Awas Typo:)
Happy Reading ....
***
Regina menepati janjinya, tidak akan membuat ulah, hanya diam dan melihat Raymond yang sedari pagi masih sibuk dengan laptop. Entah berbuat apa Regina tidak tahu yang pasti bagian dari pekerjaan si pria.
Lantas apa kegiatan Regina selama hampir empat jam sudah berlalu? Mengerjakan tugas! Yaps, biar dia ambil cuti kerja tapi yang namanya kuliah dan tugas mana mungkin bisa gadis itu tinggalkan. Apalagi dia bagian dari mahasiswi pengejar beasiswa, sudah pasti hidupnya tak jauh-jauh dari tugas.
Well, seperti yang semua tahu, Regina mengambil jurusan music. Dan jujur itu karena kemauannya sendiri, sukur puji syukur orangtuanya tidak pernah melarang, sebab apa? Mereka melihat bakat sang anak memang ada di sana, suara Regina sangat merdu saat bernyanyi. Kalau kata remaja +62, aduh pasti mbaknya tidak pernah makan gorengan, atau suaranya sopan benar masuk telinga, bisa jadi- fix suaranya sama adem seperti ubin masjid. Begitulah kira-kira, dan mari tunggu sampai Raymond ternganga mendengar suara Regina.
Tidak perlu banyak bicara, gadis itu sedang mendapatkan tugas membuat lirik lagu, dan Raymond yang sibuk mendata jadwal temu dengan pasiennya jelas mendengar si gadis berulang kali mencoret kertas. Iya Regina menulisnya di note bukan di ponsel atau laptop.
"Jangan berisik," ucap Raymond menegur. "Kalau lelah minum," melanjutkan. Baik, itu teguran tapi juga perhatian kecil, bukan?
"Perhatian banget." Regina menyahut dengan senyum manis.
"Kamu berisik."
"Uuu kamu, perasaan tadi masih anda."
Sudah lah, Raymond menghembuskan napas, menyesal sekali dia membuka dialog dengan Regina. Jadi tidak menyahuti lagi adalah pilihan si pria.
Regina tertawa pelan akan itu, ia tatap bagaimana seorang Raymond Arthur William sangat terlihat mempesona saat bekerja. Ya ampun kalau dia dan Ray membuat anak, hasilnya bagaimana ya? Pasti uwaw sekali.
Boro-boro anak, menikah saja dulu baru mikirin anak. Bukan-bukan, saling jatuh cinta saja dulu. Wong Regina masih obsesi, baru juga kenal kemarin, terlalu ngadi-ngadi.
"Makan siang kita keluar ya, aku nggak mau tau," ucap Regina kembali menatap lembar tugasnya.
"Makan siang saya ada yang mengantar."
Siapa? Kepala Regina auto kembali menatap ke arah Raymond. "Siapa?" cetusnya ingin cepat-cepat dijawab. Kurang ajarnya yang punya jawaban diam terus melanjutkan kegiatannya. "Raymond," memanggil, Raymond menatap Regina, gadis itu memasang mimik tak senang, seperti ingin menerkam seseorang.
"Keluarga," jawab Raymond singkat, ia tidak mau terus diusik maka dari itu mengalah.
"Keluarga atau keluarga?"
"Aku sedang bekerja, Regina." Memperingati sambil menatap si gadis.
"Ck, iya-iya. Tapi kalau bukan keluarga kamu awas aja, aku cakar dia rauwww!"
Damn! Kedua sudut bibir Raymond berkedut siap naik namun tidak, sebisa mungkin si pria menahan.
Sumpah, wajah Regina cantik, lalu, mempraktekkan adegan rauw ala singa betina, mau tak mau Raymond dibuat tidak percaya sebab yang ada wajah itu kian cantik. Sikap si gadis sangat random, dan ..., tidak membosankan walau sedikit menyebalkan.
*****
Tok, tok.
Clek.
Ini dia tamu tak tahu sopan santun, baru mengetuk dua kali sudah membuka pintu saja padahal belum dipersilakan oleh si pemilik ruangan.
Raymond yang sudah biasa dibeginikan diam saja, terus melanjutkan pekerjaannya. Beda jauh dengan Regina yang spontan menatap ke arah pintu.
"Serius Ray, aku mulai muak- ow ada pasien?"
Dahi Regina mengerut, menatap si pelaku pembuka pintu dengan picingan mata.
"Bukan," jawaban dari Raymond terdengar.
