Share

Penyesalan
Penyesalan
Author: Flora

Awal Kemalangan

"Alisya!"

Alisya menghentikan langkahnya. Ia memutar bola mata malas sebelum berbalik. Ia hafal betul siapa yang memanggilnya itu.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, sesosok lelaki berseragam putih abu sedang berlari ke arahnya.

"Apa lagi, Gi?" sentaknya tak sabar.

"Gue mau ngomong bentar," kata sang lelaki dengan napas tersengal.

"Mau ngomong apa lagi? Lu nggak bosen apa? Gue aja yang dengernya bosen," sahut Alisya angkuh.

"Kak, kasih Kak Yogi kesempatan ngomong dulu, kenapa. Toh kita udah pulang, nggak buru-buru juga." Aura, adik Alisya yang lebih muda dua tahun darinya ikut bicara.

"Bosen!" Alisya melipat kedua tangannya di depan dada. 

"Ih, Kakak. Kak Yogi kan belum bilang apa-apa. Siapa tau yang mau diobrolin penting," rayu Aura lagi.

"Ya udah cepetan, lu mau ngomong apa?"

"Jadi pacar gue, ya, Sya," kata Yogi memelas.

"Tuh, 'kan, pasti itu yang diomongin. Lu nggak bosen apa, Gi, ngomong gitu terus? Udah berapa kali lu gue tolak, tetep aja ngotot."

"Gue nggak akan berenti sebelum lu bilang 'iya'."

"Terserah!" ujar Alisya sambil memutar tubuhnya.

Yogi menarik tangan Alisya agar gadis itu berbalik.

"Berarti lu sekarang pacar gue?"

"Gue bilang 'terserah', bukan 'iya'. Lagian lu juga nggak bakalan tahan sama gue. Gue nggak suka dilarang ini itu, dibatasi segala-galanya, dicemburui ... no!"

"Gue akan kasih lu kebebasan kayak yang lu mau," janji Yogi. "Tapi izinin gue selalu ada di samping lu."

Alisya tersenyum smirk.

"Terserah kalau itu memang bisa bikin lu nggak ngejar-ngejar gue lagi," kata Alisya sambil menatap Yogi tajam.

"Udah, yuk, Ra, cepet pulang!" perintah Alisya. "Kamu langsung pulang ke rumah, ya. Kakak mau latihan band dulu."

"Iya, Kak." Aura hanya bisa menurut.

"Congratz, Kak Yogi," bisik Aura pada Yogi yang masih berdiri di sana. "Akhirnya sukses juga."

"Thank you," ucap Yogi dengan gerak bibir yang hanya bisa dibaca oleh Aura. 

...

Hari sudah beranjak malam. Alisya dan teman-temannya masih asyik bermain musik. Mereka melakukannya hanya sekedar untuk hiburan, mengisi waktu luang, tidak untuk benar-benar mencari uang.

Alisya yang cantik dan bersuara merdu menempati posisi sebagai vokalis. Pribadinya yang ceria dan mudah bergaul membuatnya memiliki banyak teman. Ditunjang oleh status ekonomi yang lebih dari kata memadai, ia menjadi magnet yang menarik orang untuk lebih dekat dengannya, meskipun dengan motif tertentu.

Aura berbeda. Ia adalah seorang kutu buku. Aura lebih menyukai mengurung diri di kamar dengan buku-bukunya, dibanding harus pergi keluar rumah. Tidak heran bila ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Ia sama sekali tidak berminat mengikuti jejak kakaknya, meskipun ia juga memiliki paras tak kalah cantik dari sang kakak. Begitupun suara merdunya.

"Sya, handphone lu bunyi terus, tuh," ujar Ridwan, penggebuk drum yang duduk persis di samping tas Alisya.

"Biarin, paling juga disuruh pulang. Tar lah, bentar lagi," kata Alisya sambil menikmati kentang goreng yang belum habis.

"Lu vokalis, lho, Sya. Tapi makannya minyak-minyakan mulu," protes Desti, pemegang bass.

"Nggak ngaruh lagi," cela Alisya.

"Susah ngomong ama lu." Desti memilih pindah duduk, menjauh dari Alisya.

Alisya memang tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu. Ia orang yang cuek dan masa bodoh.

Handphone milik Alisya terus berdering minta diangkat. Alisya akhirnya jengah, ia berdiri dan menyambar tasnya, berniat mematikan handphone yang terus menjerit.

"Apa sih, Bi?" teriak Alisya begitu ia menggeser lingkaran berwarna hijau.

