Share

5 | Buku-Buku Merah

KELURAHAN Kertajaya dan Kelurahan Juwingan ini dibelah kali buatan selebar 3 meter sebagai pemisahnya. Amelia sendiri tinggal di Juwingan. Layaknya kali di perkampungan pada umumnya, banyak sampah mengapung seperti bungkus makanan, pembalut wanita, hingga helm. Anak-anak kampung pun suka buang air besar di kali ini. Aku sendiri tinggal tepat di seberang kali itu.

Kali ini, aku melihat bocah-bocah itu tengah dolan di kubangan yang mulai surut di pinggir kali. Dengan ingus yang menjuntai, mereka dengan riang bermain separuh telanjang di bawah payungan pohon kersen. Memang, malam sebelumnya hujan terjun dengan deras. Tapi sekarang, giliran sang surya yang tak mau kalah memamerkan kekuasaannya.

Sambil menjaga toko, aku mengalihkan perhatian dengan bermain gitar. Adalah tembang ‘When I See You Smile’ karya Bad English yang aku pilih. Tentu saja, sambil membayangkan bagaimana Aisyah tersipu, Kirana tertawa dan Juleha lagi mandi. Lha bagaimana lagi, senyum mereka melekat di ingatan. 'When I see you smile, I can face the world'. Sepertinya aku baru saja kesambit semar mesem atau jaran goyang?

Aku memang suka lagu-lagu barat karena kekuatan liriknya mahadahsyat. Memang ada beberapa lagu Indonesia yang punya kekuatan syair yang sama. Misalnya saja, ‘Cintaku Padamu’ yang dipopulerkan oleh almarhum Nike Ardilla. Begini penggalan refrain-nya, “Cintaku padamu, tak kan berubah. Walau ditelan waktu. Biarlah, kan kusimpan dalam hati. Cinta yang tulus ini.”

Tiga tahun setelah tembang itu dirilis, sang diva tewas. Mobil yang dikendarainya menabrak tong sampah. Ironisnya, doi meninggalkan dunia pada usia 19 tahun, empat tahun lebih muda dari usiaku sekarang. Belakangan ini, jarang ada yang memutar lagu itu. Mungkin takut kualat. Tapi, walau kepopulerannya ditelan waktu, warisan doi tetap kusimpan dalam hati.

“Tumbas,” ada suara anak-anak. (Beli)

Rupanya si Nana, bocah perempuan empat tahun anak tetangga. Anak kecil itu datang sendiri tanpa ditemani orangtuanya. Anak-anak di Kertajaya ini sudah diajari mandiri sejak kecil. Dua tahun dari sekarang, Nana bakal sudah bisa cari uang sendiri di simpang empat Kertajaya – Dharmawangsa.

Sebagai permulaan, si Nana mungkin akan dibekali kayu kecil dengan sejumlah tutup botol atau krempyeng yang dipaku. Hebat kan? Dengan alat sesederhana itu, anak kecil pun bisa mendulang uang sendiri.

“Tuku opo, Nduk?” tanyaku. (Beli apa, Nak?)

“Mogi-mogi,” jawabnya sambil menyerahkan sekeping uang logam Rp1.000.

“Ibukmu nang ndi?” (Ibumu ke mana)

“Umbah-umbah.” (Mencuci baju)

Aku memberinya jajanan dua bungkus stik krispi dan menyodorinya dua permen, sebagai bonus. Bela menyambarnya dan langsung kabur. Tapi nahas, dia tertangkap.

“Hayo! Ngomong opo, Nduk?” tanya si penangkap. (Hayo! Bilang apa, Nak?)

“Matul nuwun,” jawab Nana. (Terima kasih)

Penangkap gadis cilik itu tak lain adalah adik perempuanku yang baru saja keluar dari rumah. Ini artinya, gantian sif jaga toko. Adik semata wayangku ini namanya Djenar Laras Anggraeni. Dia akrab dipanggil Yeyen. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, dia baru saja berstatus mahasiswa baru Clofus di Jurusan Sastra Jepang.

