KEESOKAN hari, aku terbangun. Rasanya berat kepala ini. Sakit sekali, pengar dan mual. Rasanya ingin tidur lagi. Tapi tak bisa. Guling ke kiri sakit, ke kanan pun sama. Pasti aku terlalu banyak minum tadi malam, hingga lupa daratan.
Mataku lantas tertumbuk pada sebuah poster jumbo. Ada seorang kakek bersorban putih dengan cambang yang lebat. Telunjuknya mengarah ke atas seperti sedang menasehati. Dia bukan Gandalf, melainkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Di sebelahnya ada gambar siluet Che Guevara, pahlawan revolusi Kuba. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Rupanya ada Jonathan Davis dan Max Cavalera.
Oh syukurlah, aku di kamarku sendiri.
Aku lantas melihat jam dinding, pukul 08.25 WIB. Busyet! Setengah jam lagi dimulai penyuluhan narkoba di Hotel Wahid. Aku lantas mengambil ponselku. Ada 12 missed video call dari Juleha. Aw! Ngeri kali si Juleha kalau mengingatkan.
Kemudian, terdengar nada dering lagu Insane karya Prodigy dari ponselku.
NGOMONG-ngomong tentang Boumerank, mereka adalah band rock paling fenomenal di Indonesia. Bahkan salah satu yang paling terkemuka di dunia! Tidak ada band rock di Indonesia yang bisa menyaingi popularitas Boumerank. Band rock ini kerap diundang sebagai bintang tamu di acara festival musik internasional, seperti Summerfest dan Woodstock di Amerika Serikat, yang penontonnya bisa mencapai 800 ribu orang.Kemudian, kami bertiga--aku, Eko dan Kunto--berbicara tentang musik dan gosip hiburan lainnya. Dalam dunia hiburan, gosip adalah hiburan itu sendiri. Hanya dengan membicarakannya saja, itu sudah seperti mengerjakan hobi."Ngomong-ngomong, siapa pengacara Inod?" aku bertanya."Seperti biasa, pria gundul dari timur itu," jawab Kunto.“Ha ha ha, dia selalu jadi pengacara selebriti kalau ada masalah,” kata Eko."Tapi dia baik untuk Inod. Dia bisa keluar dari penjara," kataku."Dengan syarat," Eko mengingatkanku. "Inod dilarang membuat a
"KARENA ..." Syahrir ragu-ragu. "Ada beberapa hal yang tidak bisa saya ungkapkan di sini.""Jadi mana yang lebih penting, keduniawian atau jihad melawan maksiat?" Aaliyah bersikeras."Keseimbangan," jawab Shahrir.Aaliyah tersenyum mendengar jawaban Shahrir. Dia kemudian beralih ke Sulaiman, pengacara Damha Inod. Dia bertanya apakah Inod akan melaporkan tentang hal yang sama. Awalnya, Sulaiman menertawakan Syahrir. Sulaiman mengatakan Syahrir patut bersyukur bisa tampil di televisi. Seharusnya, jika Inod mau, Syahrir juga bisa ditangkap karena menghinanya."Inod menghargai perbedaan pendapat, tapi tidak dengan mereka. Mengapa kebenaran hanya milik mereka?" Sulaiman dengan sinis menyebut Lasjitara.Saat itu, aku merasa Sulaiman dengan sengaja memancing emosi Imam Syahrir.Aaliyah pun meminta, apakah Inod bisa bebas dari tuduhan pencemaran nama baik ormas Islam.Sulaiman berkata dengan tegas, dia akan membela Inod dengan keras. Hak untu
AKU kemudian mengangguk mengerti. Aku minta diri, berbalik, dan mulai berjalan pergi, meninggalkan Aisyah dan Farhan. Sebenarnya, aku merasa tidak ingin Aisyah sendirian dengan Farhan. Apalagi setelah perseteruan kecil dengan putra Bupati Bangkalan itu.Belum jauh aku melangkah, Aisyah memangilku."Lang," panggil Aisyah.Aku berbalik ke arahnya."Maaf," katanya, "dan terima kasih.""Untuk apa?" Aku bertanya."Aku gak tahu," jawab Aisyah sambil mengangkat bahunya."Gak usah dipikirin," aku menasihatinya.Sementara Aisyah kembali ke Farhan, aku melanjutkan langkah menuju halaman musala. Ketika aku sampai di tengah pintu masuk musala, ada Mat Bagi. Aku melihat Mat tersenyum-senyum sendiri di depan kotak amal, seperti orang yang kehilangan akal."Ngapain ente?" tanyaku heran dengan tindakan anehnya."Guru ngajiku di Gresik pernah berpesan, senyum adalah sedekah juga," jawabnya."Bener iku," aku tersenyum kecut
Di dalam kelas, suasana terlihat gaduh. Teman-teman sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya seru. Soalnya, beberapa dari mereka tampak bahagia dan sebagian lainnya terlihat murung. Mula-mula, aku tidak peduli apa yang menjadi bahan diskusi. Tapi lambat laun, aku ingin tahu juga.Baru saja aku hendak bertanya, mataku kedutan. Namun, feromon ini dalam jumlah jamak dan random. Aku tidak bisa memastikannya.Seperti sebelumnya, datang entah dari mana, sambil melempar senyum, Lita yang seksi meletakkan jari telunjuknya di bibirku, Gatot yang kekar memberiku cium jauh, Bianca dengan bibir sensualnya mendesah, dan Tari yang gemulai menampar pantatku. Mereka berlalu melewatiku seolah tidak terjadi apa-apa.Aku pun hendak memberi respon serupa kemarin, tetapi teringat Aisyah dan Juleha. Aku sisir pandangan di ruangan, aku menemukan mereka terduduk di kursi masing-masing sambil memelototiku dengan tajam.Aku urungkan niat untuk me-rewind flirting dari LGBT Gang.
