Share

1 | Hari Pertama

AKU bersumpah tidak akan lulus dari kampus ini dengan status jomblo! Demi masa! Aku berjanji tahun ini, aku mesti punya gandengan. Di hadapan pintu gerbang kampus yang agung, aku berikrar tahun ini wajib punya satu.

Sudah tiga tahun aku berkuliah di Clover Leaf University of Surabaya (Clofus) ini. Universitas Semanggi Suroboyo, bahasa Indonesianya. Biar keren aja pake bahasa linggis. tiga puluh enam bulan lamanya aku gagal punya pacar. Sederet target, nihil realisasi. Dan tahun ini, tahun keempat, tahun pamungkasku sebelum menyandang gelar sarjana.

Hari ini, hari pertama masuk kuliah. Semester anyar.

Pagi ini, aku berniat menunaikan misi. Dengan arloji digital G-Shock dan sepatu kets Converse '70, aku memang sengaja tampil bergaya. Rambutku sendiri sudah panjang hampir sebahu. Aku merapikannya dengan minyak rambut supaya klimis. Aku sengaja membiarkannya tumbuh. Rambut gondrong hukumnya sunnah muakkad bagi anak band metal sepertiku.

Segelas paper cup berisi kopi hangat dari Choco Banana, menemani awal hariku. Soalnya, aku mememulai hari ini dengan penat. Secangkir kopi selalu bisa diandalkan demi mengusir tekanan. Setelah libur panjang, kembali kuliah merupakan cobaan yang berat. Hari pertama kuliah itu sama dengan mahasiswa baru—kuhususnya cewek-cewek—datang merapat. Setidaknya, satu hal itu sudah cukup membuatku semangat. Dan sekarang, ratusan mahasiswa pun tidak ingin terlambat.

Dengan percaya diri, aku mengayunkan kaki sambil membayangkan diiringi soundtrack ‘Can’t Stop the Feeling!’-nya Justin Timberlake. 'I got that shunsine in my pocket, got that good soul in my feet …' dan seterusnya, dan seterusnya. Please stop! Aku gak bisa berhenti nyanyi, coy!

Tapi akhirnya, aku berhenti nyanyi beneran.

Dari kejauhan, aku melihat seekor burung dara yang tampak mengawang di udara. Sepertinya, ia tengah mencari bekupon miliknya di Kelurahan Kertajaya, tempat tinggalku. Boleh jadi, burung dara itu mengira Kertajaya sebagai oase kecil di tengah hutan beton kota metropolitan. Kertajaya ini memang dikepung jalan raya, deretan ruko, mal raksasa, pasar tradisional dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kalian yang dari Surabaya pasti tahu.

Di sebelah utara misalnya, beroperasi kompleks kesehatan terbesar se-Indonesia timur yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo. Di seberangnya, berdiri megah Universitas Airlangga. Di sebelah timur, terhampar kompleks perumahan elite Kertajaya Indah. Agak jauh lagi ke timur, ada Institut Teknologi Surabaya (ITS). Tak lupa, sebelah barat ada Universitas Semanggi Suroboyo yang kesohor, kampusku. Sementara di sebelah selatan berdiri Pasar Pucang.

Di tengah hiruk pikuk keramaian mahasiswa, sekelebat bayangan mengusik ujung mataku. Sejurus kemudian timbul rasa gatal, hingga kedutan. Gejala ini merupakan salah satu bakatku. Menangkap feromon. Aku pun mulai melacak siapa penebarnya.

Di sana, di depan tong sampah depan sekolah. Perempuan berjilbab itu melenggang dengan indah. Kakinya mengayun dengan langkah-langkah pendek. Alam pun mulai bergenit ria. Sang surya memamerkan kerlap-kerlip berkilauan. Tapi, arak-arakan awan menghalanginya. Sang bayu lantas iri. Ia pun merayu dengan meniupkan angin. Onggokan sampah pun menyingkir dari jalur sang ukhti. Amazing!

Aku mengenalnya. Namanya Aisyah. Dia merangkap seragamnya dengan sweater berkelir ungu, hingga menyelubungi kedua telapak tangannya. Bagi yang tak mengenal Aisyah sebelumnya, boleh jadi gaya berbusana doi terlihat janggal. Faktanya, Aisyah mengalami cacat. Lima jari pada masing-masing telapak tangannya, tidak tumbuh sempurna. Sebab itulah Aisyah menutupinya.

Orang-orang bilang Haji Abdul Rasyid punya tiga anak. Yang tertua adalah Wali Kota Surabaya Jamal Al Rasyid. Yang kedua adalah Aisyah Al Rasyidah, sedangkan yang ketiga adalah adik laki-lakinya yang aku gak tahu siapa namanya. Banyak yang bilang, si bungsu ini sedang belajar di Afrika, entah di mana?