Adikku satu ini juga rock n roll anaknya, dalam arti kiasan. Soalnya, sebagai cewek, Yeyen tak kemayu. Sebaliknya, dia banyak tingkah. Benar-benar gak senada dengan namanya yang keputri-putrian. Kalau sedang diam, berarti Yeyen sedang membaca manga atau menonton anime.

Sore-sore begini, ngopi di Warkop Cak Lamis sambil membayangkan Juleha lagi senam fitnes, sepertinya menyenangkan. Dengan hanya sports bra dan legging, Juleha berkeringat lantaran berlatih push up. Cukup dengan membayangkannya saja, aku sudah autoberolahraga.

“Nek ibuk nggoleki, aku nang Cak Lamis,” aku memberitahu adikku.

“Haik!” jawabnya pendek sambil hormat ala militer.

Baru saja aku keluar dari toko, semerbak wangi feromon terpapar di udara. Sosok itu mengenakan semacam earphone yang bertengger di telinga kirinya. Penebar zat perangsang itu datang dengan hanya mengenakan daster polkadot. Tali branya kelihatan. Merah jambu warnanya. Rasanya mau mimisan.

Akhirnya ...

Aku pun langsung putar balik, pura-pura mengelap motor demi menyaksikan keindahan ciptaan tuhan satu ini.

“Sepeda sudah mengkilap begitu, masih dilap,” sindirnya pakai bahasa isyarat.

“Sepeda saja aku rawat, apalagi kamu,” godaku via finger alphabet.

“Hai Yen,” dia malah melengos ke adikku.

“Hei, Mbak Je,” balas adikku.

Jeje adalah panggilan akrab Juleha di kampung sini. Dia lantas membeli sabun mandi dan mengambil satu tabung gas melon. Juleha lantas menyerahkan selembar uang Rp20 ribu kepada adikku. Aku sendiri sampai tidak bisa membedakan dada Juleha dan tabung gas melon itu.

Lalu, Juleha dan Yeyen ngobrol tentang hari pertama masuk kuliah. Juleha—secara lisan sebaik yang dia bisa—bertanya kepada Yeyen tentang mahasiswi blasteran baru itu. Yeyen menjawab, nama cewek hasil kawin silang itu adalah Kirana. Dia baru saja lulus dari SMA swasta di Jakarta.

Aku pun mencuri dengar bagaimana cewek-cewek berkomplot membahas cewek lainnya. Tapi, mengapa Juleha bertanya tentang sosok Kirana? Apakah dia khawatir tersaingi?

Aku pun jadi teringat niatku untuk menginterogasi adikku tentang si Kirana. Tapi, tak mungkin aku lakukan di hadapan Juleha. Lagipula, sejumlah informasi penting sudah aku ingat-ingat. Setelah basa-basi dengan adikku, Juleha lantas meminta bantuanku.

“Lang, bantuin ganti galon, dong?" pinta Juleha dengan bahasa isyaratnya. "Gak ada orang di rumah, nih.” 

Aku menyeringai mengetahui frasa itu diungkapkan Juleha. 'Gak ada orang di rumah' itu kalau dalam kamus percintaan, adalah isyarat ajakan yang tersirat untuk 'bergulat'. Hanya yang pernah menjalin hubungan asmara saja yang paham frasa satu ini.

Bagi yang belum pernah merasakan 'gak ada orang di rumah', cucian deh lu! Fiks, ente jomblo karatan. Masak 20 tahun ente hidup, 'itu' cumak dibuat kencing doang? Lol! Eh! Aku sendiri kan juga lagi jones. Hiks!

“Jangan manja. Kamu kan kekar. Angkat sendiri!” balasku dengan gestur jemari.

Jual mahal dulu dong. Emangnya, aku couo apakah?

“Awas kamu, tak sebarkan ke teman-teman kalau kamu suka Cece!” serang balik Juleha dengan jurus jari-jarinya.

“Mana galonnya?” Aku menyerah secara lisan.

Juleha tampak tersenyum penuh kemenangan. Gak papa sih, sebenarnya. Secara, aku suka lihat dia seneng. Sementara, Yeyen cekikikan seolah paham situasi dan apa yang kami perbicangkan. Mungkin karena melihat wajah manyun Juleha dan kepasrahanku.