"Terus? Siapa? Fans?"
Pintu ditutup pelan.
"Fans? Hello! Tidak lihat wajah kami cocok disandingkan di pelaminan?" Regina auto kesal, kenapa dia selalu disebut fans coba?! Pertama oleh Raymond, lalu sekarang oleh orang asing ini yang berjenis kelamin pria namun tak lebih tampan dari Raymond.
"O wo, wo, wo, santai cantik. Aku bertanya," sahut pria itu melirik Raymond yang tersenyum tipis.
"Kekasih pertamamu, Dude?" lanjut bertanya lagi.
"Tidak."
"Ya."
Bagus, Raymond dan Regina menjawab kompak namun dengan kata yang berbeda.
"Ya calon kekasihnya, calon istri juga," ulang Regina membenarkan jawaban.
Pria itu, sahabat Raymond Arthur William yang bernama, "Ini titipan ibu negara." Jefri Smith, dua puluh tujuh tahun, CEO S hotel, single, juga tampan. "Bye the way, unik tuh," bisik Jefri berniat menggoda Raymond.
"Heh kau homo ya?!" Namun kalimat Regina auto membuat Jefri menoleh menatap si gadis.
"Sorry, i'm normal," tegas Jefri menjawab.
"Kalau begitu wajahnya jangan dekat-dekat dengan calon suami saya."
"Posesif sekali."
Mata Raymond terpejam, ini dua manusia kalau dibiarkan terus pasti semakin ribut. "Sudah pergi sana." Jadilah Raymond memilih mengusir Jefri, sayangnya yang diusir justru melangkah mendekati Regina, ambil duduk di sofa depan si gadis.
"Jefri Smith," ucap Jefri tanpa menjulurkan tangan.
"Regina, kau siapanya Raymond?" Regina to the point bertanya.
"Maybe sahabat," jawab Jefri santai. "Well, kau benar mau menaklukan dia?" lanjut, Jefri bertanya sambil menunjuk Raymond dengan kedua bola mata yang bergerak.
"Hm." Kepala Regina mengangguk.
Mendadak senyum penuh rencana ala Jefri terbit.
"Mau aku beritahu caranya?"
Jefri adalah partner yang Regina cari!
"Jefri, keluar." Raymond bersuara.
"Mau!" sahutan semangat Regina terdengar, gadis itu menutup bukunya.
"Ayo ikut aku."
"Jefri Smith!" Sekali lagi Raymond bersuara, naas ia dikacangin. Gila, pria tampan nan tegas dikacangin. Hanya Regina dan Jefri yang berani melakukan itu.
Tak mengurangi rasa semangatnya, Regina berdiri dari duduk saat Jefri pun berdiri, tapi hal yang gadis itu lakukan sebelum keluar mengikuti langkah Jefri adalah menghampiri Raymond terlebih dulu.
Cup.
Hanya untuk memberikan kecupan di rahang si pria.
"Selamat makan siang, Handsome, dihabiskan," ucap Regina lalu melangkah menyusul Jefri yang sudah membukakan pintu untuknya.
"Pinjam," kata sahabat Raymond itu tanpa suara sebelum menutup pintu.
Damn! Punggung Ray auto bersandar ke badan kursi. Hari-harinya pasti semakin gila, itu dapat dipastikan, pasti!
Seorang Jefri Smith disatukan dengan Regina Adinda Putri? Sudah beli saja kain kafan untuk Raymond.
Satu sinting, satu lagi lebih sinting. Jefri pasti membicarakan hal-hal privasi, sahabat Raymond yang satu itu sudah sangat kebelet mencarikan Raymond kekasih, padahal dianya sendiri masih jomblo.
Masalahnya di sini adalah, Jefri jomblo juga masih mau menerkam kaum hawa yang mengangkang. Sedangkan Raymond? Tidak sama sekali! So, jangan salahkan Jefri jika dia menyuntik penuh otak sinting si cantik Regina Adinda Putri dengan semua racun yang ia punya.
.
.
