Share

My Husband is The King of Wizard
My Husband is The King of Wizard
Penulis: Organic

Bab 1 : Panggilan Untuk Kembali

“Ada apa?” Dahi Okta mengkirut, saat melihat jalanku yang lunglai dengan wajah yang terlihat terkejut bukan main. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikannya dengan senyumanku yang sering mereka katakan menenangkan siapa pun yang melihatnya. Aku kalut dengan segudang beban yang tiba-tiba menumpuk dipundakku dan sekuat tenaga mencoba untuk ku sembunyikan dari teman-temanku ini.

Aku tidak tahu harus memulai dari mana, yang pasti setiap kata yang akan ku ucapkan kali ini akan membuat suasana hancur. Tidak ada yang mengatakan bahwa aku tidak boleh menangis atau bersedih untuk saat-saat tersulit ini. Hanya saja, aku tidak suka wajah bahagia mereka berganti dengan iba saat melihatku jatuh. Aku tahu ini hanya pemikiran kerdil seorang wanita yang baru diwisuda beberapa bulan lalu, hanya saja aku merasa ini berat dan aku tidak suka mengatakan seberapa lemahnya diriku saat ini di hadapan mereka.

Sandy tahu perubahan wajahku, tetapi wanita ini mencoba menyemangatiku dengan senyuman. Sungguh, ia sahabatku yang begitu baik dan aku sangat menyayanginya seperti aku menyayangi kak Disa. “Aku dapat telepon dari mama ….” Aku menjeda, mencoba menemukan kekuatan pada suaraku yang mendadak gemetar.

Ini memalukan, sepanjang aku menempuh pendidikan di tempat ini sendiri, jauh dari orang tua. Aku tidak pernah mengeluh, bahkan meminta uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Aku selalu memegang pedoman yang selalu dikatakan oleh ayah, jika kesuksesan itu tercipta karena bekerja keras. Bukan datang dari orang lain, termasuk kekayaan orang tua. Aku mencoba untuk bekerja paruh waktu di luar kelas mata kuliah hanya agar aku bisa menyelesaikan S2ku tanpa membebani orang tua.

“Lalu?” Sandy yang tidak sabaran seperti biasanya, ia mencoba menemukan permasalah yang terjadi dari ekspresiku. Biasanya ia begitu peka dengan apa yang ku rasakan, tapi untuk masalah-masalah yang sepele. Tidak dengan masalah keluarga yang benar-benar seperti sebuah goncangan dahysat ini.

“Aku harus pulang,” kataku dengan suara lirih, tak sanggup berbicara banyak. Aku mengalami goncangan dan itu realitanya. Aku pun tidak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang, selain kembali dan mencoba mengatur ulang semuanya yang kacau. Meskipun ini terkesan konyol dan terlalu sok, tapi tidak ada yang bisa mereka andalkan kecuali diriku.

“Kenapa? Papa sakit?” Kali ini Okta yang bertanya, dia juga begitu peka dan perhatian. Aku senang dengan segala perhatiannya, meskipun selamanya itu tidak akan membuat kami bisa bersatu. Dia ada disekitarku, itu sudah lebih dari cukup meskipun aku tidak bisa memilikinya. Namun, setelah semua ini? Apa kami masih bisa saling bertemu?

Aku pun mengangguk. “Ya udah pulang saja. Perlu aku antar?” tawar Bagas dan aku menggeleng. Aku tahu mereka pikir, aku khawatir pada papa karena sakit dan sebenarnya semuanya tidak sesederhana itu. Aku mencoba untuk menguatkan diriku dan mengatakan semua yang terjadi.

“Tidak hanya itu, restaurant yang dikelolah papa semua bangkrut dan menyisahkan hutang. Semua properti disita dan sekarang kami membutuhkan rumah baru. Karena itu, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan S2, mereka membutuhkanku.” Akhirnya aku mengatakan apa yang seharusnya dikatakan dan aku tidak sanggup untuk menatap mata mereka. Membayangkan rasa iba yang selalu berusaha untuk ku hindari dari siapa pun.

Hening tercipta di tengah keramaian cafe. Pada akhirnya aku berhasil merusak suasana makan malam ini. “Kamu tidak harus takut, aku bisa bantu kamu.” Aku mendongak dan melihat mata coklat itu menatapku. Okta, selalu menawarkan segudang pertolongan kapan pun dan dimana pun. Teman kecil sekaligus sahabatku ini, kenapa harus selalu melakukan hal yang sia-sia?

