Awas Typo:)
Happy Reading ....
***
Raymond memulai bab ini dengan mengadahkan tangan ke depan wajah Regina, meminta kunci mobilnya setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit tempat Raymond bekerja.
Gadis itu yang masih pasang senyum manis menjatuhkan kunci mobil ke atas telapak tangan mengadah Raymond.
"Pergilah," ucap pria itu membalikan tubuh, menyimpan kunci mobil ke dalam saku celana.
Regina mengejar, ambil posisi di depan Raymond.
"Aku cuti, mau sama kamu seharian," ucap gadis itu berjalan mundur di depan si pria yang baru saja mendengar kabar duka.
Bersama Raymond seharian? Bagus, segera galikan kuburan untuk mister William yang terhormat.
"Saya mau bekerja."
"Aku akan duduk diam hanya menatap."
Senyum Regina masih terpasang baik, dan langkah pun masih sama. Dia mundur, Raymond maju.
"Seharusnya Anda tahu pekerjaan psikiater."
Tep.
Tangan kanan Raymond terjulur tiba-tiba menahan tubuh Regina, tidak, bahkan menariknya.
"Jalan dengan benar." Lalu berucap seperti ini sebab perawan bar bar hampir saja menabrak seseorang.
"Hehe iya-iya," cengir Regina mendekati Raymond, ambil posisi di sisi kanan si pria.
Jika tadi saat di gedung apartemen Regina merangkul lengan Raymond, maka sekarang masih dengan kebernian yang dia punya, Regina merangkul pinggang pria itu, mendungakan kepala bersama senyum manis. "Janji nggak akan ganggu," bisiknya saat Raymond menunduk menatap aksi gila si gadis.
Kalau begini sudah fix Raymond akan menjadi bahan ghibah semua perawat. Percayalah, dia pastikan itu.
"Hah ...." Menghela napas, Raymond pasrah saja. Terserah Regina mau apa, jika gadis itu bosan pasti berhenti.
So, melanjutkan langkah bersama adalah pilihan Raymond Arthur William walau jelas mereka sudah menjadi lirikan beberapa perawat dan pasien.
"Banyak yang iri sama aku," bisik Regina masih tetap mendunga menatap Raymond yang merangkul bahunya, karena tidak mungkin Raymond berjalan dirangkul tanpa balas merangkul, lebih baik menyamankan diri bukan? Tentu saja.
"Kalau nanti kamu ditanya, Dokter itu siapanya Dokter? Kamu jawab apa?" Iseng, Regina super menikmati sikap pasrah Raymond.
"Fans."
Mampus!
Ciut!
Terang langsung saja Regina menyematkan satu cubitan di perut Raymond yang menunduk menatapnya terkejut. Apa salah Ray sampai dicubit?
"Aku calon istri kamu, enak aja fans-fans, nggak ada yang ngefans sama kamu," omel Regina menyipitkan mata dengan mimik kesal.
Bahu Raymond mengedik ringan, mereka sudah sampai di depan pintu ruangannya.
Sadar tidak sadar, mereka memang terlihat seperti suami dan istri. Raymond memang sudah sangat pas menikah, Regina sendiri belum terlalu tapi entah kenapa berada dalam rangkulan Raymond menjadi pas untuk segera dihalalkan.
Cklek.
Membuka pintu ruangannya, Raymond melepas rangkulan, Regina pun melakukan hal yang sama.
Pintu tertutup, Regina menatap seluruh area ruangan Raymond. Gila, ini sih besar nan mewah. Dari luar boleh terlihat biasa saja tapi saat masuk, hkm! Sudah seperti kamar apartemen pria itu.
"Anda sudah sarapan?"
Secepat kilat Regina menoleh, menatap ke arah Raymond yang sedang berdiri di belakang meja kerja pria itu.
Wait-wait, telinga Regina tidak salah dengar bukan? Itu tadi Raymond menanyakan dia sudah sarapan atau belum? Benar, 'kan?
"Apa, Mister William?" tanya Regina ingin memastikan.
Raymond meliriknya, pria itu mendudukan diri ke atas kursi kerja.
"Jika belum bisa ke kantin." Bukannya menjawab, Raymond justru melisankan kalimat ini. Keturunan keluarga William itu menatap Regina datar, lalu kegiatan yang dilakukan adalah menggulung lengan kemejanya. Sebab apa? Raymond ingin sarapan.
