Share

4 | The Band

JALAN Dharmahusada ini padat seperti biasanya. Maklum, selain terletak di pusat kota, kawasan Dharmahusada ini diapit dua gedung raksasa, yaitu RSUD dr Soetomo dan Universitas Airlangga. Mobil, bus, sepeda motor, becak, dan para pelajar memadati kawasan ini.

Kemudian, mataku menangkap sesuatu yang menarik. Aku melihat ada mobil Toyota Avanza hitam terparkir di bawah pohon tabebuya kuning. Mungkin karena warna kontrasnya, - hitam dan kuning – perhatianku tertuju ke sana. Tapi, tidak ada aktivitas.

Aku pun mengambil putar balik. Aku lantas memarkirkan motorku di halaman studio. Di depan studio ini terpampang neon box besar bertuliskan Studio Musik Inferno. Tak lupa aku melepas helm. Dari luar, aku ada sekelompok orang dewasa duduk di ruang tunggu. Ketika mendekat, rupanya mereka tengah bernyanyi.

"All day I, dream about sex," seorang pria bertubuh raksasa tengah bernyanyi.

Asap rokok lantas mengebul dari bibirnya yang tebal nan hitam pekat. Suaranya parau seperti suara Bryan Adams. Rambut panjangnya yang disemir, digulungnya ke belakang. Selalu menjadi hal yang lucu ketika melihatnya tampil seperti itu. Pria raksasa dengan rambut yang disanggul. Perawakannya persis seperti Patih Gajah Mada, perdana menteri Majapahit.

Di sebelahnya, seorang berambut panjang lainnya mengiringi nyanyian cabul itu sambil memukul-mukul meja dengan irama. Dalam bahasa Jawa, aktivitas itu disebut kotek’an.

"Duk tak duk duk tak!" kepalanya tampak maju-mundur. Dia sedang menghayati perannya.

Jreng, jring, jreeeng! bunyi dawai gitar akustik juga mengalun mengiringinya.

Sebuah tembang bertajuk A.D.I.D.AS karya band Korn asal Amerika Serikat itu menyemangati kami yang sedang menunggu giliran masuk ruang studio. Laki-laki gondrong itu lantas mengoper rokok ke salah seorang lainnya.

“Wis moleh ta mbolos koen?” tanya si pria raksasa. (Sudah pulang atau membolos kamu?)

“Moleh isuk,” jawabku. (Pulang pagi)

“Halah! Mbolos ae,” timpal si penggebuk meja. (Halah! Bolos aja)

Aku nyengir lalu kusambar bungkus rokok, mengambil satu lalu menyalakannya. Pastinya, aku mulai ikut-ikutan menyanyi bareng-bareng. Ketiga orang dewasa ini merupakan senior  dalam bidang musik underground alias musik bawah tanah. Mereka juga tetanggaku di Dukuh Kertajaya.

Kemudian, aku melihat selebaran di atas meja. Itu adalah selebaran yang sama yang Aisyah berikan kepadaku pagi ini. Sepertinya ketiga pria sangar ini sudah membacanya sebelumnya. Aku mengambil dan membacanya lagi. Soalnya, penggusuran komplek pelacuran selalu menyita perhatian publik. Pro-kontra selalu terjadi sampai neraka membeku.

“Kampanye,” celetuk sang vokalis raksasa.

Musik dan nyanyian cabul itu pun mendadak berhenti.

“Kampanye opo?” aku bingung.

"Wali Kota maju maneh," jawab sang gitaris.

"Politricks," sindir penggebuk meja dengan sinis lagi.

Lantas, sang vokalis raksasa menjelaskan, pro-kontra yang sama juga terjadi ketika Dolly - bekas kompleks bordil terbesar di Surabaya - digusur. Ya, aku ingat. Sebelumnya, tiga tahun lalu, tepatnya, kompleks bordil terkenal itu diratakan oleh Pemkot Surabaya.

Saat itu, pro-kontra yang sama juga terjadi. Tapi, penggusuran berjalan mulus tanpa ada perlawanan dari warga. Pemkot Surabaya mengatakan, tidak ada ruang prostitusi di kota ini.

