas. Well, seperti yang semua tahu, Regina mengambil jurusan music. Dan jujur itu karena kemauannya sendiri, sukur puji syukur orangtuanya tidak pernah melarang, sebab apa? Mereka melihat bakat sang anak memang ada di sana, suara Regina sangat merdu saat bernyanyi. Kalau kata remaja +62, aduh pasti mbaknya tidak pernah makan gorengan, atau suaranya sopan benar masuk telinga, bisa jadi- fix suaranya sama adem seperti ubin masjid. Begitulah kira-kira, dan mari tungg
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond sungguh tidak tahu suntikan racun macam apa yang Jefri masukan ke dalam otak sinting Regina. Tapi detik ini, saat mereka sedang berada di jalan mau pulang, senyum Regina tak luntur sama sekali. Wanita itu mempertahankan senyum yang sangat mencurigakan bagi Raymond, bentuk tarikan sudut bibirnya begitu berbeda. Oke, katakan Raymond terlalu parnoan, tapi itu memang benar, tidak salah sama sekali, dia memang parnoan. Regina tak diracuni saja sudah gila, apalagi jika diracuni. Lebih baik kisah ini bubar karena berapa pun bayaran untuk Raymond, dia sungguh tidak kuat. "Kita dinner apa, Handsome?" "Tidak tahu," menjawab singkat nan datar. Raymond fokus menyetir, akhirnya dia selalu mengalah dengan Regina. Gadis itu mau ini, dia berikan, mau itu, ya dia berikan. "Di kulkas kamu masih ada bahan masakan bukan?" "Ada." Demi apapun punggung Raymond lelah, tolong jangan ditambah-tambah. Biarkan dia tenang dengan hening. "Oke, nanti aku masa
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina membuka matanya pelan-pelan, rasa di kepala lumayan pusing. Dapat dipastikan itu karena jam tidurnya berlebihan, pasti. Maka meregangkan tubuh dan bersiap memeriksa jam adalah incaran Regina. Well, ia membawa tubuh duduk terlebih dulu, wait, kenapa apartemennya mendadak berbeda? Perasaan tidak begini. Satu ..., dua, dahi Regina mengerut, otak berputar dan indera penciuman menangkap aroma masakan. Tik, tok. Regina masih berusaha memutar otaknya. Sampai. "Raymond!" Dia ingat ini apartemen dan ranjang Raymond Arthur William. Di mana pria itu? Segera menuruni ranjang, Regina dengan rambut khas singa betina berlari kecil menuju kichen. "Ray!" panggilnya menemukan punggung mister William yang sedang mengambil sesuatu di lemari piring. Pria itu tidak terkejut, tidak juga menyahut. Ya dia tetap melakukan kegiatannya, sampai tiba-tiba Regina menarik satu tangannya, menarik tubuh besar yang pasrah menjauh dari lemari piring. "Kamu ngapain? Ya a
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu nungguin aku? Ih, baik banget." Regina menatap tidak percaya saat Raymond belum menyentuh makanannya.c"Tapi udah dingin, pasti kurang enak deh," melanjutkan, Regina ambil duduk di kursi yang tersisa. Sedang Raymond hanya diam, tidak menyahuti namun tangan kanan dan kirinya bergerak menjangkau pisau juga garpu untuk memulai sarapan.c"Ck, kalau orang ngomong ya disahutin gitu, Ray, dasar," ucap Regina menjulurkan tangan kirinya, mencubit pipi kanan Raymond yang auto melirik. "Apa-apa? Apa lihat-lihat?" tantang Regina beralih mengusap yang ia cubit dengan punggung tangan. Raymond memutar bola mata malas, tingkah laku perawan satu ini memang tidak kenal takut. Syukur ketemu dengan Raymond yang malas adu mulut. "Makan," kata pria itu agar Regina segera makan dan tidak bisa bicara karena mulutnya dipenuhi makanan. "Iya-iya, Abang, eh tahu Abang nggak?" Raymond hela napas, ia masih lagi baru mulai memotong daging, tapi dengar? Regina justru melon
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Brak. Pintu apartemen baru saja tertutup menelan sang ibu negara alias nyonya besar Willam, menyisakan Regina bersama si tuan muda Raymond Arthur William. Hening, belum ada suara dan detik ini kedua netra bening Regina yang sempat menghipnotis Raymond masih menatap ke arah pintu, belum dan tidak akan berani menatap si pria yang duduk di sisinya. Perfect, agaknya Regina harus kabur dari sini sebelum mendapatkan amukan seorang mister William. Apalagi aura Raymond sudah sangat siap menelan seseorang, ah Regina memang kudu bergerak cepat. Menarik napas, gadis nakal yang otaknya sangat cerdas dalam menyiksa Raymond itu berdiri dari duduk. "Duduk." Namun suara datar nan dingin terdengar memerintah tegas agar Regina kembali duduk. Ya karena takut, Regina kembali duduk, daripada dibunuh dan mati sebelum menikah lebih baik manut pada komandan. Tapi tetap, tidak berani menatap. Hening lagi, Regina tutup mulut menunggu Raymond yang memang betah membisu