"Mau kemana?" tanya Dewa saat melihat istrinya sudah berganti pakaian.
"Mau ke pasar. Beli sayur. Di kulkas cuma ada lauk," jawab Dara.
"Mas anter, ya."
"Gak usah. Aku sama bibik. Cia juga mau ikut."
"Cia gak usah pergi. Kan baru sembuh. Kamu sama bibik aja berdua," cegah Dewa.
"Kasian, Mas. Lagian aku cuma bentar. Dapat yang dicari langsung pulang," pinta Dara.
Tak tega dia melihat anak itu saat memohon tadi. Dara juga sebenarnya sudah menolak halus, tapi Ciara merajuk dan menekuk bibir. Akhirnya dia luluh dan mengizinkan.
"Jadi mas sendirian di rumah?"
"Kami sebentar aja, kok. Itu di kulkas isinya makanan instan semua. Masa Cia makannya nugget sama sosis terus. Kurang bagus untuk pertumbuhan," jelasnya.
Makanan siap saji memang disukai anak-anak dan praktis. Namun, jika dikonsumsi terlalu berlebihan tidak bagus juga buat kesehatan.
"Siap Bu Guru."
"Kalau gitu aku jalan dulu," pamitnya.
"Kalian naik apa?"
"Pake motor. Aku pinjem, ya." Dia mengambil dompet kecil dan menyelipkan di saku celana.
Dewa membuka dompet, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan menyerahkannya kepada istrinya.
"Buat kamu belanja."
Wanita itu mengambil dengan ragu-ragu lalu memasukkannya ke dalam dompet.
"Makasih, Mas."
"Beli apa aja yang kalian suka. Kalau aku apa aja doyan," lanjut Dewa.
Dara tersentak untuk beberapa saat. Pantas saja Laura sangat sayang kepada Dewa. Lelaki ini sungguh baik hati dan bertanggung jawab.
Apakah dia beruntung bersuamikan Dewa sekalipun pernikahan ini hanya sandiwara?
"Iya. Aku pergi dulu," katanya berpamitan.
Dewa mengulurkan tangan. Dara terdiam lalu meraih lengan lelaki itu dan mencium punggung tangannya.
"Tanda bakti kepada suami," kata-kata ibunya masih terngiang.
"Hati-hati. Nanti mas transfer uang bulanan." Lelaki itu mengambilkan kunci motor.
"Buat apa?" Dara menerimanya lalu menyelipkan di saku sebelahnya.
"Buat jajan kamu."
"Gak usah, Mas. Kita kan cuma pura-pura."
Ucapan Dara membuat Dewa terdiam. Entah mengapa dia tak ingin pernikahan ini hanya sebatas status.
Lelaki itu berharap mereka bisa menjalani kehidupan normal seperti pasangan yang lain. Apalagi melihat Dara yang cukup telaten mengurus putrinya, walaupun tak sama seperti Laura dulu.
"Kamu istri mas. Sudah kewajiban mas buat nafkahin," ucap lelaki itu dengan tenang.
"Tapi aku gak enak. Aku sendiri juga gak bisa ngurusin mas kayak istri yang lain," kata Dara.
Dewa tahu apa maksud dari ucapan istrinya tadi.
"Itu udah jadi kesepakatan kita di awal, kan?"
"Iya."
"Tapi kalau mas mau dikasih juga boleh," jawabnya sambil menatap istrinya lekat.
Deg!
Jantung wanita itu berdetak hebat. Jika menyinggung soal ini, lebih baik dia berpura-pura tak mengerti.
Dara balas menatap suaminya dengan hati yang gamang, lagi-lagi mengabaikan apa yang diucapkan Dewa. Dia tak mau membahas itu lebih lanjut.
"Aku pergi dulu. Kalau kesiangan, sayur segarnya pada habis."
Dia berjalan keluar dan mendapati Ciara sudah menunggu di depan dengan bibik. Anak itu asyik bercerita sementara si bibik mendengarkannya sambil ikut berkomentar.