Ratusan pelacur kemudian membubarkan diri dan menyebar ke seluruh Indonesia, terutama ke SD 2 di Desa Teram. Dengan gelombang massa tunasusila yang pindah ke sana, membuat SD 2 menyandang nama Selamat Datang untuk menyambut mereka. Cocok dengan gapura selamat datang yang tidak jauh dari sana. Tempat itu kemudian berkembang menjadi komplek prostitusi terbesar di Indonesia yang aku yakin juga di Asia Tenggara juga.

“Terus, opo’o Desa Teram gak digusur pisan?” aku bertanya. Maksudku SD 2 atau Selamat Datang.

“Pertanyaanmu uancen apik temen, Bro,” ucap sang vokalis. “Temenan, ‘mengapa’ iku mesti dadi kata sing menarik. Tapi, iki ngono onok keadaan sing rumit sing aku gak isok cerito dalam sekali duduk."

“Singkatnya ngene,” imbuhnya, “tujuan penggusuran iki ngono untuk menggalang simpati publik supoyo elektabilitas petahana melejit gawe pemilu tahun ngarep.”

Aku mengangguk seolah-olah aku tahu apa yang dia bicarakan. Tiba-tiba, ada bunyi derit pintu.

"Lha iki arek’e!" sosok gondrong lain tiba-tiba muncul dari toilet sambil menunjuk ke arahku. "Dienten-enteni," tambah pria jangkung kurus itu sambil menaikkan ritsleting celananya.

"Cak Gun," sapaku sambil menolak menjabat tangannya.

Nama asli Cak Gun adalah Gunawan. Dia adalah CEO Inferno Music Studio.

"Mbolos kuliah, yo?" tukasnya lantas duduk di depanku.

"Moleh isuk," ulangku.

Cak Gun lantas bertanya padaku, apakah aku bisa berpartisipasi sebagai anggota band pembuka bintang tamu utama di Soundrenaline Music Festival, hari Minggu besok? Band pembuka yang dijadwalkan, Erpid 19th, tiba-tiba membatalkan konser mereka.

Masalahnya, kata Cak Gun, pentolan Erpid 19th, Damha Inod, ditahan polisi. Ya, aku ingat. Cak Inod dilaporkan terkait kasus ujaran kebencian terhadap kelompok Laskar Jihad Nusantara (Lajistara). Nah, bandku yang sejatinya tampil sebelum Erpid 19th, maju menjadi band pembuka.

Bintang tamu utama Soundrenaline itu sendiri adalah Boumerank. Hendryx - lulusan Clofus - bermain sebagai bassist. Soundrenaline sendiri akan diadakan di Tepi Barat Clofus, di mana Stadion Clofus berada. Stadion ini termasuk lapangannya, bisa menampung hingga lima puluh ribu orang.

“Halah, moleh rodok bengi titik lak gak popo seh,” tukas sang vokalis raksasa. (Halah, pulang rada malam sedikit kan gpp)

“Bencong ae moleh isuk,” sindir penggebuk meja.

Sial! Kan aku bukan bencong.

"Iyo-iyo!" aku menjawab seolah terpaksa, padahal semangat. "Gaskeun!"

"Mangstab, tak kasih tahu panitia," kata Cak Gun.

"Nah!" sang gitaris menyela sambil menunjuk pintu studio yang terbuka.

Aku bisa mendengar suara-suara alat musik yang tak keruan di baliknya. Satu per satu anggota band yang tidak aku kenal, keluar dari ruang latihan studio. Jumlahnya sembilan orang. Sebagian dari mereka tampak seusiaku.

Anak band ini gondrong-gondrong dan seluruhnya mengenakan kaus hitam. Sebagian dari mereka menyemir rambut dengan cat pirang. Ada juga yang gimbal. Namun ada satu kesamaan, rompi dan jeans ketat dibordir dengan berbagai nama band. Beberapa dari mereka di-piercing dengan benda serupa baut. Anak punk gitu, loh!

Kemudian, mereka menyapa kami satu per satu seolah baru bertemu dengan idola mereka. Semakin dekat, aku bisa mencium aroma yang sama dengan Mr. P. Asem! Sudah berapa lama mereka tidak mandi? Aku bisa melihat mata mereka yang berbinar. Mereka juga tampak sungkan dengan kami. Tapi kok, jalan mereka miring-miring?

