Share

Bab 2 : Arah dan Kenangan

“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.

Ciit

Brug

Aku gemetaran dengan dahi berkedut sekaligus nyeri. “Kamu nggak apa-apa?” Okta mencoba memeriksaku dan saat aku mendongak untuk melihat keadaannya. Aku terkejut saat melihat darah mengalir dari pelipisnya.

“Kamu berdarah!” pekikku panik, bersamaan dengan itu aku melihat mobil kami ternyata menabrak pohon dan membuat bagian sampingnya hancur.

“Jangan panik, aku baik-baik aja kok.” Haruskah aku mempercayai ini atau Okta hanya berusaha membuatku tak khawatir?

Tanpa pikir panjang, aku meraih kotak P3K yang sengaja aku taruh di mobil Okta karena kebiasaannya yang telat makan, aku tarus beberapa obat maag di sana dan aku pun segera memeriksa luka di pelipisnya. Semoga saja tidak terlalu dalam. “Aku baik-baik saja, kok,” ucapnya lagi yang mencoba untuk menghindariku saat diriku berusaha untuk memeriksanya. Biasanya, ia sangat senang dengan perhatian-perhatian kecil yang aku berikan. Namun, kali ini ai terlihat menghindariku. Sepertinya kemarahan Okta belum berakhir.

“Apa kamu marah?” tanyaku dan Okta hanya diam. Aku benar-benar ingin minta maaf untuk perlakuanku yang secara terang-terangan menolaknya. Semua yang terjadi, membebaniku. Membuatku tidak bisa melakukan apa pun untuk sekedar merasakan senang karena seseorang.

Ia meraih kotak P3K itu sendiri tanpa menjawab pertanyaanku. Benar, ia sangat marah dengan ucapanku dan itu membuat ia sampai tidak bisa berkosentrasi. Bahkan kini ini ia kesulitan untuk membuka kapas. Aku pun datang untuk membantunya. “Kamu boleh marah, aku tidak akan melarangmu,” kataku yang memang lebih suka dirinya berterus terang.

Okta berhenti, menatapku dengan tatapan dalam. Seolah ia berusaha mengatakan jika dirinya begitu mencintaiku. “Apa salah aku sayang sama kamu?” tanyanya yang seperti sebuah rudal yang meluncur dan siap menghancurkan dinding pertahananku.

Setelah drama berkepanjangan antara dirinya dan diriku, pada akhirnya kami sampai pada satu titik yang membuat kami harus menghadapinya secara terang-terangan.

“Itu hakmu, tapi kamu tahu jika prioritasku saat ini bukan cinta, tetapi keluarga. Aku ingin menyelamatkan keluargaku.” Jika alasan ini bisa menghentikan kemarahannya, maka aku bersyukur untuk itu, tapi jika tidak? Maka aku harus membuat alasan lain yang bisa ku lakukan untuk membuatnya tak berharap terlalu banyak.

“Bukan karena kak Disa?” tanyanya dan aku mengangguk.

“Itu salah satunya.” Berhubung ia mempertanyakan pertanyaan yang tepat, maka aku akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia ingin dengar. “Aku tidak ingin sampai di sana kak Disa memusuhiku karena sering ketemu kamu. Jadi, aku mohon dengan sangat … jangan sering mengajak bertemu. Boleh, saat tidak hanya ada kamu saja, tapi ada Sandy dan Bagas,” kataku yang mempertegas segalanya.

Okta mengangguk, sepertinya ia menyadari dan tifak terlihat marah lagi. “Aku menghargai keputusanmu. Hanya saja, jangan berusaha untuk menghindariku lagi,” ucapnya yang entah mengapa merasa membuatku sedih.

Aku pun mengangguk dan kami saling melempar senyum. Seperti inilah masalah kami yang dapat diselesaikan dengan mudah. Karena kami saling mengenal, mengetahui terlalu banyak satu sama lain membuat kami bisa membicarakan segalanya tanpa susah payah. Hanya, karena kita beranjak menjadi orang dewasa membuat keterbukaan ini terlambat. Terganti dengan prasangka dan keegoisan masing-masing.

Okta pun menelepon tukang bengkel untuk memperbaiki mobilnya dan kami harus menghadang bus, kalau tidak ada kami terpaksa naik angkot. Saat ini kami sedang berada di jalan, menanti dua kendaraan itu. Mana yang lewat lebih dulu.

“Kita harus ke rumah sakit dulu,” kataku dan Okta yang semenjak tadi diam-diam memegangi kepalanya dapat ku ketahui dengan cepat.

“Nggak perlu, kita kembali saja. Pasti papa sama mamamu sudah menunggumu.” Ini benar juga, aku hampir lupa tapi melihat kondisi Okta jelas aku tidak tega melihatnya seperti ini sekarang.

“Tapi, kepalamu sakit, ‘kan?” Aku mencoba untuk memeriksanya, tetapi Okta menggeleng dan aku pun tidak bisa berbuat apa-apa dan bersamaan dengan itu bus muncul, membuat kami harus berkonsentrasi untuk menghentikannya.

