Share

Perubahan hidup

Alisya pulang ke rumahnya dengan keadaan basah kuyup, ditemani oleh Yogi.

"Kakak!" Aura langsung berlari ke arah Alisya yang menggigil, berselimut jaket milik sang kekasih.

Alisya berjalan dengan kepala menunduk.

Ia melewati ruang tamu begitu saja, meninggalkan adik yang terlihat begitu mengkhawatirkannya. Di sudut matanya, ia bisa melihat ada beberapa orang duduk di ruang tamu.

"Aku pamit, ya, Ra," ujar Yogi pada Aura yang hanya bisa mematung menatap kakaknya yang sudah naik ke atas tangga. 

Aura mengerjap, menyadarkan dirinya sendiri. 

"Iya, Kak. Makasih udah anter Kak Lisya," ucap Aura sambil memutar tubuhnya menghadap Yogi.

"Sama-sama. Aku ikut berduka cita, ya. Yang sabar." Yogi mengusap bahu Aura memberikan kekuatan.

Aura mengangguk. Lagi-lagi air mata mengalir di pipinya.

Yogi menarik Aura ke dadanya. "Udah, kasian orang tuamu di sana. Mereka nggak akan tenang kalau liat kalian terus menangisi mereka."

Aura segera mengusap air matanya. "Nggak, Kak. Aku kuat. Kami semua kuat."

"Anak pintar!" Yogi mengusap puncak kepala Aura.

"Aku pulang, ya."

"Hati-hati di jalan, Kak!" seru Aura ketika Yogi sudah keluar dari pintu.

Yogi hanya melambaikan tangan.

Di kamarnya, Alisya langsung meluruh di balik pintu. Ia kembali menangis. Pulang ke rumah tanpa ada orang tuanya memang sudah biasa, tapi dulu ia tak khawatir, karena ia yakin, mereka akan pulang. Namun sekarang, orang tuanya benar-benar tidak akan pernah pulang lagi ke rumah itu.

"Kak!" Aura mengetuk pintu kamarnya. Alisya segera mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak ingin adiknya melihat ia begitu rapuh.

"Sebentar!" teriak Alisya.

Alisya segera membukakan pintu untuk Aura.

"Kak, Kakek dan Nenek ada di bawah, nunggu Kakak," ucap Aura pelan.

"Iya, nanti Kakak turun. Kakak mandi dulu," kata Alisya berusaha terlihat biasa.

"Oke. Kami tunggu di bawah, ya."

Alisya pun mengangguk.

Aura kembali turun menemui kakek dan neneknya. Sedangkan Alisya segera berlari ke kamar mandi. Ia tahu, orang tua dari papanya itu tidak suka menunggu.

...

"Alisya, Kakek di sini untuk bicara dengan kalian soal kelanjutan hidup kalian. Kami--kakek, nenek serta paman dan bibimu-- sudah berembug tentang bagaimana kalian berdua ke depannya. Kalian akan pindah ke rumah kakek. Kalian akan ada di bawah pengawasan kami secara langsung. Kami yang akan menanggung semua biaya hidup kalian," ujar Kakek panjang lebar.

"Maaf, Kek. Kenapa kami harus pindah? Kami sudah cukup dewasa untuk mengurus diri kami sendiri. Lagipula ada rumah ini, kenapa kami harus tinggal di rumah kakek?" protes Alisya.

"Kalian masih kecil. Masih harus mendapatkan pengawasan. Kalau kalian sudah menikah, baru kami akan melepaskan kalian untuk hidup mandiri. Namun selama kalian masih sekolah, masih kuliah, kalian adalah tanggung jawab kami." Kali ini nenek mereka yang berbicara.

"Tapi, Nek ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Kalian nurut aja."

Ini yang Alisya tidak suka dari orang tua ayah mereka. Beliau berdua terlalu mengekang kebebasan anak-anak dan cucu-cucunya. Dan saat ini tidak ada yang bisa Alisya lakukan selain menurut. Sedangkan Aura terlihat tidak keberatan sama sekali.

Alisya akhirnya kembali ke kamar dengan hati sedih dan kecewa. Ia memilih merebahkan tubuhnya dan segera tidur. Tubuh dan jiwanya sangat lelah. Dan benar saja, dalam hitungan menit ia sudah menuju alam mimpi dan meninggalkan semua kesedihannya di alam nyata.

Hari-hari selanjutnya terasa begitu buruk dan membosankan untuk Alisya. Ia dan adiknya mau tidak mau harus pindah ke rumah besar milik kakek dan neneknya. Di sana ia harus beradaptasi dengan semua peraturan baru yang teramat sangat mengekang.

"Jangan terlambat pulang lagi, Kak, nanti Nenek marah," kata Aura pada Alisya yang berniat pergi ke studio bersama teman-temannya. 

"Kakak bosan di rumah, Ra. Kakak nggak betah. Baru seminggu aja rasanya Kakak udah nggak bisa bernapas," gerutu Alisya. 