“Cak Kentung, Cak Culex, Cak Santos, Cak Galang,” sapa mereka ramah sekali.

Aroma alkohol menyeruak dari mulut mereka. Pantas, miring-miring! Minta sedikit, dong?

Memang ini bukan yang pertama kali aku disapa oleh orang yang tak aku kenal. Tapi, aku pribadi ada perasaan sungkan. Rasanya seperti, aku ini siapa sih, kok mendapat sambutan istimewa. Biasa ajalah. Santuy. Kami pun menyambut mereka dengan akrab pula.

Lalu, salah satu dari mereka mendekati kami. Dia menanyakan lagu baru dan jadwal kami manggung berikutnya. Dia percaya diri seolah-olah dia bertingkah sok kenal sok dekat. Sangat ramah sehingga kami semua mengangkat alis. Siapakah pemuda berambut gondrong dengan tindik telinga dan hidung ini?

"Cak, njaluk rokok’e?" pinta si pemuda punk itu.

Busyet! Beraninya dia meminta rokok! Ah, itu mungkin karena pengaruh ‘obat kendel’ di otaknya. Pria raksasa itu memberinya satu. Dia lantas bersyukur seolah baru saja menerima tanda tangan seorang selebriti.

“Bandmu opo?” tanya si penggebuk meja.

"Hey! Mom,” jawabnya.

Nama band punk yang cute sekali.

"Sopo jenengmu?"

"Joko," dia memperkenalkan dirinya, "aku arek Teram, Cak."

Kami semua mengangguk. Kami baru saja membicarakan tempat tinggalnya. Setelah itu, kami berpamitan dengan Joko dan anggota band lainnya. Lalu, kami masuk ke ruang studio.

Tak butuh lama bagi kami untuk beradaptasi dengan peralatan di Studio Inferno ini. Soalnya, kami memang kerap berlatih di sini. Inferno merupakan satu dari sekian gelintir studio musik di Surabaya yang mengizinkan band musik bawah tanah menyewa tempat latihan. Studio satu ini memang menyediakan peralatan yang didesain untuk genre rock maupun aliran metal lainnya.

Sudah menjadi stigma di masyarakat awam, musik underground bisa menyebabkan gagal ginjal, serangan jantung, impotensi dan kerusakan alat musik. Stigma tersebut tidak seluruhnya salah, dan tidak sepenuhnya benar. Kalau teknik bermainnya baik, niscaya kerusakan di studio bisa dihindari.

“Cek, cek, satu, dua, tiga, sayang semuanya ...,” suara growl dari pria raksasa menggelegar via microphone. Jreng, jring, jreng, suara distorsi efek gitar.

Laki-laki bertubuh raksasa itu adalah Kentung. Dia merupakan vokalis sekaligus gitaris rhythm. Nama aslinya adalah Yanto. Perawakan yang tinggi besar dengan perut buncit dibalut kulit sawo matang. Rambutnya panjang sepunggung dicat pirang bagian bawahnya. Ketika bekerja sebagai tukang bangunan, rambutnya diikat serta digelung ke belakang. Dia selalu membuka gelung rambutnya di atas panggung.

Kira-kira dua dekade yang lampau, ada sinetron populer di salah satu stasiun televisi swasta yang bertajuk Tuyul dan Mbak Yul. Dalam sinetron itu, ada raja tuyul yang namanya Kentung. Postur raja tuyul ini tinggi besar dengan perut buncit. Dari situlah Yanto menyandang nama panggilan akrabnya. Bahkan anak-anak di kampung pun memanggilnya Cak Kentung.

Kentung sendiri suka mengenakan kaus hitam dengan gambar band-band underground baik yang lokal maupun interlokal. Penampilan itu dipadu padan dengan celana army selutut. Tubuhnya penuh tato dengan motif tribal. Walau berperawakan sangar, Kentung merupakan pribadi hangat yang penuh kelembutan. Meski begitu, dia adalah orang yang jahil.

