Share

Tak Disangka

Sepanjang perjalanan menuju dokter gigi semua terdiam. Dara memilih duduk di kursi belakang, sementara Ciara duduk di depan bersama Dewa. 

Anak itu tidak mau dipangku. Katanya dia sudah besar, walaupun sikapnya masih manja sekali.

Berkali-kali Dewa melirik istrinya melalui kaca spion dan mendapati Dara sedang melamun dengan pandangan menatap keluar. 

Tadi saat di mencuri ciuman, wanita itu terdiam sesaat, kemudian mendorong tubuhnya pelan. Lalu Dara keluar kamar begitu saja tanpa berucap sepatah katapun. Itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati. 

Apa istrinya marah atau bagaimana? Wajah Dara tanpa ekspresi sama sekali. Dia juga hanya menyentuh sedikit dan belum punya nyali untuk melanjutkan.

Dewa mengusap bibir dengan jari saat teringat akan kejadian tadi. Senyumnya melengkung indah sejak awal berangkat hingga sekarang.

Tiba di tempat praktek, dia sibuk mencari tempat parkir karena penuh. Jadi Dara dan Ciara turun duluan kemudian mendaftar dan menunggu antrean.

drg. Maharani

Praktek: Senin-Sabtu pukul 19.00 WIB-Selesai

Hari minggu dan tanggal merah libur

Begitulah yang tertulis di papan nama. Info dari si bibik, ini dokter senior yang sabar menghadapi anak-anak. Jadi, pas saja jika mereka berkunjung.

Kertas di tangan Dara tertulis angka 10. Itu berarti mereka akan cukup lama menunggu. Biasanya dokter gigi akan menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa pasien.

Kasihan Ciara kalau harus pulang terlalu malam. Mana besok jam mengajarnya pagi lagi.

"Antran nomor berapa?" tanya Dewa. 

Dia duduk disebelah Ciara sehingga posisi anak itu berada di tengah. 

Dara malas menjawab dan hanya menyerahkan kertas itu. 

Dewa mengambil dan melihat sekilas. Karena merasa dicuekkan, dia lalu bertanya kepada putrinya.

"Cia masih nyeri?"

"Dikit, Pa."

"Syukurlah."

"Papa masih sakit perut?"

"Udah gak. Tadi diusap mama jadi sembuh," jawab Dewa santai sambil mengerling Dara.

"Cia juga pas pipinya sakit diusap mama jadi enakan," kata anak itu lugu.

"Memang, usapan mama itu yahud." 

Tos! 

Dua orang itu beradu tangan dan sama-sama tersenyum. Sementara itu Dara memendam rasa kesal karena perbuatan suaminya tadi. 

Bisa-bisanya Dewa mengerjai dengan berpura-pura sakit perut, kemudian bersikap biasa saja setelahnya.

"Antrean nomor 10. Adik Cintia Aradila. 

"Ma. Nama Cia dipanggil."

Mereka bertiga langsung berdiri dan masuk ke ruangan ketika pintunya dibukakan oleh perawat.

Mata Dara terbelalak saat melihat siapa yang duduk di kursi dokter. Tadi bukannya nama dokter ini Maharani. Lalu mengapa ada dia?

"Dara?"

"Radit?"

Serentak mereka berucap lalu sama-sama tertawa karena tak menyangka akan bertemu di tempat ini.

"Silakan duduk. Siapa yang sakit gigi?" tanya Radit dengan senyum ramah. 

"Cia, Om Ganteng."

Dewa menegur anaknya karena berbicara seperti itu. 

"Memang benar, Pa. Omnya dokternya ganteng," kata anak itu menatap papanya dengan wajah tanpa dosa. 

"Langsung diperiksa aja, Dit. Tadi pagi makan gulali. Pas pulang giginya ngilu," kata Dara.

"Ayo sini."

Dengan patuhnya Ciara duduk dan pemeriksaan dimulai. Untuk beberapa saat, Radit mencari penyebab sakit gigi dan bertanya beberapa hal. 

Setelah selesai mereka kembali duduk dan lelaki itu memberikan sedikit penjelasan.

"Gigi Cia yang bolong itu harus ditambal. Kalau gak, nanti ada sisa makanan masuk terus membusuk. Itu yang menyebabkan giginya sakit."

"Jadi gimana baiknya, Dokter?" tanya Dewa dengan serius. 

Matanya menatap Radit dan Dara secara bergantian karena merasa ada sesuatu di antara mereka berdua. Hanya saja dia memilih untuk diam.

"Tadi sudah saya bersihkan, Pak. Minggu depan kesini lagi kita tambal," jelasnya pelan. 

Sebagai seorang dokter, Radit memang selalu bersikap profesional dengan ramah dan santun kepada semua pasien dari golongan mana saja tanpa membedakan. 

"Oke kalau begitu. Berapa biayanya, Dokter?" tanya Dewa saat mengeluarkan dompet.

"Gak usah, Pak. Biar aja."

"Loh, kok begitu?"

"Buat anak Dara ya gak apa-apa."

Mata Dewa mendelik memandang istrinya yang sejak tadi hanya menyimak percakapan mereka.