"Kakek dan Nenek ingin yang terbaik untuk kita, Kak," bela Aura.

"Bukan buat kita, tapi buat mereka! Udahlah, kamu pulang aja. Kakak tetep mau pergi sama temen-temen Kakak." Alisya langsung masuk ke dalam mobilnya sendiri dan melaju bersama teman-temannya.

Aura hanya bisa menghela napas panjang.

"Sabar, Ra." Tiba-tiba sebuah tangan mengusap lembut bahunya.

"Kak Yogi ...."

Yogi tersenyum lembut.

"Kakak nggak larang Kak Lisya pergi?" tanya Aura.

"Nyanyi itu udah jadi kebutuhan buat Lisya, nggak cuma hiburan. Jadi kayaknya aku nggak berhak larang-larang dia."

"Tapi nanti Kak Lisya bisa kena masalah, Kak," lirih Aura. "Nenek dan Kakek ngelarang Kak Lisya keluar, kecuali buat bimbel."

Yogi mulai gelisah. Sepertinya nenek dan kakek Alisya kurang memahami karakter cucunya itu.

"Jangan khawatir, Ra. Semuanya akan baik-baik aja," ucap Yogi.

...

Alisya mendorong pintu rumah kakeknya pelahan. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Aman. Tak ada seorang pun di sana. Ia beruntung, pintu besar berbahan kayu itu belum di kunci.

Lampu ruang tamu sudah dimatikan. Ia mengendap dalam cahaya remang-remang dari ruangan lain yang lampunya masih menyala. Dilangkahkan kakinya di atas anak tangga sehalus mungkin, agar tidak menimbulkan suara.

"Alisya!" Sebuah bentakan terdengar menggaung di rumah besar itu bersamaan dengan lampu yang menyala. 

Alisya langsung mengerjap, menyesuaikan cahaya di matanya.

"Kakek ...," lirihnya. Benar saja kakeknya berjalan dari saklar menuju tangga di mana ia berdiri sekarang.

"Kenapa kamu baru pulang selarut ini?" tanya Kakek tanpa basa basi. 

"Aku latihan musik dulu, Kek," jawab Alisya dengan dada berdebar.

"Orang tuamu belum seminggu meninggal, tapi kamu udah keluyuran ke mana-mana!"

"Aku nggak keluyuran, Kek. Aku cuma latihan nyanyi sama temen-temenku," bela Alisya.

"Kamu tuh harusnya belajar, sebentar lagi ujian. Bukannya malah latihan nyanyi!"

"Kek, please! Aku cuma berusaha agar tetap waras setelah semua musibah ini. Apa salahnya aku mencari kebahagiaan di luar sana?"

"Apa orang tuamu tidak mendidikmu dengan baik, sampai kamu berani membantah kata-kata Kakek?!"

"Jangan bawa-bawa mendiang orang tuaku dalam masalah ini. Mereka mendidikku dengan baik, hingga aku bisa membedakan mana orang yang tulus menyayangi kami, dan mana yang tidak."

Kakek sangat marah hingga mengepalkan tangannya.

"Kenapa? Kakek mau pukul aku?" tantang Alisya menggaung di rumah yang sudah sepi itu.

Wajah penuh kerutan itu terlihat merah padam, tapi masih bisa menahan bibirnya untuk tidak mengatakan hal-hal yang akan memperkeruh suasana. 

"Kalau udah nggak ada lagi yang Kakek mau sampaikan, aku mau naik ke kamar. Aku capek. Selamat malam." Alisya langsung menapaki tangga, naik ke kamar yang belum lama ia huni.

Alisya membuka pintu kamar dan melemparkan tasnya sembarangan. Ia duduk di sisi tempat tidur sambil terisak.

"Mama ... Papa ... Lisya kangen. Kenapa kalian meninggalkan kami begitu cepat ...."

...

Pagi-pagi sekali Alisya berangkat ke sekolah dengan mengendarai kendaraan roda empatnya. Meninggalkan adik semata wayangnya di rumah.

"Tumben lu udah dateng," sapa Lala, teman sebangku Alisya yang sudah ada di bangkunya.

"Males di rumah," jawab Alisya singkat. 

"Adek lu?"

"Tar juga dianter sama sopir."

"Lu ada masalah, ya?" tanya Lala.

"Hidup gue berasa di penjara, La. Gue--"

"Sya! Kita ditawarin manggung di cafe punya om gue!" Tiba-tiba Ridwan muncul di pintu dan berteriak.

"Seriusan? Kapan?" tanya Alisya tidak sabar.

"Malem Minggu besok. Lumayan buat promosi band kita."

"Oke, oke. Gue mau!"

"Mau sih mau, tapi lu bisa keluar nggak?" tanya Ridwan ragu.

"Pasti bisa!"

"Ya udah, gue iyain nih, ya, tawarannya."

Alisya mengangguk pasti. Rasa kesalnya menguap seketika. Ia tak tahu bahwa itu adalah awal dari semua penderitaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status