Aku tidak tahu persis berapa usia Kentung. Kira-kira antara 25 sampai 30 tahunan. Sepertinya masih muda, tapi wajahnya boros. Siapa sih yang peduli dengan umur teman?

Kentung sendiri bekerja sebagai buruh serabutan. Kali itu, dia bekerja sebagai buruh proyek pengaspalan jalan. Kalau sedang tidak ada proyek, dia menjaga parkiran di Jalan Dharmawangsa. Dia juga tak keberatan diajak sebagai korlap aksi unjuk rasa maupun tim sukses calon kepala daerah sekalipun.

Duplak, duplak, gradak, gradak. Bunyi drum digebuk. Tas, tas, tes, prang. Bunyi simbalnya.

Culex mulai membetulkan singgasananya. Penggebuk drum ini sama sangarnya dengan Kentung. Yang membedakan, Culex berperawakan kekar. Rambutnya juga gondrong tapi tak disemir. Telinga dan hidung Culex di-piercing. Uniknya, Culex ini buta sebelah. Mata sebelah kirinya kelabu.

Culex adalah pribadi yang cuek. Dia tidak peduli dengan yang terjadi di sekitarnya. Walau dirundung maupun dikerjai, dia tetap santai. Kalau ada menyakiti temannya, Culex sudah pasti maju yang paling depan. Nama aslinya adalah Rahman. Tapi, aku tidak tahu persis bagaimana Culex mendapat nama panggilannya. Mungkin karena matanya yang buta sebelah akibat kena culek. Oh iya, huruf ‘e’ pada nama Culex dibaca ‘e’ seperti mengeja ‘eek’.

Dulu, ada sebuah band underground yang terkenal bernama Arwah Sesat. Band itu terdiri dari dua orang saja yaitu Kentung sebagai gitaris-vokalis dan Culex si penggebuk drum.  Arwah Sesat hiatus cukup lama lantaran keduanya sibuk bekerja di proyek Jembatan Suramadu. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk membubarkan Arwah Sesat lalu membentuk band anyar dengan anggota baru pula.

Jreng! Jring! Jreeeng! Suara distorsi efek gitar kembali menyayat telinga.

Itu adalah ulah Santos, sang lead guitarist. Nama aslinya Sani. Dia merupakan salah satu gitaris paling berbakat di Surabaya. Dia bisa saja memainkan genre speed metal ala gitaris Yngwie Malmsteen, Dave Mustaine, Marty Friedman dan Kiko. Tiga nama yang disebut terakhir pernah menjadi bagian dari Megadeth.

Tapi, Santos ini idealis dengan perlawanan. Tak salah sih, setahuku si Santos ini memang mantan aktivis. Rage Against the Machine merupakan band favoritnya. Usianya sebaya dengan Culex dan Kentung. Orangnya sederhana, berpengetahuan luas dan suka menasehati.

Sehari-hari, Sani berstatus pegawai honorer di kantor Kecamatan Gubeng. Di luar itu, dia guru les gitar. Walau berstatus mantan aktivis sekaligus buruh honorer di kantor kecamatan, Santos suka menghisap ganja dan berpesta miras.

Bukan dia aja sih, kami semua juga suka.

Untuk latihan kali ini, kami fokus. Soalnya, kami menjadi band pembuka untuk band bintang tamu utama pada sebuah acara konser di salah satu universitas ternama di Surabaya, pada akhir pekan mendatang.

Nama band kami sendiri adalah Ryg’s. Tidak cerita yang istimewa di balik nama itu. Ryg’s sendiri adalah susunan dari nama-nama penggawanya. Rahman, Yanto, Galang dan Sani. Diberi tanda petik supaya keren aja.

Ryg’s memilih genre thrash metal seperti karya-karya Sepultura. Tentu saja lagu-lagu seperti Chaos AD, Slave New World dan Propaganda adalah wajib. Terkadang kalau lagi suntuk, kami juga memainkan karya-karya band hardcore lain seperti Slipknot, Deftones maupun Coal Chamber. Kentung memang suka teriak-teriak.