Kami pun berhasil menghentikannya. Aku sedikit geli saat melihat Okta terlihat kebingungan saat naik. Maklum saja, Okta sudah terbiasa pergi kemana pun dengan menggunakan mobil mewahnya. Hari

ini mobil itu rusak dan terpaksa naik bus bersamaku karena di daerah ini tidak ada taksi.

---***---

Aku merasa ada yang mengguncang-guncang tubuhku dan saat diriku membuka mata, sosok Okta sudah tersenyum seperti biasanya. “Uda sampai,” katanya dan aku pun mencoba berdiri dengan dibantu Okta. Kami keluar dari bus dan aku sudah tidak peduli dengan wajahku yang cukup kucel.

Kami pun berjalan beriringan melewati trotoar menuju rumahku yang dulu. Tak jauh sudah terlihat dan sepertinya ini akan menjadi yang terakhir. Rumah yang sudah puluhan tahun kita tempati akan menjadi milik orang lain. Aku sebenarnya tidak peduli dengan kemegahan yang ada di sana, hanya saja setiap kenangan berharga tidak akan pernah tergantikan.

Aku pun segera melihat handphone dan sudah berhasil menyewa sebuah rumah pinggir kota beberapa saat lalu dan sepertinya malam ini kamu harus segera pindah karena hari ini batas dimana kami bisa meninggali rumah ini sebelum dilelangkan.

“Aku minta tolong boleh nggak?” Aku menoleh menatap Okta dan pria ini pun mengangguk.

“Apa pun yang kamu butuhkan, aku siap membantu,” balasnya dan aku selalu menghargainya. Hanya saja, saat ini tidak tepat untuk membuatnya ikut masuk ke dalam rumahku. Keadaan kacau seperti ini, aku tidak mau ia melihatnya.

“Bisakah kamu kembali ke rumahmu? Aku sudah memesankan taksi,” kataku dan terlihat raut wajah kekecewaan dalam mata coklat di hadapanku ini. “Aku nggak bisa membiarkan kamu melihat kehancuran keluargaku, aku mohon dengan sangat, untuk kali ini saja,” kataku dan Okta lagi-lagi menhela napas.

Tangannya terlulur untuk meraih pipiku. Kebiasaan yang sering ia lakukan semenjak kecil. “Jika membutuhkan sesuatu, kamu bisa menghubungiku,” ucapnya dan aku pun mengangguk lega. Bersamaan dengan itu, sebuah taksi muncul dan Okta pun berjalan masuk dalam taksi tersebut.

Aku melepas kepergiannya dengan terus memandangi taksi tersebut sampai terlihat kecil dan menghilang ditengah malam.

“Kenapa kamu biarkan Okta pergi?” Aku tahu jika itu suara kak Disa yang marah. Aku pun mencoba untuk berbalik dan tersenyum kepadanya.

“Hai kak, uda lama nggak ketemu. Kangen, nggak sama aku?” tanyaku dan kak Disa mendengus, menatapku tak suka.

“Kenapa kamu biarkan Okta pergi!” Kali ini ia berteriak, aku tahu kak Disa frustasi karena semua ini.

“Apa kakak mau dia melihat kondisi keluarga kita yang seperti ini? Meskipun, kenyataannya kita tidak punya apa-apa, kita harus tetap menjaga martabat dan harga diri kita bukan?” tanyaku dan kak DIsa sepertinya menyetujui ucapanku.

“Benar katamu, aku nggak mau malu di depan Okta dengan keadaan yang seperti ini,” akuinya dan aku pun diam-diam tersenyum.

“Ayo segera masuk, mama nangis terus dan papa sedih nggak bisa ngapa-ngapain. Beberapa hari ini kita makan mie instan terus-terusan. Itu pun kami beli, mama sama aku kan nggak bisa masak,” katanya dan aku sudah dapat menduganya hal ini akan terjadi. Dalam keadaan terdesak seperti apa pun, mereka tetap tidak bisa mengurus diri mereka dengan baik.

Kami pun berjalan memasuki rumah, aku segera menuju kamar papa dan di sana, aku melihat papa tertidur pulas dan tak berdaya. Seketika air mataku mengalir, papaku yang selalu tegar dan penuh karismatik kini berbaring tak berdaya.

“Dara, apa yang harus kita lakukan sekarang?” Mama datang dan memelukku, ia menangis tersedu.

“Kita tidak punya rumah lagi,” lirih kak Disa yang juga menangis. “Kita jadi miskin sekarang, nggak punya rumah. Kita gelandangan sekarang Dara!” Bahkan sekarang merintih, seolah sesuatu telah membuat dirinya terluka.

“Tenang Ma, aku akan mencoba mencarikan solusinya.” Solusi seperti apa aku belum mengetahuinya. Namun, aku sudah berlagak seperti aku datang untuk menyelamatkan mereka.

“Aku nggak mau meninggalkan rumah ini?” Kak Disa terus menangis dan menujukkan keenggananya untuk meninggalkan rumah kami yang menyimpan sejuta kenangan ini.

“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.

“Pa!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status