Share

Bab 3 : Realita yang Mencekik

“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.

“Pa!”

Aku segera mendekat dan berusaha untuk menggenggamkan tangannya. Papa menjadi gagu, karena sebagian bibirnya tak mampu mengucapkan kata dengan jelas. Aku merasa sebuah pisau menusuk-nusuk hatiku. Papaku yang begitu tegar, bagaimana bisa menjadi seperti ini?

Aku menangis dan merasa bingung, harus melakukan apa? Seluruh tubuhku bergetar ketakutan saat orang yang begitu ku kasihi harus mengalami hal ini. Seolah semua belum cukup untuk ku rasakan.

“Ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang, Ra!” pekik mama yang membuat aku tersadar dan aku pun segera membantu papa berdiri bersama mama yang tidak begitu kuat.

“Kak Disa bantu!” pintaku pada kak Disa yang hanya mematung dengan tangis yang berderai. Kenyataannya kami semua begitu panik. Meskipun kami kehilangan semuanya, tapi kami akan merasa kuat jika kami bisa bertahan.

Pada akhirnya kami harus membawa papa ke rumah sakit dan bersamaan dengan itu, kami pun mengemas seluruh barang kami dan meminta jasa pengiriman untuk membawa ke kontrakan kami yang baru. Untung saja pemilik kontrakan adalah paman Nina, teman saat ikutan baksos dulu. Jadi, aku tidak perlu khawatir karena paman Nina sudah membantuku untuk memindah barang masuk kontrakan. Sepanjang ini, aku benar-benar merasa melakukan segala hal sendiri. Mama, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangisi papa dan kak Disa hanya bisa meminta uang kepadaku untuk sekedar membeli sesuatu yang tak penting.

Aku membutuhkan sebuah terobosan, meskipun uang tabunganku hanya bisa menyewa sebuah rumah pinggir kota dengan harga tujuh juta pertahun. Sebenarnya itu sangat mahal, tapi aku tidak bisa langsung membawa mereka untuk menempati rumah yang biasa saja karena mama dan kak Disa akan sangat terguncang. Kami menyewa selama lima tahun dan jika mereka masih boros seperti ini, aku yakin uang yang ku kumpulkan dari kiriman papa dab kerja part time akan sirna dalam satu bulan.

“Dara!” Aku melihat Okta datang bersama kak Disa. Aku menghela napas, bagaimana Okta bisa berada di sini?

“Kok kamu di sini?” tanyaku dan Okta merasa tidak enak.

“Jangan marahin Okta, aku yang telpon dia,” sela kak Disa yang membuatku kesal. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana kak Disa melakukan ini. Apa ia tidak malu dengan semua yang terjadi?

Aku memandanginya dengan marah dan kak Disa sepertinya merasa bersalah. “Kita kan sibuk buat ngerawat papa, jadi nggak ada orang yang bisa menghadapi kolega papa yang ingin meminta pengembalian. Aku baru saja ditelpon mereka,” adunya yang membuatku tidak bisa berbicara apa-apa. Benar, kami punya tanggung jawab pada orang-orang itu selain ke bank.

“Aku akan bantu kalian,” kata Okta yang tentunya aku sama sekali tidak menyukainya.

“Dengan cara apa? Kamu mau membayar semua hutang kami?” tanyaku dan kak Disa terlihat berusaha mengode agar aku berhenti mendesak Okta.

“Jika itu perlu,” balasnya yang membuatku semakin marah. Apa ia pikir, ini bukan sesuatu yang serius? Ia sendiri belum memiliki penghasilan untuk membantu orang.

“Oh, apa kamu mau menggunakan uang orang tuamu? Kamu pikir ini perkara mudah?” Suaraku tiba-tiba meninggi, di iringi diriku yang sudah berdiri.

“Dara, kenapa kamu harus sekasar ini!” Kak Disa membentakku dan aku hanya menatapnya marah. Ini adalah masalah keluarga kita, kenapa juga harus membawa Okta? Dimanakah harga diri itu?

“Kak masuk! Aku akan berbicara dengan Okta,” perintahku.