Namun, dalam dua tahun terakhir, kami fokus menciptakan lagu sendiri. Hasilnya, Ryg’s sudah meluncurkan dua album penuh. Album pertama bertajuk Interupsi sementara album kedua diberi judul Akal Sehat.

Aku sendiri bertindak sebagai pembetot bass lantaran tidak ada yang mau jadi bassist. Menjadi seorang bassist itu sudah langka pada zaman milenial sekarang ini. Aku sangat antusias ketika diajak Kentung bergabung. Saat itulah aku mulai gigih belajar gitar senar empat secara otodidak.

Kalau disuruh memainkan teknik slapping maupun typing, aku sih bisa saja. Kecuali memainkan lagi-lagu Korn, aku tak sering menggunakan teknik itu. Dalam aliran rock maupun aliran metal lainnya, bass merupakan instrumen pendukung, bukan yang utama. Jadi bayang-bayang atau pelengkap semata. Hiks.

Kecuali kalau aku lagi bosan, aku memainkan lagu-lagu funk karya Red Hot Chili Peppers. Di rumah, aku punya gitar bass merek Prince yang aku tempeli dengan stiker Ibanez. Amplifier-nya tentu saja aku ingin yang gahar seperti Peavey, Messa/Boogie maupun Marshall. Tapi apa daya aku cuma mampu beli Rhoad.

Walau begitu, aku sendiri tidak keberatan memainkan tembang-tembang Top 40 yang sedang populer. Memang, lagu-lagu Maroon 5 enak didengarkan. Favoritku sendiri adalah She Will be Loved dan Girls Like You.

Ngomong-ngomong lagu yang disebut terakhir, aku baru tahu kalau sejumlah perempuan berbakat dari seluruh penjuru dunia muncul dalam video klipnya. Sebagian besar datang dari kalangan artis seperti Gal Gadot, Sarah Silverman, Jennifer Lopez, Rita Ora dan Camila Ceballo.

Dari kalangan atlet ada si Aly Raisman, kapten timnas senam perempuan AS pada Olimpiade 2012 dan 2016. Lalu ada juga dari kalangan aktivis persamaan hak seperti Ellen DeGeneres. Ada juga yang muslimah yaitu Amani Al-Khatahtbeh, pendiri majalah muslimah daring MuslimGirldotcom. Total ada 25 cewek keren. Ini menunjukkan kalau perempuan juga bisa berjaya. Sebuah tembang yang menginspirasi.

Aku lantas membayangkan sebagai Adam Levine yang dikelilingi Aisyah, Kirana dan Juleha. Lalu entah mengapa muncul Amelia ikut-ikutan. Aku pun mulai bersenandung, “Spent twenty-four hours, I need more hours with you…”

Tiba-tiba, “Un(o), dos, un(o), dos, tres, cuat(tro)!” Kentung menghitung lalu disusul gebukan dan distorsi yang berbarengan. Sebuah intro lagu bertajuk Anticop Fuck The Police itu lantas membuyarkan nyanyianku.

Tapi, energiku langsung membuncah layaknya naik darah. Gaskeun! Begitulah kami mengawali latihan siang itu. Disusul berturut-turut, Orgasmatron, Dead Embryonic Cells, Territory dan sebangsa tempo prestissimo lainnya. Dan tentunya, karya-karya kami sendiri.

Aku sangat bersemangat, sehingga tidak terasa latihan dua jam penuh paripurna. Kami pun keluar dari ruang studio dan kembali bersantai dengan merokok. Setelah beberapa lama, Kentung mengajakku.

“Sesuk awan onok demo nolak penggusuran,” ucapnya. “Melok ta gak?” (Besok siang ada demo menolak penggusuran. Ikut apa tidak?)

"Gak," jawab saya, "Onok sing kudu tak tekani." (Tidak. Ada yang harus aku hadiri)

Lantas, aku pamit pulang duluan karena giliran menjaga toko ibuku di Kertajaya. Sebenarnya, aku berharap bisa bertemu seseorang yang fantastis yang baru saja kutemui di Clofus pagi ini. Astaga! Aku sudah merindukannya.

Tapi tunggu dulu, kenapa sih Avanza hitam itu masih parkir di tempat yang sama seperti tadi, di bawah pohon tabebuya itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status