"Nggak mauuu!" sahut Regina berjalan mendekati Raymond. "Mau minta sarapan kamu," lanjut si gadis menarik tangan kanan Raymond agar ia bisa masuk ke dalam kurungan kedua lengan pria itu.
Regina Adinda Putri mendudukan diri ke atas pangkuan Raymond Arthur William.
Well, memang setiap pagi si pria pasti disediakan sarapan, itu atas perintah mamanya yang yakin sekali Raymond tak sempat mengutak-atik dapur.
Sebenarnya mama pria ini selalu mengomel karena Raymond yang tidak mau tinggal di rumah. Jawaban pria itu, terlalu jauh dari kampus, terlalu jauh dari rumah sakit.
Iya sih, kalau dari rumah menuju kampus bisa memakan waktu dua jam, sedang dari apartemen hanya setengah jam. Perbedaan yang sangat jauh bukan?
Sedang dari rumah menuju rumah sakit memakan waktu dua jam setengah yang mana jika dari apartemen Raymond hanya butuh satu jam.
"Rambut kamu panjang," bisik Regina menatap rambut Raymond. Gadis itu sedang menahan tangan yang sangat gatal ingin menyisir rambut si pria.
Tidak ada jawaban, Raymond memilih membuka kotak bekal yang sudah tersedia di atas mejanya tadi. Biarkan saja dulu si bar bar berkarya, seperti yang Raymond katakan. Nanti juga berhenti sendiri kalau sudah lelah.
Hening, kaum adam menarik sendok dan garpu. Kaum hawa membawa kedua tangannya naik, melingkar di leher si kaum adam.
Berusaha menahan diri dan kalimat, Regina tidak menyangka pria ini luar biasa berkali lipat lebih tampan saat dilihat dari dekat.
Dewa-dewaan? Rasa Regina kalah, ketampanan Raymond sudah di ambang batas bagi Regina. Catat, bagi Regina. Tidak tahu kalau yang lain.
Bye the way, saat ini tangan kanan Regina mulai aktif. Gadis itu membawa jalan menuju bahu Raymond yang baru meneguk air sebelum berniat menyuapkan sesendok sarapan. Menu pagi ini omlet dengan salad sayur.
"Kamu nggak minat pangkas?" bisik Regina sekedar bertanya, bukan niat mengatur.
Raymond tidak menjawab, tapi ia juga bertanya pada dirinya sendiri. Kapan dia ada waktu untuk pangkas? Belakangan saja pekerjaan semakin padat.
"Sibuk banget ya?" tebak Regina bisa membaca kerutan di dahi Raymond yang auto meliriknya.
"Aku pangkaskan mau? Nanti malam. Sekalian cukur."
"Tidak."
"Eiyyy aku pernah bekerja di salon pria tau."
"Tetap tidak."
Regina geleng kepala, lagi dan lagi bersama keberanian kali ini menyentuh rahang berbulu Raymond. Brewok betul.
"Kelihatan tampan sih, tapi pasti lepas brewok semakin tampan, baby face," ucap Regina sedikit menggaruk-garuk brewok Raymond yang sedang mengunyah.
Pria itu mendengarkan, ia juga agak risih namun memang tidak ada waktu. Apa dia terima saja tawaran Regina malam ini?
"Oke deal," putus Regina saat Raymond masih berpikir. "Udah lanjut sarapannya, setelah kamu sarapan aku keluar cari sarapan untuk cacing aku hihi," lanjutan, Regina menoleh menatap ke arah sarapan Raymond. Sehat sekali, siapa coba yang menyediakan?
"Makan," ucap si pria tiba-tiba meletakan sendok agar dijangkau oleh Regina yang tentu dengan senang hati menurut.
.
.