Dara tersentak saat menoleh dan mendapati bahwa Dewa sedang menatapnya tajam.

"Eh, Dit. Kok kamu bisa praktek disini?" tanya Dara mengalihkan pembicaraan.

"Gantiin Dokter Rani. Mendadak keluar kota tadi sore. Padahal pasien udah daftar dari pagi," jelasnya.

"Oh, pantas. Aku juga kaget pas ngeliatnya."

"Lama kita gak ketemu ya, Ra. Kamu banyak berubah."

Pandangan mata Radit ke arah istrinya membuat darah Dewa bergolak. Ada hubungan apa dulu antara mereka? Ah, dia lupa. Bukannya mereka belum benar-benar saling mengenal dan langsung menikah begitu saja.

"Iya. Gak nyangka juga kamu jadi dokter. Hebat."

"Kamu jadi guru juga, Ra?"

"Iya. Ngajar SMP swasta."

"Sesuai sama cita-cita kamu dulu, ya. Cuma pasangan hidup yang berbeda."

Mendengar wajah Dara merona. Dia berpura-pura menoleh ke samping dan melihat putrinya. 

"Cia masih sakit gak giginya?" tanya Dara. 

Sejak tadi dia berusaha menetralisir degup jantung yang berdetak cepat.

"Udah gak, Ma. Tapi nanti mama temanin Cia tambal gigi." 

Oke, Tos! Kali ini Dara dan Ciara yang mengadu jari. Itu membuat Radit tergelak. 

"Kalau begitu kami pamit," kata Dara.

"Oh ya, Dokter. Saya tetap bayar karena ditanggung asuransi kantor," desak Dewa. Dia tak mau diberi gratisan oleh orang yang sejak tadi menatap istrinya dengan mesra. 

Radit mengalah karena melihat Dewa ngotot sekali. Dia mengambil kwitansi, menorehkan angka dan memberikan stempel di kertas itu.

"Bye-bye Om Dokter ganteng." Cia melambaikan tangan saat berpamitan. 

Mereka hendak membuka pintu dan keluar ruangan, saat tiba-tiba saja Ciara menoleh kembai dan berkata.

"Eh Cia lupa tanya. Om dokter ini mantan pacarnya mama, ya?"

***

Dewa menatap putrinya yang tertunduk ketakutan dalam pelukan Dara. 

"Lain kali bicara yang sopan, Cia. Masa' kamu bilang begitu sama dokternya."

"Cia kan cuma tanya."

"Tapi yang seperti itu gak boleh ditanyakan." Nasihat Dewa. 

Selama ini dia sibuk bekerja dan meninggalkan Cia berdua saja di rumah dengan bibik. Laura sering datang namun juga tidak full menjaga putrinya karena bekerja.

Dewa baru sadar, jika tidak diawasi dengan baik, anak-anak bisa saja lost control. Ini terbukti pada putrinya tadi. Entah Ciara tahu dari mana soal mantan dan pacar. Lelaki itu pusing dibuatnya.

"Sudah, Mas. Kasihan dia habis sakit kamu marahi," bela Dara.

"Biar dia tau kalau itu jangan diulangi." 

"Maaf, Pa." Gadis itu menatap dengan penuh permohonan.

"Kamu juga, mesra banget sama dokternya. Apa dia memang mantan pacar? Kok tau cita-cita," cecar Dewa. 

Kali ini Dara yang menjadi sasaran.

"Bukanlah, Mas. Radit cuma teman sekelas waktu SMA," jawab Dara. 

Tidak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia dan Radit dulu pernah dekat walaupun tidak ada status. 

"Kayaknya dia suka sama kamu."

"Mas ini terlalu berlebihan," jawab Dara karena merasa kesal.

"Sana Cia istirahat. Besok izin sekolah kalau masih sakit." Lalu Dewa masuk ke dalam. 

Dara menbawa putrinya masuk ke kamar dan memberikan obat anti nyeri. Selama 1 minggu ini, Ciara harus rajin menyikat gigi secara teratur.

Setelah putrinya terlelap, Dara keluar kamar karena teringat belum menyiapkan peralatan untuk mengajar besok.  

Dia baru sadar bahwa sebagian barang-barangnya berada di kamar Dewa. 

Kakinya melangkah dengan hati-hati saat masuk.

"Memangya di kamar ini ada maling?" tanya Dewa menyindir, saat melihat istrinya mengintip sebelum masuk. 

"Ada kayaknya. Jadi harus hati-hati," jawab Dara ketus.

Rasanya Dara ingin berteriak. Malingnya kamu Dewa, karena sudah mencuri ciumannya. 

"Iya memang ada. Maling cewek cakep," jawab Dewa asal.

Dara mengabaikan ucapan itu, lalu membuka koper dan memasukkan buku-buku ke dalam tas.

Ceklek!

Dia menoleh ke belakang saat terdengar pintu dikunci, sementara Dewa tersenyum sambil bersandar di daun pintu dan melipat tangan di dada.

"Malingnya mau beraksi dulu. Siap-siap aja," 

Seringai dari wajah suaminya membuat Dara gemetaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status