Aku pun membuntuti Juleha hingga ke tempat tinggalnya yang berselisih lima rumah dari rumahku. Rumah Juleha ini relatif mungil, seperti hunian tipe 30 yang memanjang ke belakang. Di bagian beranda rumah Juleha, terpampang papan triplek bertuliskan ‘Juwal Gado-Gado’. Ya, pakai ‘W’. Adalah ibu Juleha, Mak Suwarni, yang menjajakannya. Tapi, beliau kelihatannya sedang tidak ada di rumah.

“Ke mana ibumu?” tanyaku pada Juleha dengan isyarat.

“Makan bakso di Cak Takim,” jawab Juleha.

Ya, di rumah mungil inilah Juleha dan ibunya tinggal. Sang kakak laki-laki Juleha, memilih untuk indekos di gang sebelah. Soalnya, rumah ini terlalu kecil untuk ditinggali tiga orang dewasa.

Di bagian ruang tamu dalam rumah, aku melihat ada tumpukan serta deretan buku lawas. Buku-buku ini tidak seperti buku-buku kuliah. Kalaupun disebut novel, mungkin dari genre aksi-konspirasi-horor-thriller-misteri.

Lah! Dari judulnya saja sudah menyeramkan. Misalnya saja ‘Palu Arit di Ladang Tebu’, ‘Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan’, ‘Perlawanan Kaum Tani’, ‘Di Bawah Lentera Merah’, dan lain kroni-kroninya. Uniknya lagi, buku-buku itu dominan warna merahnya.

Ya, aku tahu buku-buku itu, tapi tak pernah membacanya sampai tuntas. Termasuk bacaan berat kalau kata anak milenial semacam aku. Pastinya, buku-buku itu juga bukan milik Juleha. Aku tak pernah bertanya padanya. Tapi, aku berkesimpulan buku-buku itu punya almarhum Cak Sam maupun mendiang Cak Pur, kakek dan bapak Juleha.

Di antara tumpukan buku-buku itu, mataku tertumbuk pada satu majalah remaja edisi lama yang terbuka halamannya. Aku tahu karena adikku juga punya majalah yang sama. Di halaman yang terbuka itu, terdapat foto seorang model yang mengenakan gaun pesta warna putih dengan renda-renda di bagian pinggangnya.

Belum sempat aku menamatkannya, majalah itu keburu disambar oleh Juleha. Sepertinya, dia tidak ingin aku membacanya.

Juleha lantas melangkah ke arah belakang sambil menunjukkan padaku letak galon isi ulangnya. Aku pun melihat Juleha mengambil handuk berwarna krem yang senada dengan kulit sawo matangnya. Lalu, dia merentangkan dan mengibas-ngibaskannya. Ketika itu, aku tahu ukuran handuk itu hanya satu depa. Doi lantas melingkarkannya ke leher. Sepertinya, Juleha hendak mandi. Aku pun memohon padanya.

“Ikut,” lisanku memohon dengan halus.

“Gendeng!” semprot Juleha.

“Mau ke mana, mandi segala?” aku bertanya dengan bahasa isyarat.

“Kerja.”

“Di Haji Malih?”

“Iya,” jawabnya secara lisan, lantas masuk kamar mandi.

Kaji Malih merupakan saudagar kacang hijau. Beliau merupakan salah satu orang paling kaya se-Kertajaya. Kaji Malih pun orang yang dermawan. Beliau mempekerjakan tetangga sekitar. Orang-orang menghormatinya. Kaji Malih punya tiga istri. Gak penting ya? Penting dong. Makanya baca terus supaya tahu kenapa Kaji Malih poligami.

Juleha sendiri sepulang kuliah terkadang bekerja paruh waktu mencuci dan mengeringkan kacang hijau di gudang Kaji Malih di daerah Pucang demi membantu perekonomian keluarganya. Terkadang juga, dia bekerja sebagai pembantu di katering Mak Atik kalau ada hajatan. Pekerjaan ini bisa menyita waktu Juleha. Soalnya, hajatan seperti resepsi pernikahan atau pengajian, selesainya larut malam.

Kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi mendecit. Juleha tampak mengintip dari balik pintu. Rambutnya terlihat basah.

“Lang, tolong tabung gasnya sekalian diganti!” perintah Juleha dari dalam kamar mandi.

Sudah kuduga. Pantesan dia tadi datang ke toko tidak membawa tabung gas. Apakah Juleha sengaja, supaya aku datang ke rumahnya? Atau memang dia hanya kelupaan?

Aku pun mulai mengganti tabung gas melonnya. Bagian dapur rumah keluarga Juleha ini sempit dan dipenuhi dengan berbagai perabotan. Kamar mandinya pun bersebelahan langsung dengan dapur.

Aku bisa mendengar bunyi gerojokan air dari balik pintunya yang sudah reot. Sorot lampu kamar mandi pun menembus retakan-retakan pada bagian pintu yang sudah lapuk. Bahkan, pada engsel bagian bawah, ada celah yang seekor kucing dewasa bisa leluasa keluar masuk. Cipratan-cipratan air pun keluar dari situ.

Baru saja selesai memasang tabung gas, terdengar bunyi pintu kamar mandi dibuka. Ceklek. Juleha keluar dengan hanya berbalut handuk nan ketat. Belahan dadanya memberontak meronta-ronta hendak membebaskan diri. Pada bagian bawah, handuk hanya menutupi sebagian pahanya. Dengan handuk warna krem, gilak! Aku membatu.

For your information, sejatinya pemandangan seperti ini sudah beberapa kali aku alami. Jadi bukan yang pertama kalinya. Bahkan pernah satu kali, Juleha pernah dengan sengaja tampil polos tanpa busana di hadapanku. Suwer! Ketika itu, kami berdua sedang liburan di Kota Malang. Kebetulan hari itu dingin lalu hujan turun dengan derasnya. Aku lupa bagaimana awalnya, pokoknya kami berdua sudah saling berpelukan demi kehangatan di dalam kamar hotel.

Entah apa yang ada di benak Juleha? Dia tiba-tiba mengajakku ke kamar mandi. Dia mulai melepas semua bajunya. Aku pun melakukan hal yang sama. Lalu, Juleha membuka kran shower. Kami mandi bersama. Aku jadi ingat, ada tanda lahir di pantat sebelah kiri Juleha.

Beberapa lama kemudian, terdengar suara orang-orang berteriak dengan gaduhnya, disusul bunyi pintu kamar terbuka. Aku bisa merasakan aura amuk massa dari derap langkah kaki yang menuju kamar mandi. Aku dan Juleha yang terlanjur basah tanpa busana di dalam kamar mandi, mulai ketakutan tak bisa kabur.

Di hadapan kami, ada dua orang yang dengan jelas diselimuti kemurkaan. Mereka mulai mengutuki kami dengan berbagai sumpah serapah. Aku dan Juleha pun mulai menangis karena tak sanggup lagi mendengarnya.

Saat itu, kami berusia enam atau tujuh tahun. Mak Tini langsung memandikan Juleha sambil mencubiti pantat putrinya. Sementara aku, dijewer ibu sepanjang jalan balik ke kamar keluarga. Kalau tidak salah, ketika itu ada rekreasi RT/RW. Belakangan, aku baru tahu kalau rekreasi warga itu disponsori oleh seorang calon anggota DPRD Surabaya dari daerah pemilihan Juwingan-Kertajaya.

"Nek kate udan-udan iku ngomong disek, Le. Ojok ucul sak karepmu dewe!" semburnya. (Kalau mau hujan-hujan itu minta izin dulu, Nak. Jangan menghilang seenakmu sendiri!)

Tiba-tiba ...

“Lang… Woi, Galang!” sembur Juleha.

Aku lantas tersentak. Mandi macam apa cepet banget.

“Belum selesai juga. Ngapain aja, sih?” tutur Juleha dengan isyaratnya.

“Sudah gini lho,” jawabku sambil menahan geli di pangkal paha.

“Antarin ke gudang, dong,” pintanya lagi dengan gestur.

“Jalan sendiri kenapa? Kayak putri raja aja pake diantarkan,” aku menghindar, padahal senang sekali.