Melihat Dara muncul, matanya berbinar senang.
"Mama. Ayo kita pergi sekarang." Ciara memeluk dengan manja.
Wanita itu membalas pelukan putrinya dengan menggendong tubuh mungilnya dan mendudukkan di motor.
Ciara besorak kegirangan karena mendapatkan perlakuan seperti itu. Ternyata Dara pandai juga membujuk anak-anak.
Begitu semua sudah siap, Dara menghidupkan mesin dan membawa motor dengan pelan.
Si bibik yang memberitahukan arah karena dia belum begitu hafal dengan daerah perumahan sekitar sini.
Tanpa mereka sadari, sejak berangkat tadi, diam-diam Dewa mengintip dari balik jendela dan mengulum senyum.
***
Tergesa-gesa, mereka memasuki rumah. Ciara tampak terbaring lemah di dalam gendongan Dara sementara bibik membawa barang belanjaan ke belakang.
"Cia kenapa?" tanya Dewa saat melihat tubuh putrinya diletakkan di ranjang.
Wajah si mungil itu pucat dengan bibir gemetaran.
"Badannya panas," jawab Dara.
"Kok bisa? Tadi pas pergi baik-baik aja?"
"Mungkin kecapean, Mas." jawab Dara.
Dengan cekatan dia membuka baju Ciara dan menggantikannya. Dara juga mengambil termometer dan terkejut saat melihat suhunya, 39 derajat.
"Aduh panas banget," lirihnya.
"Tadi kan aku udah bilang, dia gak usah dibawa. Kamu gak mau dengerin," tegur Dewa.
Dara menoleh ke arah suaminya dan kembali mengurus Ciara.
"Lain kali dengerin. Kayak Laura itu nurut sama aku," lanjut Dewa sambil memandang putrinya dengan cemas.
Hati Dara bergolak mendengarnya. Kenapa mereka harus dibandingkan?
"Kalau belum reda juga, nanti kita bawa ke dokter anak."
Lagi-lagi Dara tak menangapi.
"Permisi, Nyonya. Ini obatnya." Tiba-tiba bibik datang dan membawakan sebotol paracetamol sirup juga segelas air.
Dengan sabar Dara membantu Ciara duduk untuk meminum obatnya.
"Anak pintar," Dara mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Papa." Ciara memeluk Dewa dengan erat, yang dibalas dengan pelukan hangat.
"Cia kan baru sembuh. Terus habis jadi pengantin sama mama papa. Jadinya masih capek. Harusnya gak usah keluar dulu. Di rumah aja." Nasihat Dewa.
Memberikan pengertian kepada anak-anak memang gampang-gampang susah. Tapi jika sabar, maka mereka akan mengerti.
"Huum," jawab gadis itu. Dia menatap mama papanya secara bergantian dengan perasaan bersalah.
"Cia tidur dulu sekarang. Nanti bibik bikinkan bubur. Sementara main di rumah dulu. Nanti kalau udah sehat lagi kita jalan-jalan," bujuk Dara.
Gadis kecil itu mengangguk lalu kembali berbaring dan memejamkan mata.
"Makasih ya," ucap Dewa tulus namun Dara susah terlanjur tersinggung karena ucapannya tadi.
Tanpa menoleh dia langsung keluar membantu bibik memasak di dapur.
Lelaki itu bertanya dalam hati apa yang tadi telah diucapkannya sehingga raut wajah istrinya berubah seperti itu.
Lalu dia teringat, tadi sempat menyebut nama Laura dan mungkin itu penyebabnya.
Hingga Ciara tertidur, Dewa masih berada di kamar putrinya. Saat melihat Dara masuk ke kamar, dia segera menyusul.
"Kamu masak apa?" Basa-basi karena Dewa tahu harus berkata apa.
"Liat aja nanti di dapur. Bentar lagi masak." Dara hendak keluar kamar saat tangannya dicekal lembut.
"Kamu marah?"