Mula-mula aku kasihan pada Aisyah. Seumur hidup dia tabah menanggung stigma. Aku tidak tahu bagaimana Aisyah bisa menggunakan alat tulis maupun perangkat mutakhir lainnya. Faktanya dia bisa. Artinya, dia tidak menyerah begitu saja. Apalagi, Aisyah bersekolah di sekolah biasa. Hebatnya, dia tidak merasa minder dengan kondisinya. Rasa iba itu kini beralih luar biasa.

Pikiranku lantas mengembara ke masa lalu, kektika aku satu ruangan dengan Aisyah di kelas Paragraph Writing. Saat itulah aku pertama kali bertemu dengannya di semester satu, tiga tahun lalu. Ya, kami berdua sama-sama mahasiswa baru. Seingatku, Aisyah alumni pondok pesantren di Jombang. Awalnya, aku merasa aneh. Setelah beberapa saat, aku mulai menyukai Aisyah.

Aku pun masih ingat pertama kali Aisyah tersenyum padaku. Tapi aku bergeming. Lalu, dia malah ketawa ngakak. Ketika itu, aku masih memakai helm dalam ruangan. Salah kelas pula. Tawanya semakin lantang, hingga Aisyah salto di udara. Saat itu, ingin rasanya kugigit telinga Aisyah, kayak si Mike Tyson nyakot Holyfield!

Aisyah sendiri tinggal di lingkungan religius yang kental. Artinya, sebagai seorang ukhti, dia tak punya hak untuk memilih jodohnya. Kewenangan itu ada pada bapaknya. Begitulah, aku mula-mula mengira.

Aku memang sudah pedekate ke Aisyah sejak dia salto di udara itu. Namun, aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Ketika itu, aku masih naif. Tiga tahun kemudian, rasanya kok ya masih sama saja.

Assalamualaikum ukhti! sapaku dalam hati.

Aku gemetaran sendiri memikirkan dengan keras bagaimana cara yang beradab untuk menyapanya. Meskipun sudah tiga tahun, aku masih saja merasa canggung. Soalnya, membutuhkan nyali untuk menyapa ciptaan tuhan yang paling kawai satu ini. Sekarang, doi berjalan kemari. Aku membalikkan tubuh, lantas mengeluarkan ponsel. Setelah menenggak kopi, aku pura-pura menjawab telepon masuk.

"Halu?" kataku. "Oh, salah sambung."

Lalu, aku pun kembali memutar tubuh menghadap ke arah sang ukhti. Gak jelas. Setidaknya, aku berharap mendapat eye contact darinya. Aku menatapnya dan Aisyah menyambutnya. Adalah kepuasan tersendiri bisa menyaksikan keteduhan yang memancar dari kedua bola matanya.

"Assalamualaikum, Lang" sapa Aisyah sambil tertawa lirih.

Oh my goat! Suaranya yang lembut, lebih dahulu menyapaku. Giginya yang gingsul mengintip di balik senyumnya. Terlebih, lesung pipit yang timbul menambah level cuteness, brightness dan saturation-nya. Dari dekat, aku bisa mengendus aroma malaikat subuh.

"Waalaikumsalam, Ais," balasku sok cool, menahan diri agar tak salah tingkah.

Aisyah memang indah, Aisyah memang ramah. Benar-benar seorang ukhti yang telah tumbuh paripurna. Tapi, ada yang tak seperti biasanya. Aisyah tak pernah menyapaku sambil tertawa sebelumnya. Apakah dia dengan sengaja menebar pesona? Atau aku saja yang gede rasa?

Kemudian, Aisyah memberiku selembar leaflet. Dia

lantas berjalan memunggungiku sambil mengobrol dengan teman-temannya. Aku sampai tidak menyadari kalau Aisyah sedang bersama geng Muslimahnya.

Aku membaca selebaran itu dengan cepat. Ada sebuah artikel - tanpa nama penulis - berjudul, ‘Angkat Derajat Kaum Hawa - Gusur Selamat Datang, Sekarang Juga!' sebagai tajuk utama. Oh! Aku tahu apa itu Selamat Datang. Itu adalah komplek prostitusi terakhir di Surabaya, tepatnya di Dukuh Jerut, Desa Teram, Kecamatan Padak.

Tapi, sekarang  bukan waktu yang tepat untuk membaca. Sebaliknya, sekarang adalah saat-saat darurat untuk mengagumi gingsul dan lesung pipit Aisyah.

Belum buyar puja-puji tentang Aisyah, sirine radar dalam otak kembali meraung-raung. Satu unit mobil Mazda 3 Hatchback merah melipir ke pinggir trotoar. Tepat di depan batang hidung ini, seorang perempuan muda keluar dari pintu sopir.

Kakinya yang jenjang melangkah dengan lincah. Angin lantas berhembus menyibak rambut half-blonde bergelombangnya yang sepundak. Lehernya yang putih langsat tampak begitu mengkilap. Dilepasnya kacamata hitam, terlihat dua bola matanya yang berkilat biru langit.

Aku berani bertaruh traktiran, kalau cewek satu ini hasil kawin silang. Kalau sudah begini, bahkan rontokan rambutnya sekalipun bisa membuat orang lupa pulang.