To Be Continued
Terbit: -04/Februari-2k21
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina menepati janjinya, tidak akan membuat ulah, hanya diam dan melihat Raymond yang sedari pagi masih sibuk dengan laptop. Entah berbuat apa Regina tidak tahu yang pasti bagian dari pekerjaan si pria. Lantas apa kegiatan Regina selama hampir empat jam sudah berlalu? Mengerjakan tugas! Yaps, biar dia ambil cuti kerja tapi yang namanya kuliah dan tugas mana mungkin bisa gadis itu tinggalkan. Apalagi dia bagian dari mahasiswi pengejar beasiswa, sudah pasti hidupnya tak jauh-jauh dari tugas. Well, seperti yang semua tahu, Regina mengambil jurusan music. Dan jujur itu karena kemauannya sendiri, sukur puji syukur orangtuanya tidak pernah melarang, sebab apa? Mereka melihat bakat sang anak memang ada di sana, suara Regina sangat merdu saat bernyanyi. Kalau kata remaja +62, aduh pasti mbaknya tidak pernah makan gorengan, atau suaranya sopan benar masuk telinga, bisa jadi- fix suaranya sama adem seperti ubin masjid. Begitulah kira-kira, dan mari tungg
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond sungguh tidak tahu suntikan racun macam apa yang Jefri masukan ke dalam otak sinting Regina. Tapi detik ini, saat mereka sedang berada di jalan mau pulang, senyum Regina tak luntur sama sekali. Wanita itu mempertahankan senyum yang sangat mencurigakan bagi Raymond, bentuk tarikan sudut bibirnya begitu berbeda. Oke, katakan Raymond terlalu parnoan, tapi itu memang benar, tidak salah sama sekali, dia memang parnoan. Regina tak diracuni saja sudah gila, apalagi jika diracuni. Lebih baik kisah ini bubar karena berapa pun bayaran untuk Raymond, dia sungguh tidak kuat. "Kita dinner apa, Handsome?" "Tidak tahu," menjawab singkat nan datar. Raymond fokus menyetir, akhirnya dia selalu mengalah dengan Regina. Gadis itu mau ini, dia berikan, mau itu, ya dia berikan. "Di kulkas kamu masih ada bahan masakan bukan?" "Ada." Demi apapun punggung Raymond lelah, tolong jangan ditambah-tambah. Biarkan dia tenang dengan hening. "Oke, nanti aku masa
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina membuka matanya pelan-pelan, rasa di kepala lumayan pusing. Dapat dipastikan itu karena jam tidurnya berlebihan, pasti. Maka meregangkan tubuh dan bersiap memeriksa jam adalah incaran Regina. Well, ia membawa tubuh duduk terlebih dulu, wait, kenapa apartemennya mendadak berbeda? Perasaan tidak begini. Satu ..., dua, dahi Regina mengerut, otak berputar dan indera penciuman menangkap aroma masakan. Tik, tok. Regina masih berusaha memutar otaknya. Sampai. "Raymond!" Dia ingat ini apartemen dan ranjang Raymond Arthur William. Di mana pria itu? Segera menuruni ranjang, Regina dengan rambut khas singa betina berlari kecil menuju kichen. "Ray!" panggilnya menemukan punggung mister William yang sedang mengambil sesuatu di lemari piring. Pria itu tidak terkejut, tidak juga menyahut. Ya dia tetap melakukan kegiatannya, sampai tiba-tiba Regina menarik satu tangannya, menarik tubuh besar yang pasrah menjauh dari lemari piring. "Kamu ngapain? Ya a
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu nungguin aku? Ih, baik banget." Regina menatap tidak percaya saat Raymond belum menyentuh makanannya.c"Tapi udah dingin, pasti kurang enak deh," melanjutkan, Regina ambil duduk di kursi yang tersisa. Sedang Raymond hanya diam, tidak menyahuti namun tangan kanan dan kirinya bergerak menjangkau pisau juga garpu untuk memulai sarapan.c"Ck, kalau orang ngomong ya disahutin gitu, Ray, dasar," ucap Regina menjulurkan tangan kirinya, mencubit pipi kanan Raymond yang auto melirik. "Apa-apa? Apa lihat-lihat?" tantang Regina beralih mengusap yang ia cubit dengan punggung tangan. Raymond memutar bola mata malas, tingkah laku perawan satu ini memang tidak kenal takut. Syukur ketemu dengan Raymond yang malas adu mulut. "Makan," kata pria itu agar Regina segera makan dan tidak bisa bicara karena mulutnya dipenuhi makanan. "Iya-iya, Abang, eh tahu Abang nggak?" Raymond hela napas, ia masih lagi baru mulai memotong daging, tapi dengar? Regina justru melon