"Non, cepet pulang, Non! Tuan dan Nyonya kecelakaan!" balas Bi Irah, asisten rumah tangga yang menelponnya.

"Apa?!"

Alisya segera berlari ke luar dengan debaran jantung yang sangat kencang. Diiringi tatapan penuh tanya teman-temannya.

Dan, kini di sinilah ia. Di sebuah pemakaman. Pemakaman kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya meninggal di tempat setelah mobil yang mereka tumpangi mengalami rem blong dan menabrak sebuah truk di jalan tol. Tak hanya kedua orang tuanya, sopir mereka pun mengalami nasib yang sama. Begitu yang pihak berwajib katakan.

Alisya menatap nanar dua buah gundukan tanah yang berhias kelopak bunga mawar dan melati. Ia seperti kehilangan setengah jiwanya. Tak ada setitik pun air mata yang keluar dari netranya. Ia tetap tegak berdiri ketika orang-orang menepuk bahunya, berniat memberikan kalimat penghiburan.

Berbeda dengan Alisya, Aura menangis sejadi-jadinya, bahkan beberapa kali tak sadarkan diri. Ia belum ikhlas melihat kedua orang yang amat ia cintai pergi dengan cara seperti ini.

Satu demi satu para pelayat pergi dari area pemakaman. Kini yang tersisa hanya Alisya dan beberapa asisten rumah tangganya. Aura sudah lebih dulu pulang, karena dikhawatirkan tidak sadarkan diri lagi.

"Ayo, Non, kita pulang," ajak Bi Irah seraya memegang kedua bahu anak majikannya itu.

"Bibi pulang duluan aja. Aku mau di sini sebentar lagi," ujar Alisya dengan pandangan kosong.

"Tapi, Non ...." Kalimat Bi Irah terhenti, ketika Pak Somad, sopir keluarga Alisya, memberi kode agar membiarkan Alisya sendiri di sana.

Bi Irah menurunkan kedua tangannya dari bahu Alisya, dan mulai berjalan mundur.

Semua orang pelahan meninggalkan Alisya sendiri di sana. 

Lama Alisya berdiri tanpa melakukan apapun. Hingga awan mendung pelahan menyelimuti tanah pemakaman itu. 

Angin dingin dan udara yang lembab menyergap tubuh Alisya yang hanya berbalut kemeja dan celana panjang hitam. Memberitahukan bahwa hujan sebentar lagi akan turun. Namun itu tak membuat Alisya beranjak. 

Tiba-tiba Alisya menjatuhkan kedua lututnya ke tanah. Kepalanya tertunduk. Dan tanpa aba-aba, air matanya meluncur begitu saja. Alisya menangis sejadi-jadinya di depan pusara kedua orang tuanya.

"Maafin Alisya, Ma, Pa. Alisya belum bisa menjadi anak yang bisa membanggakan Mama dan Papa. Selama ini Alisya hanya bisa menjadi beban buat Mama dan Papa," Alisya tergugu.

"Sya ...." Sebuah tangan menyentuh bahu Alisya lembut.

Alisya mendongak. Yogi berdiri di sampingnya.

"Jangan kayak gini, kasian orang tua lu di sana," nasehatnya.

"Lu nggak ngerti perasaan gue, Gi. Lu nggak akan ngerti!" bentak Alisya, meluapkan emosi yang ia pendam sejak tadi.

"Gue ngerti. Gue juga kehilangan ibu sejak kecil. Tapi tangisan lu nggak akan mengubah apapun, Sya. Lu cuma akan bikin kedua orang tua lu bersedih di sana."

Alisya masih saja menangis.

Yogi menurunkan tubuhnya untuk mensejajari Alisya. 

"Gue tau lu ngerasain sakit yang amat sangat. Tak apa kalau lu mau nangis. Menangislah kalau itu bisa bikin lu ngerasa lega."

Tak disangka Alisya langsung memeluk tubuh Yogi. Ditumpahkannya semua sakit yang ia rasa di bahu lelaki itu. Biarlah kekasihnya itu tahu betapa rapuhnya dia. Namun, tak boleh ada orang lain yang tahu ia mengeluarkan air mata, apalagi adiknya. Ia akan berusaha tegar di depan orang lain. Biarkan sekali ini saja ia menangis.

Yogi membiarkan gadis pujaannya itu menangis sepuasnya. 

Langit terlihat begitu gelap, seolah ikut menemani Alisya yang sedang berduka. Dan akhirnya titik-titik hujan pun turun membasahi bumi. Menyembunyikan air mata di pipi Alisya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status