"Marah kenapa?"
"Kata-kata aku tadi."
"Yang mana?"
"Maaf aku gak bermaksud bandingin kamu sama dia." Dewa tak mau menyebut nama Laura lagi di depan Dara.
Sekalipun mereka bersaudara kandung, wanita memang tak suka jika dibandingkan dengan yang lain.
"Aku mau lanjut masak dulu."
"Yaudah, aku juga mau ngeliat email," kata Dewa.
"Oh iya, Mas. Malam ini aku tidur di kamar Cia. Takut badannya panas lagi."
Dara membuka pintu dan menghilang dari pandangan. Meninggalkan Dewa yang speechless dengan apa yang baru saja didengarnya.
Sudah satu minggu mereka menikah, dan selama itu juga Dara berada di kamar Ciara. Alasan Dara tetap sama, kasihan putrinya jika tidur sendirian sekalipun sudah sembuh.Itu membuat Dewa diam-diam menyimpan rasa kesal. Putrinya juga sama, lebih senang ditemani oleh Dara dari pada dirinya.Sudah satu minggu ini juga Dara mempelajari kebiasaan keluarga ini. Dari Dewa yang suka menyimpan handuk basah di kasur, meletakkan tas kerja atau ponsel di sembarang tempat, juga menarik baju sembarangan dari lemari.Ah, rasanya semua laki-laki memang begitu.Satu lagi, Ciara terlalu dituruti semua keinginannya sehingga anak itu sangat manja. Apa pun yang ingin dia minta untuk jajan, maka Dewa akan langsung membelikan, tak peduli itu baik untuk kesehatan atau tidak.Alhasil, hari ini anak itu mengeluh sakit gigi."Tadi beli apa waktu jalan sama papa?"Ciara memandang Dara deng
Sepanjang perjalanan menuju dokter gigi semua terdiam. Dara memilih duduk di kursi belakang, sementara Ciara duduk di depan bersama Dewa.Anak itu tidak mau dipangku. Katanya dia sudah besar, walaupun sikapnya masih manja sekali.Berkali-kali Dewa melirik istrinya melalui kaca spion dan mendapati Dara sedang melamun dengan pandangan menatap keluar.Tadi saat di mencuri ciuman, wanita itu terdiam sesaat, kemudian mendorong tubuhnya pelan. Lalu Dara keluar kamar begitu saja tanpa berucap sepatah katapun. Itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati.Apa istrinya marah atau bagaimana? Wajah Dara tanpa ekspresi sama sekali. Dia juga hanya menyentuh sedikit dan belum punya nyali untuk melanjutkan.Dewa mengusap bibir dengan jari saat teringat akan kejadian tadi. Senyumnya melengkung indah sejak awal berangkat hingga sekarang.Tiba di tempat praktek, dia sibuk mencari tempat
Dara mundur ke belakang saat Dewa semakin mendekat. Posisinya terpojok di dinding dan tak bisa bergerak ke arah manapun."Mas udah janji!" teriak Dara."Iya benar. Tapi apa salahnya? Kita udah halal."Wanita itu menggeleng. Dengan bibir gemetaran dia berucap, "Kita udah sepakat. Apa mas mau memanfaatkan aku?"Dewa terdiam lalu tersenyum pahit. Mereka berdiri berhadapan dan saling menatap."Aku udah ngorbanin diri demi kebahagiaan Cia. Kenapa mas menuntut sesuatu yang udah kita bicarakan sejak awal. Kalau tau jadinya begini, lebih baik gak usah!" ucapnya lagi.Dewa tersentak. Ucapan Dara tadi benar-benar menohok hatinya. Dia tak membalas apa pun. Wanita jika sedang marah memang lebih baik didiamkan hingga reda dengan sendirinya."Mulai sekarang aku pindah ke kamar Cia."Dara mengambil buku-buku yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam tas