“Aku bisa mengatasinya sendiri,” tolakku dan Okta yang menyadarinya tidak akan melanjutkan ucapannya lagi. Biasanya ia bisa berhati-hati. Namun, saat ini siapa yang tidak terkejut mendengar berita ini? Jika mereka semua terkejut, aku berkali-kali lipat terkejut.

Sandy dan Bagas seketika membungkam mulut mereka. Nampak berpikir, untuk memulai kata-kata yang pas agar tidak menyinggungku. “Dara, aku nggak tau harus ngomong apa sama kamu … Yang pasti, kamu harus tegar. Jika kamu butuh sesuatu, bisa mengatakan pada kami.” Pada akhirnya, Sandy yang selalu bisa mengambil jalan tengah di antara harga diriku dan simpatik mereka. Aku benar-benar ingin berterima kasih kepadanya untuk ini.

Aku mencoba untuk tersenyum. “Hari ini aku harus kembali,” kataku yang tidak bisa berpikir untuk memperlambat pulang. Beberapa detik saja, pikiranku sudah kacau. Bercampur dengan kecemasan yang tidak berujung. Membayangkan mama dan kak Disa yang tidak bisa hidup susah harus tinggal disebuah rumah kecil dan merawat papa yang terkena stoke terus membayang di pikiranku. Bagaimana caraku mengatasi semuanya?

“Bagaimana kalau aku antar?” Okta lagi-lagi menawarkan dirinya.

Saat aku hendak menolaknya, Sandy menatapku. “Uda malam, bahaya kalau pulang sendirian.” Aku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali mengangguk dan setelah itu kami pergi bersama.

---***---

Di tengah jalan menuju ibu kota, jalanan masih ramai dengan pernak-pernik lampu jalanan yang menghiasi sepanjang perjalan. Terlalu dangkal untuk dikatakan indah, apa lagi saat memandangnya untuk menghentikan kebosanan karena terjebak oleh macet.

“Setelah ini, apa rencanamu?” Aku menoleh dan mendapati wajah rupawan yang setiap saat memikat, bahkan dikeadaan semengerikan ini, aku masih saja memujinya.

Konyol sekali kamu Adara! Pria ini adalah cinta pertama kakakmu!

Kehadiran Okta, selalu membuat harapan kak Disa kembali. Kak Disa sering sakit-sakitan karena itu papa dan mama tidak memperolehkan kak Disa kuliah di luar ibu kota sama sepertiku.

“Mencari pekerjaan.” Aku hanya akan menjawab begitu singkat karena aku tidak ingin Okta tahu terlalu banyak tentang kesulitan dan apa yang ku rasakan. Semua ini agar aku tidak terus-terusan tergantung kepadanya dan membuat kak Disa sakit lagi saat kami sering bertemu.

“Bagaimana kalau bekerja-“

“Aku nggak mau kalau kita bicara ini. Sudah aku katakan kalau aku yang akan mengurusnya.” Potongku yang tak ingin selalu dan selalu merepotkannya. Aku suka dia di sekitarku tanpa melakukan apa pun. Jika pada akhirnya ia akan bersama kak Disa, aku senang dengan melihatnya seperti itu.

Bukankah diriku sangat naif? Aku sedikit tidak perduli, sebab hanya aku yang merasakannya. Bagaimana perasaan ini bertumbuh dan menjadi belenggu untuk diriku sendiri.

Aku mendengar Okta menghela napas. “Aku begitu peduli sama kamu, Ra.” Kalimat berulang ini semakin membebaniku.

Kenyataanya kami terjebak pada situasi yang menjemukan ini. Dulu, aku selalu ragu karena kak Disa, bahkan sampai detik ini pun sama. Kemudian, kekacauan ini datang membuatku semakin tidak bisa berleha-leha memikirkan perasaan. Keluargaku sudah berada di ujung tanduk dan aku harus menyelamatkannya.

“Aku tahu, aku berterima kasih karena kamu mau menjadi sahabatku sampai detik ini.” Aku harus memotong sesuatu yang sekarang tidak bisa berkembang.

Wajah Okta seketika berubah, seolah berusaha menahan sesuatu bersamaan dengan laju mobil yang semakin cepat.

Aku tahu ia marah dan saat kami bersama dalam keheningan. Tiba-tiba seseorang berpakaian hitam mencoba memotong jalan.

“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.

Ciiit

Brug

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status