Tak seperti mahasiswi kebanyakan yang mengenakan sepatu loafers, doi malah pakai sneakers. Pada bagian lengan T-shirt, dilipatnya sejengkal. Tampak arloji digital melingkar di pergelangan tangan kirinya. Rok yang membalut pahanya, sedikit lebih panjang daripada rok siswi Jepang. Sepertinya, dia sengaja memamerkan pahanya yang mulus. Aduhai! Aku jelas tak keberatan.

Cewek blasteran ini lantas memeriksa ponsel lalu menolah-noleh, seperti kethek ditulup.

“Kirana!” teriak salah satu perempuan di tengah hiruk pikuk.

Doi tersenyum sembari melambaikan tangan. Pada momen itu, aku sempat melihat ketiaknya yang bersih. Tidak ada semak belukar yang tumbuh di sana. Cewek itu lantas mengambil tumpukan buku di jok mobil. Aneh. Mengapa dia tak memanfaatkan tas selempang branded yang dipakainya? Mungkin buku-buku itu tak muat atau sengaja tak boleh tercampur. Memangnya, apa sih yang ada di dalam tas cewek kuliahan? Bom rakitan?

Tapi Kirana? Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Siapakah putri fashionable ini? Pasti anak baru. Aku pun bertekad memastikan diri supaya diperhatikan dan diingatnya. Menghadapi cewek sepertinya, aku mesti pakai jurus tipu muslihat.

Doi lantas melangkah buru-buru. Aku pun pura-pura tidak melihatnya melintas, lalu menghalangi lajunya. Cewek yang dipanggil Kirana ini menabrakku. Aku sengaja menumpahkan kopi hingga sedikit menodai seragam putihku. Seperti yang sudah aku perhitungkan, kopi itu sudah dingin. Rupanya, cewek blasteran tingginya ini hampir sama denganku.

"Aduh!" aku mengerang tapi tak menggelinjang.

Dia tampak tercekat, tak mengira. Pada hari pertama masuk kuliah, sudah terlibat masalah. Tapi aku tak berniat untuk mencari lawan. Sebaliknya, aku berburu belahan jiwa. Dari dekat, aku bisa mengendus wangi cinnamon. Aku tahu karena orangtuaku jualan parfum-parfum KW isi ulang. Hatiku mendadak berselimut kehangatan.

“Maaf,” balasnya pendek.

“Anak baru ya?” tanyaku sambil membersihkan noda kopi di kaus hardcore-ku.

Kemudian, aku membungkuk untuk membantunya mengambil buku-buku yang terserak. Aku menatap tajam matanya. Dia membalas tatapanku sambil mengernyit, lalu mengangguk. Tapi, dia tak mengatakan satu patah kata apapun. Dasar judes!

Mataku lantas tertumbuk pada lembaran majalah eNT! yang terbuka. Oh, ternyata cewek blasteran ini suka musik. eNT! merupakan sebuah majalah entertainment yang populer untuk anak remaja. Sebagian anak yang beruntung lahir dari kelas ekonomi menengah ke atas, mesti langganan eNT! Bisa dipastikan, cewek satu ini darah birunya bukan kaleng-kaleng.

Pada lembaran majalah yang terbuka itu, ada foto yang menampilkan seseorang memeluk gitar berdawai empat atau yang biasa disebut gitar bass. Sosok itu mengenakan hoodie gelap yang menutup kepalanya. Dia juga memakai masker dengan warna senada. Yang kelihatan dari wajahnya hanya matanya saja. Sosok itu tampak misterius. Tak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan.

Halaman itu sendiri oleh redaksi diberi tajuk ‘Bass is The Soul of Music’. Pada caption di bawah foto, tertulis ‘TEKUN: Che mengaku belajar memainkan gitar bass secara otodidak.’

Sudah bisa ditebak kalau Che itu cuma nama panggung sosok misterius itu. Pada bagian ujung lembaran, tampak bekas lipatan. Sepertinya, cewek judes satu ini sudah membacanya.

“Terima kasih,” tambah si cewek, lalu berdiri lantas ngeloyor pergi.

Dari kejauhan, aku bisa melihatnya berbisik-bisik jahil dengan teman-temannya sambil melirik jijik ke arahku. Salah seorang temannya lantas membalas bisikannya sembari menutup mulut. Yang satu tampak mengamini yang lain. Lalu, mereka ketawa-ketiwi berjamaah.

Boleh jadi, cewek yang dipanggil Kirana itu bertanya tentang siapa aku. Dan itulah tujuanku. Supaya diingatnya.

Lalu, ada tebaran feromon yang menyengat. Aku mengenali siapa pemiliknya. Suatu kali, aku pernah mempersilahkan cewek istimewa ini—maksudku, benar-benar istimewa—menangis di bahuku. Dan itu adalah momen yang paling berarti bagi kami berdua. Sejak itu, hubunganku dengannya, berubah selamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status