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Brak. Pintu apartemen baru saja tertutup menelan sang ibu negara alias nyonya besar Willam, menyisakan Regina bersama si tuan muda Raymond Arthur William. Hening, belum ada suara dan detik ini kedua netra bening Regina yang sempat menghipnotis Raymond masih menatap ke arah pintu, belum dan tidak akan berani menatap si pria yang duduk di sisinya. Perfect, agaknya Regina harus kabur dari sini sebelum mendapatkan amukan seorang mister William. Apalagi aura Raymond sudah sangat siap menelan seseorang, ah Regina memang kudu bergerak cepat. Menarik napas, gadis nakal yang otaknya sangat cerdas dalam menyiksa Raymond itu berdiri dari duduk. "Duduk." Namun suara datar nan dingin terdengar memerintah tegas agar Regina kembali duduk. Ya karena takut, Regina kembali duduk, daripada dibunuh dan mati sebelum menikah lebih baik manut pada komandan. Tapi tetap, tidak berani menatap. Hening lagi, Regina tutup mulut menunggu Raymond yang memang betah membisu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu kenapa gila banget sih, Bang! Ya ampun aku mau dapat uang dari mana coba? Daftar kerja di sana saja pesaingnya banyak, syukur ini wajah cantik jadi diterima. Tapi seenak jidat kamu, arghhh kesal! Tanggung jawab ya kamu kalau aku beneran dipecat, biayain hidup aku titik!" Mantap. Hanya Regina yang sanggup berbicara kalimat sepanjang itu dengan sangat cepat, dan hanya Raymond yang tahan diam saja padahal sudah seperti dibacai pasal-pasal kehidupan. Sungguh mereka saling melengkapi bukan? "Ini kita mau ke mana pula?" tanya Regina saat sadar ini bukan jalan ke apartemen Raymond atau apartemennya. Si pria diam, tetap diam maksudnya. "Huh! Susah punya calon suami yang hobby bisu," kesal Regina bete luar biasa. Lihat dia, masih menggunakan seragam kerja. Hening. Mustahil Raymond buka suara, pria itu menyiapkan beberapa kalimat singkat yang cocok ia lontarkan untuk Regina nanti. Well, semenit dua menit sudah pasti terlalui, dan sekarang Regina
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu yakin?" tanya Raymond menatap Regina serius. "Why not? Aku tidak sabar malam pertama kita." Raymond menghembuskan napas pelan, "Ikut aku." Lalu, lagi-lagi memerintah Regina agar ikut dengannya. Oh ya kali ini si gadis tidak kesal, yang ada sangat amat bersemangat. Ada kejutan apa lagi yang akan pria itu berikan kepadanya? Mereka keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju lantai satu. "Tunggu di meja makan," titah Ray berjalan berlawanan dari meja makan. Tanpa mau banyak tanya Regina ambil langkah menuju dapur rumah. Jujur ia masih terkagum-kagum, dan sekarang dia yakin. Ini rumah Raymond, pasti! Karena apa? Lantai dua jawabannya. Mendudukan diri ke atas kursi makan, Regina sungguh tidak menyangka Raymond sudah mempersiapkan semuanya. Thanks to God sebab sudah mempertemukan mereka berdua, thanks! Regina happy parah, happy pokoknya happy! Semoga kehappyan itu bertahan lama. Suara langkah tegas terdengar, Regina menatap ke arah san
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Drt, drt, drt. Ada suara getaran ponsel dipagi hari. Drt. Lagi dan terus, jelas dari getarannya tanda ada sebuah panggilan. "Egh ...." Satu manusia mulai terganggu, salah, keduanya terganggu namun yang satu tidak mengerang bersuara, dan benar Raymond adalah bagian yang tidak bersuara. Pria itu membuka mata pelan-pelan, merasakan tubuhnya semakin dipeluk erat. Benar lagi, pelaku pemelukan adalah Regina. Gadis itu menguselkan wajahnya ke dalam ceruk leher Raymond yang sedang menjulurkan tangan kiri guna menjangkau ponsel di atas nakas sisi ranjang. Mama calling .... Bagus, induk singa jantan mau apa pagi-pagi sekali begini sudah heboh? Semoga membawa kabar baik. "Iya, Ma?" ucap Ray serak khas bangun tidur saat ia menerima panggilan. 'Siap-siap, dua jam lagi kita berangkat ke Indonesia.' Bib. Sambungan terputus. Dahi Raymond mengerut, sebentar, apa tadi? Siap-siap, iya benar. Dua jam lagi kita berangkat ke Indonesia, what?! Mau apa pula ke