To Be Continued
Terbit: -04/Februari-2k21
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Raymond sungguh tidak tahu suntikan racun macam apa yang Jefri masukan ke dalam otak sinting Regina. Tapi detik ini, saat mereka sedang berada di jalan mau pulang, senyum Regina tak luntur sama sekali. Wanita itu mempertahankan senyum yang sangat mencurigakan bagi Raymond, bentuk tarikan sudut bibirnya begitu berbeda. Oke, katakan Raymond terlalu parnoan, tapi itu memang benar, tidak salah sama sekali, dia memang parnoan. Regina tak diracuni saja sudah gila, apalagi jika diracuni. Lebih baik kisah ini bubar karena berapa pun bayaran untuk Raymond, dia sungguh tidak kuat. "Kita dinner apa, Handsome?" "Tidak tahu," menjawab singkat nan datar. Raymond fokus menyetir, akhirnya dia selalu mengalah dengan Regina. Gadis itu mau ini, dia berikan, mau itu, ya dia berikan. "Di kulkas kamu masih ada bahan masakan bukan?" "Ada." Demi apapun punggung Raymond lelah, tolong jangan ditambah-tambah. Biarkan dia tenang dengan hening. "Oke, nanti aku masa
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Regina membuka matanya pelan-pelan, rasa di kepala lumayan pusing. Dapat dipastikan itu karena jam tidurnya berlebihan, pasti. Maka meregangkan tubuh dan bersiap memeriksa jam adalah incaran Regina. Well, ia membawa tubuh duduk terlebih dulu, wait, kenapa apartemennya mendadak berbeda? Perasaan tidak begini. Satu ..., dua, dahi Regina mengerut, otak berputar dan indera penciuman menangkap aroma masakan. Tik, tok. Regina masih berusaha memutar otaknya. Sampai. "Raymond!" Dia ingat ini apartemen dan ranjang Raymond Arthur William. Di mana pria itu? Segera menuruni ranjang, Regina dengan rambut khas singa betina berlari kecil menuju kichen. "Ray!" panggilnya menemukan punggung mister William yang sedang mengambil sesuatu di lemari piring. Pria itu tidak terkejut, tidak juga menyahut. Ya dia tetap melakukan kegiatannya, sampai tiba-tiba Regina menarik satu tangannya, menarik tubuh besar yang pasrah menjauh dari lemari piring. "Kamu ngapain? Ya a
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu nungguin aku? Ih, baik banget." Regina menatap tidak percaya saat Raymond belum menyentuh makanannya.c"Tapi udah dingin, pasti kurang enak deh," melanjutkan, Regina ambil duduk di kursi yang tersisa. Sedang Raymond hanya diam, tidak menyahuti namun tangan kanan dan kirinya bergerak menjangkau pisau juga garpu untuk memulai sarapan.c"Ck, kalau orang ngomong ya disahutin gitu, Ray, dasar," ucap Regina menjulurkan tangan kirinya, mencubit pipi kanan Raymond yang auto melirik. "Apa-apa? Apa lihat-lihat?" tantang Regina beralih mengusap yang ia cubit dengan punggung tangan. Raymond memutar bola mata malas, tingkah laku perawan satu ini memang tidak kenal takut. Syukur ketemu dengan Raymond yang malas adu mulut. "Makan," kata pria itu agar Regina segera makan dan tidak bisa bicara karena mulutnya dipenuhi makanan. "Iya-iya, Abang, eh tahu Abang nggak?" Raymond hela napas, ia masih lagi baru mulai memotong daging, tapi dengar? Regina justru melon
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Brak. Pintu apartemen baru saja tertutup menelan sang ibu negara alias nyonya besar Willam, menyisakan Regina bersama si tuan muda Raymond Arthur William. Hening, belum ada suara dan detik ini kedua netra bening Regina yang sempat menghipnotis Raymond masih menatap ke arah pintu, belum dan tidak akan berani menatap si pria yang duduk di sisinya. Perfect, agaknya Regina harus kabur dari sini sebelum mendapatkan amukan seorang mister William. Apalagi aura Raymond sudah sangat siap menelan seseorang, ah Regina memang kudu bergerak cepat. Menarik napas, gadis nakal yang otaknya sangat cerdas dalam menyiksa Raymond itu berdiri dari duduk. "Duduk." Namun suara datar nan dingin terdengar memerintah tegas agar Regina kembali duduk. Ya karena takut, Regina kembali duduk, daripada dibunuh dan mati sebelum menikah lebih baik manut pada komandan. Tapi tetap, tidak berani menatap. Hening lagi, Regina tutup mulut menunggu Raymond yang memang betah membisu