“Nggak mau!” Tolaknya.

Aku menghela napas, mencoba menetralisir semua emosiku. “Baik kalau kakak nggak mau masuk, kakak sendiri yang mengurus semua kolega papa dan tagihannya. Aku hanya akan fokus sama kesembuhan papa aja.” Aku berbalik dan terlalu lelah untuk menghadapi kedua orang ini. Satunya tidak berusaha untuk mandiri dan yang satunya lagi, menganggap semua urusan begitu mudah diatasi dengan bantuan orang tuanya.

“Dara, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti ini. Aku hanya khawatir denganmu.” Aku pun menoleh dan memandang Okta.

“Kalau kamu khawatir, cukup diam saja. Kamu tahu, dengan kedatangan kamu kemari dan mengatakan hal itu dengan mudah, itu berarti kamu meremehkanku dan segala usahaku.” Hanya pada akhirnya aku tidak mengatakan jika ia melakukan ini sama halnya dengan menghinaku.

“Dara ….” Kak Disa memanggilku, mencoba untuk memperingatkanku untuk kedua kalinya. Aku benar-benar kalut dan tidak tahu harus melakukan apa? Seharusnya, dikeadaan seperti ini Okta tidak perlu datang. Membuat semuanya semakin runyam saja.

Aku pun yang kesal hanya memilih kembali berjalan menuju kamar rawat inap yang ayah tempati. “Bagaimana kalau aku merekomendasikan kamu untuk bekerja diperusahaan papa?” Ah, sepertinya Okta tidak menyerah. Mungkin, ia benar-benar bosan dengan hubungan kami yang mengalir dengan tenang. Ia ingin membuat petaka diantara reruntuhan bangunan keluargaku yang tersisa.

“Kak Disa saja, aku benar-benar lelah saat ini,” kataku yang tidak ingin membuat Okta berada di sekitarku terlalu lama yang hanya akan membuat pikiranku makin kacau.

Aku pun masuk ke dalam dan aku melihat mama telah tertidur pulas di sebelah papanya. “Apa yang harus ku lakukan pa?” tanyaku yang kali ini menjatuhkan diriku pada sofa empuk  yang ada di depanku.

Saat ini, aku tidak memiliki pilihan lain untuk mengatasi semuanya kecuali aku mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan uang yang banyak dengan segera, agar aku bisa melunasi semua hutang-hutang ayah karena kebangkrutan ini.

“Kamu sudah kembali, oh ya Disa dimana?” Aku melihat mama menatapku, mencoba untuk mencaritahu apa yang terjadi di antara kita.

“Okta datang karena kak Disa yang memanggil,” terangku dan wajah mama berubah lebih ceria seperti anak berumuran tujuh belas tahun. Kenapa tidak cukup kak Disa saja yang kekanakan? Kenapa harus mama dan sebenarnya seberapa jauh arti Okta dikeluargaku?

“Mana? Mama harus segera menemuinya,” balas mama yang entah mengapa membuatku merasa mama memiliki sesatu yang ia rencanakan dan itu sama sekali tak baik untuk kelangsungan hidup kami.

“Mana pak Yuda? Kami ingin bertemu!” Suaranya keras, aku pun yang di dalam ruangan ini bisa mendengarkannya.

“Ada apa ya pak? Pak Yuda lagi istirahat karena masih dalam pemulihan,” kata Okta, aku pikir itu sudah bagus untuk sebuah alasan agar untuk sementara mereka tidak mengganggu papa.

“Harus sampai kapan kami bersabar? Kami mengalami kerugian dan pak Yuda tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikannya!” Otot mereka yang tentu saja tidak dapat ku terima.

Aku pun bangkit dan berjalan keluar. “Papa saya lagi sakit om, apa tidak bisa di undur sementara sampai papa saya sembuh?” Aku menawarkan sebuah solusi dan seharusnya mereka menerimanya karena kondisi papa yang tidak bisa berbicara tentu akan memperkeruh suasana jika mereka memaksa untuk masuk. Apa lagi saat aku melihat tidak hanya ada satu orang di sini.

“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status