“Awas kamu, tak sebarkan ke teman-teman…”

“Okey ...”

Aku lantas pulang untuk mencuci muka alias raup. Ketika aku keluar, rupanya Juleha sudah di depan rumah sambil berbincang akrab dengan ibuku. Juleha hanya mengenakan kaus kasual, celana jins dan sandal jepit. Sederhana sekali. Dia hanya berdandan seperlunya. Atau mungkin, Juleha tidak punya cukup uang untuk membeli beraneka kosmetik dan tetek bengeknya.

Rasanya, ingin kubelikan seperangkat alat kontrasepesi, eh maksudku seperangkat alat kosmetik kepadanya. Tapi, bagaimanapun penampilannya, bagiku Juleha selalu tampil lovely di mataku.

“Maaf Bu, Galang maksa, mau mengantarkan Jeje ke Haji Malih,” tutur Juleha dengan ucapan yang berat dan patah-pataah tapi masih bisa dimengerti.

Ibuku dan Yeyen cekikikan mendengarnya.

Sial. Siapa juga yang maksa. Kan dia sendiri yang mengiba. Tapi aku tak keberatan. Malah hatiku berbunga-bunga dibuatnya. Kalau bisa, sering-sering minta bantuan angkat galon pun aku bersedia.

“Pantesan atek raup barang,” goda ibukku. “Ati-ati nggowo anak’e uwong.” (Pantas pakai cuci muka. Hati-hati membawa anaknya orang)

“Halah, mek sak uncalan watu ae,” aku membela diri. (Halah, cuma selemparan batu aja)

Juleha pun duduk di kursi penumpang. Dari dekat, aku bisa mengendus harum deodoran andalannya. Juleha sengaja menjaga jarak. Walau begitu, buah dadanya tetap menyentuh punggunggku. Walau dibungkus bra, aku masih bisa merasakan kekenyalan. Kedua paha Juleha yang mengapit pantatku rasanya semriwing. Ini memang bukan yang pertama kali aku membonceng Juleha, tapi sensasinya itu loh—selalu perdana.

“Mundur sedikit dong,” aku menggodanya dengan isyarat.

“Sudah di pojok,” jawab lisannya

“Oke.”

Sepanjang perjalanan, aku waspada memperhatikan jalan. Soalnya, kalau ada lubang atau polisi tidur, aku akan sangat berbahagia. Tapi, aku tak boleh menunjukkannya terang-terangan. Tak lama kemudian, sampailah di depan gerbang gudang Kaji Malih. Aku pun hendak putar balik. Tapi sebelum itu, Juleha bertanya padaku.

“Kamu mau ke mana?” tanya Juleha dengan gesturnya.

“Ke Cak Lamis,” jawabku. “Opo’o?”

“Em ...,” Juleha bergumam sendiri, “Gak jadi, deh,”

“Baru diantarkan juga udah kangen,” godaku dengan jari-jari.

Juleha tak menjawab. Hening sejenak. Sepertinya, dia hendak ngomong sesuatu tapi diurungkannya. Kemudian Julia melepas helmnya, memakai alat bantu dengar, berbalik, dan melangkah menuju gudang Kaji Malih. Belum jauh, aku tersenyum dan kupanggil Juleha.

“Je!”

“Ya?” dia berbalik dan tampak senang.

“Balikin helmnya, sini?”

Juleha lantas menyerahkan helm dan langsung berbalik tanpa berkata apa-apa. Wajahnya tampak kecewa. Biarin aja. Aku pun suka lihat Juleha kalau lagi bete. Pipinya jadi makin keliatan tembem, seakan tak bakal habis dicium sepanjang malam. Tapi, aku punya rencanya terhadapnya.

Sore itu, kemilau paparan sang surya semakin menambah kemolekan tubuh Juleha. Aduhai senangnya! Aku tidak ingin momen ini cepat memudar. Jadi, aku menatapnya berjalan sampai dia menghilang di balik gerbang gudang.

Kemudian, aku mempersiapkan diri untuk menghadapi orang paling berbahaya se-Surabaya. Para tetua Juwingan – Kertajaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status