Gadis kecil itu menunggu dengan gelisah tapi mamanya belum datang."Cia belum dijemput?" tanya salah seorang guru saat melihat salah satu muridnya itu masih berada di kelas. Dia masih memeriksa pekerjaan rumah sehingga belum pulang."Mama belum datang.""Katanya tadi gimana?""Tunggu sampai mama datang.""Kalau gitu kita tunggu. Ibu temani."Ciara membuka kotak bekal yang tadi disiapkan bibik. Sebagian sudah habis, yang tersisa hanya sandwich isi ayam."Ibu mau?""Gak usah. Kamu makan aja."Ciara langsung melahapnya dan meminum air putih. Dia jarang jajan di kantin, hanya sesekali. Itu sudah dibiasakan sejak pertama kali masuk sekolah saat masih ada Laura."Maaf mama telat, ya." Dara tergesa-gesa masuk ke kelas, karena sempat tersasar ruangan."Ayok pulang, Ma. Katanya mau ke rumah nenek
Dewa berjalan mendekati istrinya yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu."Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu Dara dengan lembut."U-dah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup."Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi.Sebenarnya dia tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Bagi Dewa, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya."Traktir Riri makan siang, sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gugup. Tangannya gemetaran sejak tadi.Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang."Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah dan mereka sudah tak berjarak."Sahabat aku di sekolah."
"Kak. Jaga Dewa untukku."Dara terbangun saat merasakan ada tepukan di pipi. Matanya mengerjap berkali-kali dan melihat sosok Riri sedang menatapnya."Kamu demam, Ra. Ayo aku antar pulang. Sekolah udah sepi.""Memangnya ini jam berapa?""Jam 4.""Astagfirullah. Aku gak ikut pertemuan jadinya.""Tadi udah dibilangin kamu lagi sakit. Jadinya gak apa-apa.""Syukurlah.""Kamu abis ngapain sampai sakit gini? Di rumah disuruh nguras bak mandi?" tanya Riri. Dia membantu Dara duduk karena sahabatnya itu terlihat lemas sekali."Kecapean kali ini. Soalnya Cia sama Mas Dewa sempat sakit. Jadinya aku ngurusin mereka berdua," elak Dara. Tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya kepada Riri."Kamu izin aja kalau emang gak sanggup kerja. Daripada drop begini."Dara mencoba berdiri. "Aduh." Wanita itu meras
Bunyi muntahan terdengar dari kamar mandi. Dewa yang terlelap langsung membuka mata dan duduk bersandar di head board ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.Dia berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Dara sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras.Refleks dia membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Dara sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur."Kamu kenapa?""Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual banget," jawab wanita itu sambil memijat dahi yang berdenyut sejak tadi."Cuci muka dulu biar seger. Aku bikinkan teh hangat," kata Dewa mengambilkan handuk kecil untuk istrinya.Dara mengambil handuk itu dan membasuh mukanya. Rasa
Sudah dua minggu ini Dara terbaring lemas. Jangankan berjalan, bangun dari tempat tidur pun dia tak mampu. Tubuhnya limbung setiap kali hendak berdiri.Hyperemesis, itulah diagnosa yang diberikan dokter kandungan kepadanya. Mual, muntah, tekanan darah rendah, yang dialaminya sekarang semakin hari semakin menghebat. Ditambah dengan mimisan dan sariawan yang datang bergantian membuatnya ingin menyerah."Mas ....""Sabar, ya," bujuk Dewa."Aku gak sanggup," keluh Dara. Entah mengapa rasanya dia ingin mati saja."Gak boleh bilang gitu." Lelaki itu mengusap kepala istrinya dengan sayang."Sampai kapan?""Kata dokter kan tiga bulan pertama. Jadi sebentar lagi.""Ibu mana, Mas?""Masih di jalan," jawab Dewa."Suruh cepatan. Aku gak kuat.""Sini mas pijet.""Gak mau. Mas mijetnya gak ikhlas."Dewa mengusap dada. Selama hamil, sikap Dara berubah seratus delapan puluh derajat. Semua yang dilakukannya sel