MALAM hari, aku masih merasa senang bisa bertemu dengan Resti yang mengajar Cross-Cultural Understanding alias Pemahaman Lintas Budaya. Walau masih muda, dia orangnya penyabar dan penyayang dalam mengajar. Gaul pula! Aku jadi bertanya-tanya sendiri, apakah Resti sudah punya pacar, atau bahkan sudah bersuami. Mengapa aku jadi tidak rela kalau dia sudah ada yang punya?Sementara itu, aku hanya tiduran di kamar sambil mengutak-atik ponsel dengan menggeser-geser postingan media sosial Facebook teman-teman. Aku scroll terus karena sedikit sekali yang menarik minatku. Seperti biasa, beranda Facebook-ku dipenuhi swafoto, keluhan minor hingga sumpah serapah.Perhatianku lantas tertuju pada akun dengan foto seorang perempuan tengah bergaya di sebuah tempat yang sepertinya mal. Akun itu bernama alias JJ Juleha. Dia mengunggah sebuah foto dirinya sedang berada di sebuah tempat rekreasi dengan latar belakang air terjun. Sepertiya aku mengenali air terjun itu.Juleha memberi
Keesokan hari, kebetulan aku bangun pagi. Ini bukanlah sesuatu yang aku rencanakan. Mungkin karena habis tidur nyenyak, setelah saling tukar pesan dengan Kirana, semalam. Rasanya, ada spirit baru yang menelusup ruang batinku. Seketika itu, aku segera membersihkan diri dan bersiap back to the kampus.Ketika memanasi motor, mataku kedutan. Rupanya, Juleha tengah melintas di depan rumahku. Aku pun menyapanya atas nama Dewi Sri, dewi kesuburan. Dia malah menyindir dengan mengataiku, tumben bangun lebih awal. Demi menyaksikan seorang bidadari, tentu aku harus rela berkorban. Seperti biasa, Juleha hanya nyengir.“Halah! Gombal mukiyo!” tuding ibukku. “Wes, ndang budal bareng kono, lho,” ibuku memanas-manasi situasi dari dalam toko. (Halah! Rayuan gombal. Sudah berangkat bareng sana)Aku berdehem, lalu menawari Juleha berangkat ke sekolah bareng. Doi setuju. Aku pun menawarinya memakai helm. Tapi, ibuku mengatakan tidak usah pakai helm, lha wong
AKU bisa mendengar bel masuk kelas berbunyi. Tapi, aku masih enggan beranjak dari tempatku duduk. Aku merasa diriku jatuh ke jurang tanpa dasar. Melayang-layang dalam kebingungan. Aku linglung. Jadi teringat video yang menampilkan orang-orang budak narkoba di pusat rehabilitasi narkoba, tempo hari.Lantas ada aroma ketek yang terpapar bebas di udara, disusul telapak tangan yang menepuk pundakku dengan berat. Cuma ada satu orang yang bisa membebaskan gas beracun seperti itu. Dan hanya ada satu orang yang punya kekuatan berlebih untuk satu pekerjaan sepele. Aku pun menoleh.“Mbolos ta?” ajak Mr. P.“Gas!” sahut Mat Bagi.Aku mengangguk setuju. Tapi, sejak kapan mereka berada di sebelahku? Pokoknya, sekarang ini aku mesti menyingkirkan dulu semangat belajarku. Setidaknya, ke luar kampus dengan suasana baru bareng Mr. P dan Mat Bagi. Mereka selalu bisa diandalkan untuk menghibur hari burukku.Aku, Mr. P dan Mat Bagi menyusuri ja
SEPANJANG perjalanan pulang, aku dan Juleha tak saling berkata. Aku terus dibayang-bayangi Aisyah dan Farhan. Mereka seolah-olah sedang menertawakanku. Sementara Juleha, aku tidak tahu apa yang hinggap di benaknya. Mungkin, masih kecewa dengan sikapku di sekolah yang tak kunjung berubah.Sampailah di rumah Juleha. Dia lantas turun dari kendaraan, lalu menghadap ke arahku. Wajah Juleha tetap memerah. Aku bisa melihat dirinya masih menahan BAB, eh sori, menahan kekecewaan. Aku menunggu Juleha mengatakan sesuatu. Tapi dia diam saja. Semilir angin lantas berhembus menciptakan debu-debu yang berterbangan kayak di wild wild west.“Aku minta maaf,” tuturku lembut.Juleha masih membisu. Dia lagi-lagi menghela nafas. Aku bisa melihat dadanya membusung, lalu mengempis. Sepertinya Juleha merasakan sesuatu yang sebelumnya tertahan, telah menghambur keluar dari tubuhnya, tapi bukan kentut. Aku pun bisa merasakan kelegaan yang sama.“Ya sudah