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu kenapa gila banget sih, Bang! Ya ampun aku mau dapat uang dari mana coba? Daftar kerja di sana saja pesaingnya banyak, syukur ini wajah cantik jadi diterima. Tapi seenak jidat kamu, arghhh kesal! Tanggung jawab ya kamu kalau aku beneran dipecat, biayain hidup aku titik!" Mantap. Hanya Regina yang sanggup berbicara kalimat sepanjang itu dengan sangat cepat, dan hanya Raymond yang tahan diam saja padahal sudah seperti dibacai pasal-pasal kehidupan. Sungguh mereka saling melengkapi bukan? "Ini kita mau ke mana pula?" tanya Regina saat sadar ini bukan jalan ke apartemen Raymond atau apartemennya. Si pria diam, tetap diam maksudnya. "Huh! Susah punya calon suami yang hobby bisu," kesal Regina bete luar biasa. Lihat dia, masih menggunakan seragam kerja. Hening. Mustahil Raymond buka suara, pria itu menyiapkan beberapa kalimat singkat yang cocok ia lontarkan untuk Regina nanti. Well, semenit dua menit sudah pasti terlalui, dan sekarang Regina
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Kamu yakin?" tanya Raymond menatap Regina serius. "Why not? Aku tidak sabar malam pertama kita." Raymond menghembuskan napas pelan, "Ikut aku." Lalu, lagi-lagi memerintah Regina agar ikut dengannya. Oh ya kali ini si gadis tidak kesal, yang ada sangat amat bersemangat. Ada kejutan apa lagi yang akan pria itu berikan kepadanya? Mereka keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju lantai satu. "Tunggu di meja makan," titah Ray berjalan berlawanan dari meja makan. Tanpa mau banyak tanya Regina ambil langkah menuju dapur rumah. Jujur ia masih terkagum-kagum, dan sekarang dia yakin. Ini rumah Raymond, pasti! Karena apa? Lantai dua jawabannya. Mendudukan diri ke atas kursi makan, Regina sungguh tidak menyangka Raymond sudah mempersiapkan semuanya. Thanks to God sebab sudah mempertemukan mereka berdua, thanks! Regina happy parah, happy pokoknya happy! Semoga kehappyan itu bertahan lama. Suara langkah tegas terdengar, Regina menatap ke arah san
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Drt, drt, drt. Ada suara getaran ponsel dipagi hari. Drt. Lagi dan terus, jelas dari getarannya tanda ada sebuah panggilan. "Egh ...." Satu manusia mulai terganggu, salah, keduanya terganggu namun yang satu tidak mengerang bersuara, dan benar Raymond adalah bagian yang tidak bersuara. Pria itu membuka mata pelan-pelan, merasakan tubuhnya semakin dipeluk erat. Benar lagi, pelaku pemelukan adalah Regina. Gadis itu menguselkan wajahnya ke dalam ceruk leher Raymond yang sedang menjulurkan tangan kiri guna menjangkau ponsel di atas nakas sisi ranjang. Mama calling .... Bagus, induk singa jantan mau apa pagi-pagi sekali begini sudah heboh? Semoga membawa kabar baik. "Iya, Ma?" ucap Ray serak khas bangun tidur saat ia menerima panggilan. 'Siap-siap, dua jam lagi kita berangkat ke Indonesia.' Bib. Sambungan terputus. Dahi Raymond mengerut, sebentar, apa tadi? Siap-siap, iya benar. Dua jam lagi kita berangkat ke Indonesia, what?! Mau apa pula ke
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Permisi, saya anaknya Bunda Hani. Boleh bertemu Bunda nggak?" "Regina!!!" "Hahaha!" Ibu Regina yang ia panggil bunda berteriak heboh detik memutar tubuh dan menatap Regina. Wanita paruh baya itu sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya dan mendadak suara sang anak terdengar, ya ibu mana yang bisa tidak heboh ketika anak rantaunya pulang tiba-tiba tanpa ada kabar. Grep. Dipeluk, Regina memasang senyum sangat lebar lantas membalas pelukan bunda. "I miss you, Bun, tomat alias so much hihi," bisik Regina cekikikan. "Kamu libur kuliah ya?" tanya bunda melepas pelukan, menatap anak bungsunya yang menggeleng. "Bunda nggak rindu aku, masa nggak dibalas i miss you too." Plak. Lengan kanan Regina ditampol pelan. "Ngapain ditanya, jelaslah Bunda rindu. Punya anak dua tapi dua-dua lebih milih pergi dari rumah, ya ampun sayang kamu gemukan. Pasti ngemil mulu deh." Kedua mata Regina terpejam dua detik, setelah itu terbuka lagi bersama senyum ya